Minggu, 17 Februari 2013

Betulkah Aristektur Indonesia kehilangan




Arsitektur Kehilangan Indonesiawinya
Dikutip dari Koran Pendidikan.com
Kamis, 20 Desember 2012 10:31:57  •  Oleh : redaksi  •    
Memahami arsitektur, bukanlah sekadar sebuah kegiatan rancang bangun, terlebih dalam konteks arsitektur sebuah kota atau kawasan. Sebab arsitektur bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri. Arsitektur harus berinteraksi dengan lingkungan, sistem ekonomi, dan juga sistem sosial. Interaksi ini harus ditopang dengan peraturan daerah. Tanpa interaksi ini, maka sejatinya arsitektur telah kehilangan jati diri.
Dalam pandangan pakar arsitektur Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ini, arsitektur di Indonesia telah kehilangan Indonesiawinya. Karya arsitektur saat ini memang indah dipandang secara fisik namun tidak bisa berkompromo dengan lingkungan dan masyarakat. Berikut penuturannya kepada Sri Kurnia Mahiruni dari KORAN PENDIDIKAN saat ditemui pekan lalu.

Pandangan Anda tentang arsitektur itu seperti apa?
Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan. Untuk itu, arsitektur adalah wujud kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di Indonesia dituntut untuk lebih aktif berperan dalam menentukan arah dengan pemahaman terhadap nilai dan norma yang hidup di masyarakat sebagai tolok ukurnya.

Seberapa pentingkah nilai dan norma tersebut dijadikan tolok ukur?
Memang sangat dibutuhkan kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu tradisional – sebagai suatu konsep yang telah lama dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk yang akrab dengan lingkungan dan mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan disampaikan.

Lalu bagaimana dengan hasil arsitektur di era sekarang ini?
Saya akui, pada saat ini terasa sulit membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk Indonesia, karena perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’ yang tidak mempunyai ‘jati diri Indonesiawi’-nya.

Seberapa besar peran arsitek untuk mempertahankan jati diri Indonesiawi tersebut?
Tidak dipungkiri, arsitek bukanlah sosok yang berdiri sendiri melainkan interaksi antara Pemilik Bangunan dan Peraturan Daerah. Semua elemen ini  perlu memiliki kesamaan pandang sehingga karya-karya arsitektur tersebut tidak sekedar emosi dari Arsiteknya. Peran Arsitek adalah menciptakan suatu wadah atau ruang sebagai kelangsungan hidup manusia yang memungkinkan tercapainya kondisi optimal bagi pengembangan masyarakat sebagai pemakai dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam dalam kesinambungan yang dinamis.

Apa yang terjadi bila arsitek gagal melakukan peran tersebut?
Bilamana Arsitek yang bersangkutan tidak berhasil memenuhi persyaratan di atas, maka lambat atau cepat lingkungan buatan berikut segala isinya akan berantakan, sebab sikap Arsitek berbeda dengan pemakai maupun pengamat karya arsitektur dalam memandang dan memikirkan tata lingkungan buatan sebagaimana dilakukan sebagian orang. Menurut saya arsitektur yang indah bukan hanya indah dipandang fisik saja namun lebih dari itu yang bisa selaras dengan lingkungan. Sayangnya, karena arsitektur bertujuan untuk masyarakat, maka hasil karya arsitektur seringkali dinilai kurang kompromi dengan lingkungannya.

Bisakah Anda memberi contoh?
Banyak sekali yang bisa dicontohkan. Salah satunya pembukaan cluster-cluster kecil di pinggiran sungai. Ini jelas tidak selaras dengan lingkungan, karena keberadaannya yang sangat berbahaya. Dilihat dari komposisi bangunan dan ruang terbuka hijaunya saja sudah jauh dari ideal, dimana bangunan yang ideal 40 persennya adalah bangunan dan 60 persennya adalah RTH. Apalagi letaknya yang berada di pinggiran sungai, sangat membahayakan dan dikhawatirkan bisa mengganggu lingkungan air. Ini sudah terbukti ketika terjadi rumah ambrol di pinggiran sungai di Kota Malang belum lama ini.

Lalu bagaimana idealnya?
Wujud arsitektur bukan merupakan hasil ‘seni yang bebas’ kehendaknya dan melukis untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, seni arsitektur merupakan ‘seni yang terikat’ oleh kaidah-kaidah tertentu sebagai seni terapan yang mampu dinikmati semua pihak, menjadi milik masyarakat, bangsa dan para pengamat yang berhak menikmati karya arsitektur setempat. Arsitektur mencoba berusaha untuk berada di tengah masyarakatnya, para pemakai dan pemerhati. Banyak bangunan yang sebetulnya gagal secara fungsional atau tidak sesuai dengan perilaku pemakai, namun tetap diciptakan dengan ‘keterpaksaan’ karena faktor-faktor lain yang sama sekali melupakan ‘jati diri’-nya. Latar belakang dalam melakukan aktifitas sosial budaya, dalam masyarakat tradisional Jawa misalnya, banyak belajar menyesuaikan diri dengan alam lingkungannya. Mereka memilih untuk berusaha hidup ‘selaras’ dengan alam, walaupun tidak merasa bahwa dirinya takluk kepada alam. Bentukan arsitekturnya merupakan karya yang secara arif memanfaatkan potensi dan sumberdaya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara ‘jagad cilik’ (mikro kosmos) dengan ‘jagad gede’ (makro kosmos).

Bagaimana dengan arsitektur di Kota Malang ataupun Batu?
Ditilik dari kacamata arsitektur, saya mengutip Budiharjo (1997) yang menilai bahwa hal yang paling merisaukan dalam perancangan bangunan tinggi adalah penampilannya yang nyaris steril, serba polos, tunggal rupa serta tak menyisakan peluang bagi penghuni, pemilik maupun pengamatnya untuk berimajinasi. Tak heran jika pencakar langit seperti itu acap diejek sebagai salah satu bentuk pornografi arsitektural, tak menyimpan misteri, kurang menyentuh rasa, tak memperkaya jiwa dan vulgar. Bentuk bangunan dan kota yang cocok, tentunya muncul dan tumbuh dari dalam, dibuat untuk menanggapi keinginan, tuntutan dan dambaan manusia yang hidup dan bekerja di sana. Kota Malang dan Kota Batu saya rasa juga sudah mulai kehilangan jati diri ‘Keindonesiaan’ tadi. Di Kota Malang kini sudah terlalu penuh dengan mall yang menggusur RTH. Demikian pula dengan Kota Batu juga sudah mulai penuh dengan taman wisata dan perumahan yang kurang terkonsep.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh para arsitek?
Para arsitek Indonesia hendaknya berani memutuskan diri untuk bertindak mundur sejenak, hingga menemukan suatu perwujudan dalam bentuk yang paling sederhana dari bentuk bangunan di masa lampau. Sebab dengan melakukan tindakan ini berarti akan memperoleh kesempatan untuk memperbaharui gagasan-gagasan dan kemudian akan dapat menemukan kembali bentuk yang jauh lebih baik dan lebih khas. Dengan perkataan lain, kalau ingin maju dengan pesat, hendaknya mau mundur barang selangkah sebagai awalan melakukan loncatan yang lebih jauh. Cepatnya pertumbuhan penduduk, kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta terbatasnya sumber daya alam mengharuskan para Perencana dan arsitek untuk segera menjawab tantangan tadi. 

Sebagai akademisi apa yang Anda lakukan agar para arsitek mau melakukan lompatan tersebut?
Yang pertama tentu selalu menyampaikan kepada mahasiswa tentang pentingnya keselarasan lingkungan agar bisa menjadi arsitek yang bertanggung jawab. Yang kedua saya dan tim senantiasa memberikan masukan desain tata ruang kota. Diantaranya desain Tarekot, konsep wisata air Sumber Gemulo di Batu hingga terbaru saya memiliki konsep menjaga lingkungan aliran air Sungai Mewek yang bisa dikembangkan sesuai konsep Tri Bina Cita Kota Malang, yakni pendidikan, wisata dan industri
.

Apa harapan Anda ke depan tentang arsitek di Indonesia?
Perkembangan keanekaragaman kebutuhan fasilitas, masih adanya masalah kemiskinan serta distribusi yang belum sesuai, merupakan beberapa tantangan utama yang perlu diperhtikan para Arsitek Indonesia. Usaha perbaikan fasilitas umum dan permukiman pada dasarnya merupakan kegiatan yang strategis dalam pembangunan. Untuk itu, seyogyanya konsep perancangan bangunan serta perencanaan lingkungan dan wilayah mendapat perhatian khusus, agar pembangunan dapat mendukung pembinaan budaya dan peradaban bangsa. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar