Sabtu, 16 Februari 2013

Betulkah Demi Hotel dan Vila Konservasi harus dikorbankan?



Pembangunan Vila dan Hotel di Batu Korbankan Konversi Lahan
Dikutip dari Bisnis Jatim.Com  Oleh: Mohammad Sofii - 31 January 2013 | 6:30 pm
BATU — Maraknya konversi lahan yang terjadi di Kota Batu, Jawa Timur, disinyalir menjadi penyebab banjir menyusul banyaknya kawasan hutan yang berubah menjadi perumahan elit, vila, maupun hotel.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan selain persoalan drainase, penyebab kantor Pemkot Batu kebanjiran juga akibat dari maraknya konversi lahan.
“Banyak kawasan hutan yang seharusnya dijaga dan dilindungi berubah menjadi perumahan, vila, dan hotel. Akibatnya meski hujan deras berlangsung sebentar membawa banjir yang sampai masuk ke halaman Pemkot Batu,” kata Sidik Suhada, Kamis (31/1/2013).
Diakui adanya pembangunan perumahan, vila, dan hotel di Kota Batu menunjukkan kesuksesan besar Batu sebagai kota pariwisata. Namun kesuksesan tersebut tidak boleh merusak alam yang dapat merugikan warga.
Karena itu Repdem meminta kepada pemkot agar dalam membangun Kota Batu hendaknya tetap memperhatikan tata guna tanah. Mengingat tata guna tanah ini penting untuk menjaga alam dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
“Tanpa memperhatikan masalah tata guna tanah yang sebenarnya yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 pembangunan yang sejatinya dihajatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru bisa menjadi sebaliknya,” jelas dia.
Menurutnya, tidak hanya bencana banjir, sumber-sumber mata air bersih juga terancam hilang. Dampaknya warga juga terancam mengalami krisis air bersih. Hal itu ditandai dengan protes warga yang menolak pembangunan hotel.
Sepeti yang dilakukan warga Kecamatan Bumiaji yang menolak pembangunan Hotel The Rayja karena dekat dengan sumber air Gemulo.
Agar konflik antara warga dengan pengembang tidak berubah menjadi konflik sosial yang dapat merugikan banyak pihak, maka Pemkot Batu harus merespons secara cepat, tepat, dan bijak.
“Dalam hal ini pemkot harus bisa melihatnya bukan karena persoalan hilangnya mata air namun juga kemungkinan adanya faktor lain seperti persoalan pembebasan tanah atau lainnya,” ujarnya.
Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (Walhi Jatim), Purnawan D. Negara, mengatakan alih fungsi lahan pertanian maupun ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Batu dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan.
“Hal itu ditandai dengan beralihnya lahan pertanian dan RTH menjadi hotel, tempat wisata, dan perekonomian modern,” jelasnya.
Alih fungsi lahan tersebut akan berdampak terhadap lingkungan seperti ancaman bencana banjir dan tanah longsor. Walhi sendiri melihat Kota Batu berada diambang kerusakan ekologis yang kritis akibat perusakan dan penjarahan ekologi.
Apalagi selama ini kebijakan Pemkot Batu cenderung mengarah ke echo destructive dan echo blunder diantaranya mengizinkan berdirinya hotel dan wisata di kawasan perlindungan. (snd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar