Sabtu, 08 November 2014

Puluhan Mata Air di Hulu Sungai Brantas Mati

TEMPO.CO, Batu - Puluhan mata air di kawasan hulu Sungai Brantas mati. Sebagian lainnya terus mengalami pengecilan debit. Dalam kurun dua tahun terakhir, sebelas mata air mengering. Adapun debit 46 mata air yang masih ada makin menyusut, dari semula 10 menjadi 5 meter kubik per detik. Masyarakat melakukan reboisasi dan berbagai usaha lain untuk menjaga kelestarian mata air itu.

"Kelompok masyarakat dan aktivis lingkungan turut menjaga sumber air," kata warga Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu, Aries Faudzin, Jumat, 7 November 2014. Salah satu caranya ialah menggalakkan gerakan penghijauan dan menerapkan kearifan lokal dalam menjaga air, seperti menggelar selamatan sumber air, pagelaran budaya, kesenian tradisional, dan diskusi dengan pakar lingkungan. (Baca: Sengketa Mata Air, Warga Menginap di Polres Batu)
Pada 2007, ada 170 mata air di hulu Sungai Brantas. Namun, hanya dalam rentang waktu setahun kemudian, jumlahnya turun menjadi 111. Pada 2009, tersisa 46. Dari total sumber air di Kota Batu, 30 persen berada di Kecamatan Bumiaji. Namun belakangan debit mata air itu terus menyusut, termasuk sumber air Sungai Brantas, yang mengaliri 14 kota dan kabupaten di Jawa Timur. (Baca juga: Hulu Sungai Brantas Tercemar Limbah Rumah Tangga)
Salah satu mata air yang masih terjaga adalah Umbul Gemulo di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, yang memiliki debit 179 liter per detik. Umbul Gemulo tak hanya menjadi tumpuan hidup bagi enam ribu warga setempat, tapi juga memasok enam desa lain yang dialiri air dari Perusahaan Daerah Air Minum Kota Batu.

Kawasan Kota Batu menjadi salah satu kunci pelestarian sumber air karena berada di lereng Gunung Arjuna dan Anjasmoro. Data Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur 2010 mencatat Jawa Timur mempunyai 4.389 mata air yang tersebar di 30 kabupaten. Dari jumlah tersebut, 109 di antaranya berada di Batu. Namun, debit mata air di sana terus menyusut dari tahun ke tahun.

Jumat, 07 November 2014

Penguasaan Sumber Air Semakin Memprihatinkan



Air menjadi kebutuhan utama manusia. Saat ini, hampir semua sumber air di wilayah Indonesia mengalami krisis. Bahkan, sekarang ini tidak ada pulau kecil yang tidak dirusak dan tidak ada pulau terbesar untuk dirusak.
“Sumber mata air dirusak secara sistematis, mulai dari pulau paling besar di Kalimantan hingga pulau paling kecil di Sulawesi. Sekarang air menjadi barang jualan. Sebenarnya air ini menjadi infrastruktur ekologis supaya kehidupan tetap berlangsung,” Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratik Jakarta.
Hendro menyampaikan itu dalam Sarasehan Pelestarian Lingkungan, "Mari Kita Lestarikan Sumber Mata Air dari Ancaman Kelestarian Alam" yang digelar Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) di Pendopo Dusun Cangar Desa Bulukerto, Jumat (7/11/2014).
Ia menambahkan, meski sudah mengalami krisis, belum ada wacana memproteksi sumbar air dari pulau demi pulau, telah terjadi kompetisi semakin lama semakin sengit tentang siapa yang berhak menggunakan air.
“Pengurus publik (Pemerintah) harus mau membaca lebih cerdas. Krisis ini disebabkan karena kendornya pemeriksaan oleh pengurus publik. Ini perlu pengurus cerdas yang mampu menegakkan keadilan. Kalau pengurus publiknya cerdas, tidak perlu ada kriminalisasi, dan banyak elemen seperti ini,” terangnya.
Sarasehan tersebut juga dihadiri pegiat lingkungan dari Bali Utara, Komang Armada. Ia menceritakan, di Bali Utara ada komunitas Catur Desa yang menjaga sumber air dengan regulasi lama.
Menurutnya, musuh masyarakat Bali sebenarnya pariwisata. Empat desa itu adalah Desa Munduk, Gobleng, Desing, dan Ume Jero. Keempatnya berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng.
“Tapi kami memproteksi sekali, misal penggunaan area (bangunan) hanya 30 persen. Kami punya sumber air debitnya besar yang diproteksi dengan menanam pohon, subak, distribusinya dilakukan dengan baik. Semua masih terjaga, ada regulasi dan tradisi yang kuat,” paparnya.
Investor berusaha masuk untuk menguasai lahan dengan aturan mainnya sendiri, namun dengan regulasi yang ada, misal warga negara asing tidak boleh memiliki lahan melebihi batas, atau kamar hotel jumlahnya sudah ditentukan oleh regulasi.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batu, Budi Santoso setuju dengan adanya regulasi melindungi lahan pertanian atau sekitar sumber air dan hal itu nantinya bisa diadopsi di Batu.
“Sewaktu saya menjadi kepala Bappeda, saya sudah membuat regulasi, bahwa hutan di Kota Batu harus menjadi hutan lindung, supaya tidak dirusak. Dan untuk pariwisata, perlu perhitungan kapasitas ketersediaan air dengan wisatawan yang datang,” katanya.
Sementara itu, Sejarawan dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengutarakan, Kota Batu memiliki prasasti-prasasti yang berhubungan dengan sumber air. Ia mencontohkan, sumber air di Candi Songgoriti, sekarang partirtannya sudah hilang karena air dialirkan ke hotel.
Partirtan lainnya adalah Desa Beji, Dusun Jeding. Di Jeding partirtannya hampir hilang. Desa Sumberbrantas menjadi petunjuk adanya sumber air Brantas. Brantas bukan hanya penting bagi Batu, tapi juga daerah yang ada di sekitarnya.
“Prasasti lainnya adalah nama Dusun Toyomerto di Desa Pesanggrahan yang berada di bawah lereng Gunung Panderman. Begitu juga dengan partirtan di Dusun Banyuning. Itu menunjukkan pada kita, pada masa lalu sudah ada penyebaran nama yang menunjukkan di sana ada sumber air,” jelasnya. Surya online Batu.




Kamis, 30 Oktober 2014

Demo Malah Temukan Pembalakan Liar


Diperkirakan ini merupakan modus pencurian kayu milik perhutani. Bagaimana tidak,  ratusan gelondong kayu pinus dan eucaliptus, kemarin ditemukan terpendam di tanah hutan Petak 47 wilayah Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji.
Gelondongan kayu rata-rata berdiameter di atas 30 centimeter itu, ditemukan tersimpan pada puluhan lubang tanah. Satu lubang rata-rata berisi 4 hingga 5 gelondong. Bila kayu ini diangkut menggunakan truk fuso, maka butuh 3 unit truk.
Uniknya kayu hasil pembalakan liar ini, ditemukan oleh kurang lebih 500 warga Dusun Gondang, Desa Tulungrejo yang sedang berunjukrasa di dekat Sumber Tirto Wangi atau sekitar Bon 5. Kayu yang disembunyikan itu, ditemukan secara tidak sengaja ketika pendemo jatuh kesandung tumpukan kayu itu.
Warga pun beralih menggali, ternyata tersimpan ratusan gelondong.“ Panjangnya masing-masing 4 meter, satu lubangisinya rata-rata 4 gelondong,” ujar Khamim Tohari, Kepala Dusun Gondang kepada Malang Ekspres (Malang Post Grup).
Selain itu di lokasi,  pengunjukrasa juga menemukan beberapa botol obat-obatan herpisida yang biasanya dipergunakan untuk mematikan tanaman dan ilalang. Temuan ini terjadi di depan Bambang, Mantri Perhutani setempat yang ngaku tak tahu menahu.
Nanang Sujarwo, anggota LMDH  mengatakan pihaknya juga tidak tahu menahu aktifitas pembalakan liar tersebut. “ Kami tidak mengerti ada aktifitas penebangan, dulu memang
ada bencana di lokasi ini. Pernah juga ada penebangan pohon yang dilakukan untuk areal off road, namun aktifitas penebangan itu dihentikan oleh Pak Mantri Perhutani saat itu,” paparnya.

SUMBER AIR
Ikwal penemuan itu dari keresahan warga Dusun Gondang akibat menyusutnya debit air bersih di kampung mereka. Saat diselidiki ternyata hutan di sekitar Sumber Tirto Wangi,  kondisinya sudah gundul.
Beberapa pohon sudah ditebang termasuk di samping sumber air. “Warga resah karena ada penurunan
debit air. Saat kami ngecek ternyata ada pembabatan liar, bahkan tumbuhan di dekat sumber air juga ikut
dibabat,” terang Suwono, Ketua HIPAM (Himpunan Pengguna Air Minum) Dusun Gondang.
Akibatnya selama beberapa pekan ini debit air dari 4 liter perdetik menurun tinggal 3 liter perdetik. Padahal sumber itu dipergunakan dua dusun di Tulungrejo. Di Dusun Gondang sendiri, ada 275 rumah atau 1300 jiwa yang ikut memanfaatkan sumber air tersebut.
Lantas, warga mengadu ke perangkat desa. Kemudian kemarin beramai-ramai mendatangi sumber air dengan tujuan menanam Pohon Mauni dan Suren, sebanyak 1.000 bibit sekaligus berdialog dengan pihak Perhutani.
Khamim Tohari membenarkan kalau pembukaan lahan di sekitar Sumber Air itu menimbulkan keresahan.“Dalam musyawarah yang kami lakukan 27 Oktober lalu, ada 3 tuntutan salah satunya meminta kepada pihak Pemdes, LMDH dan Perhutani untuk menutup dan menghentikan kegiatan pembukaan hutan untuk lahan pertanian yang dilakukan secara ilegal,” tegas Khamim.
Rencananya hari ini (kemarin-red) warga unjukrasa, tapi beralih menanam bibit pohon. Di lokasi sumber, emosi warga juga sempat tersulut dan mereka mencabuti tanaman sayuran yang ada di sekitar sumber air. Hutan yang dijadikan lahan pertanian itu, cukup luas.
Pihak Perhutani sendiri menyanggupi akan menghentikan aktifitas pembukaan lahan. Mereka juga berjanji  menghutankan kembali areal  yang sudah gundul tersebut. Malang Post (muh/lyo)

Rabu, 29 Oktober 2014

Pemangku Pura Giri Arjuna Imbau Tanah Disertifikatkan

Kota Batu, bhirawa
Keinginan pemangku pura Giri Arjuno untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan bangunan pura di dusun Junggo desa Tulungrejo kecamatan Batu pupus. Pasalnya pihak perhutani enggan melepaskan tanah seluas 0,8 ha yang ditempati rumah peribadatan Hindhu tersebut, sebelum ada tanah pengganti atas lahan yang dipakai pura tersebut. .
Hal ini terungkap dalam rapat yang dipimpin Sekda Kota Batu Widodo di ruang kerjanya, Selasa kemarin (14/10).
Rapat yang dipimpin oleh Sekda Kota Batu Widodo tersebut mengundang Perhutani Malang yang dalam hal ini diwakili Kepala Seksi Perencanaan Budi Wibowo, Majelis agama Hindhu Kota Batu Pariyanto, dan Tim yang dibentuk Sekda.
Menurut Kabag Pemerintahan Suliana, pihak pemangku pura menyampaikan kepada Walikota Batu untuk membantu pelepasan tanah Perhutani tersebut. Sebab tanpa mengantongi sertifikat pihak pura kesulitan untuk mendapat bantuan pemerintah maupun pihak lainnya.
Atas permintaan tersebut Walikota kemudian membentuk tim yang dipimpin Sekda Kota Batu Widodo.
“Dalam rapat tersebut, Perhutani sebenrnya tidak keberatan untuk melepas asalnya ada tanah penggantinya. Jadi sifat tukar menukar (tukar guling), sehingga pengajuan permohonan sertifikat atas lahan bangunan pura Giri Arjuno masih belum bisa dilaksanakan,” ungkap Suliana kepada bhirawa.
Sementara itu Kasi Perencanaan Perhutani Malang Budi Wibowo membenarkan status tanah tersebut sebagai milik Perhutani. “Dulu tanah tersebut merupakan tanah pengganti dari tukar guling dengan Lanud Abdurrachman Saleh,” kata Budi.
Oleh karena itu, jika pihak Majelis Hindhu atau pemangku pura ingin mengajukan permohonan harus menyediakan tanah pengganti seluas lahan yang ditempati.
“Kita tawarkan dua opsi, yaitu tukar guling atau pinjam pakai. Kalau tukar guling harus ada tanah pengganti, kalau pinjam pakai masa berlakunya hanya 5 tahun dan setelah itu dapat diperpanjang,” tegasnya.
Atas dua opsi tersebut, Majelis Hindhu yang saat didampingi oleh mantan Ketua DPRD Kota Batu H Mashuri Abdur Rochim mengaku masih akan membicarakannya dterlebih dahulu. (sup)

Penghijauan Berubah Jadi Demo Warga Tulungrejo

Kota Batu, Bhirawa
Maksud hati ingin melakukan penghijauan di sumber air, namun akhirnya berubah menjadi demo. Hal ini dilakukan saat 400-an warga dusun Gondang desa Tulungrejo kecamatan Bumiaji Kota Batu, Rabu kemarin (29/10).
Koordinator HIPPAM dusun Gondang desa Tulungrejo Suwono mengatakan, warga mulai khawatir dengan debit air HIPPAM-nya yang debitnya terus menurun. Sehingga melakukan upaya penghijauan di areal hutan di petak Bon 15, tempat sumber air HIPPAM.
Namun ternyata setelah didatangi, penyebab menurunnya sumber air tersebut karena hutan di kawasan sumber air  tersebut ditebangi oleh pihak Perhutani. Bahkan sumber air yang ada dialirkan melalui pipa  untuk mengaliri petak Bon 15 yang diusahakan untuk cocok tanam sayuran.
Saat warga datang ke lokasi sumber air, sejumlah tanaman yang nota bene banyak berfungsi menyimpan air malah ditebangi. Akibatnya sumber air debitnya menurun. “Lha bagaimana tidak mengecil debitnya mas, wong padang njingglang (pohonnya habis,red). Kalau dibiarkan bisa-bisa sumbernya hilang,” ungkap Suwono.
Tak hanya itu, mengecilnya sumber air tersebut, ternyata sebagian airnya dialirkan untuk membahasi kawasan hutan Bon 15 yang diusahakan untuk tanaman tumpang sari. Lahan tersebut disewakan oleh pihak Perhutani kepada petani pinggiran hutan. “Ya kontan saja warga marah karena air HIPPAM-nya sangat kecil, sehingga tak mampu mencukupi kebutuhan air bersih bagi warga dusun Gondang,” tuturnya.
Terkait dengan tindakan mengambil sumber air tersebut, warga minta agar Perhutani menghentikan penggunaan air sumber tersebut untuk mengairi lahan tersebut. “Perhutani setuju, dan kami minta agar ada MoU (perjanjian tertulis), agar ketika kami masuk hutan tidak melanggar aturan. Pak Bambang yang mewakili Perhutani tadi juga sudah setuju dan akan ditindaklanjuti,” tegasnya.
Dalam aksi tersebut, aparat kepolisian Polsek Bumiaji dan Koramil setempat ternyata menemukan puluhan batang pohon pinus yang ditimbun di lahan Bon 15 yang sedang digarap tanaman tumpang sari. Temuan tersebut langsung ditindaklanjuti oleh Kapolsek Bumiaji, AKP Sutantyo.
Pihaknya akan memanggil pihak Perhutani dan petani penyewa untuk dimintai keterangan terkait temuan timbunan kayu pinus tersebut. Dugaan sementara, kayu-kayu pinus itu ditebang dari Bon 15 yang digarap untuk tanaman tumpang sari. [sup]
Keterangan Foto : Salah satu kawasan hutan yang disewakan kepada petani penggarap dan LMDH (supriyanto/bhirawa)

Kawasan Sumberair Tirto Wangi Gundul Warga Tulungrejo Protes Perhutani

TIMBUN KAYU - Warga Tulungrejo membongkar timbunan kayu yang ada di kawasan Sumber Tirto Wangi, Rabu (29/10/2014)

SURYA Online, BATU - Kawasan Sumber Tirto Wangi yang berada di Dusun Wonorejo, Desa Tulungrejo, Kota Batu terlihat gundul akibat penebangan liar oleh oknum tidak bertanggungjawab.
Sumber Tirto Wangi letaknya di hutan lindung bon 15 petak 47 di bawah daerah curam dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Lahan di sekitar sumber bagian atasnya ditanami sayur mayur oleh petani.
Melihat kondisi itu, warga Dusun Ngondang marah, apalagi saat ini debit air dari sumber itu mengecil. Warga mengetahui kondisi sekitar sumber air saat selamatan 1 Suro, Sabtu (25/10/2014).
Senin (29/10/2014), pukul 06.00, sekitar 300 warga Dusun Ngondang berduyun-duyun ke kawasan sumber air meminta PT Perhutani bertanggung jawab atas keadaan kawasan itu.
Koordinator Lapangan Aksi, Junaedi mendesak PT Perhutani menghijaukan kembali kawasan sumber air. Tidak hanya itu, Junaedi mendesak Perhutani mencabut izin lahan yang digunakan untuk menanam sayuran.
“Kami minta Perhutani bertanggung jawab untuk menghijaukan kembali, kondisi ini membuat debit air mengecil,” desaknya di sela aksi.
Sumber Tirto Wangi merupakan satu-satunya sumber yang selama ini menopang kebutuhan air 300 KK atau sekitar 1.300 warga Ngondang. Jika debit air mengecil akan membuat warga susah mencari air, selain itu, gundulnya hutan membuat tanah longsor di sekitar sumber dan menyebabkan air keruh.
Kepala Dusun Ngondang, Khamim Thohari menambahkan, saat demo, warga semakin marah ketika melihat timbunan puluhan pohon di sekitar sumber dan warga pun bahu membahu mengeluarkan pohon.
Masing-masing lobang timbunan ada tiga sampai empat pohon yang memiliki panjang lebih dari tiga meter dan berdiameter sekitar 25 cm. “Sekarang ini warga gelisah takut kekurangan air,” kata Khamim.
Kata Khamim, warganya sempat memergoki orang yang memotong pohon pada saat selamatan di sumber. Ketika ditanya, pemotong pohon bernama Mukson dan disuruh Sasmiadi. Mereka diduga bukan warga Kota Batu.
“Saya tanyakan ke LMDH pemotongan pohon itu, tapi LMDH tidak tahu. Pihak Perhutani juga mengaku tidak tahu,” katanya.
Kemarahan warga tak terbendung lagi setelah melihat banyak timbunan kayu, warga langsung mendatangi polisi hutan bernama Sanari. Namun Sanari berdalih tidak mengetahui pemotongan pohon itu.
Kepala Resort Pemangku Hutan Punten BKPH Pujon KPH Malang, Bambang Hariyanto berjanji akan menanam pohon di sekitar sumber lagi. Katanya, pada 2009 lalu ada puting beliung yang menyebabkan sekitar 100 pohon roboh. “Kami akan melakukan reboisasi bersama warga,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua LMDH Desa Tulungrejo, Sardi Sukri mengaku, tidak mengetahui penebangan pohon dan penggunaan lahan untuk lahan sayur mayur. “Kami tidak pernah mengeluarkan rekomendasi untuk menebang dan menanami sayur,” katanya.
Sukri menduga, ada oknum Perhutani yang bekerjasama dengan orang lain untuk menebang pohon. Namun Sukri tidak mengetahui siapa oknum Perhutani itu. “Kami (LMDH) dengan Perhutani sudah seperti nikah, jadi tidak boleh saling menjelekkan tapi ini adalah kelalaian kami,” tukasnya.
Menurutnya, ada aturan untuk menebang pohon di hutan, yakni UU 41/2004 tentang Kehutanan. Jika dilanggar, maka sanksinya berupa menanam 50 pohon untuk menebang satu pohon.
“Atau kalau ketahuan petugas didenda Rp 5 miliar atau hukuman penjara lima tahun. Kalau ada yang memotong lalu ditimbun, bukan rekomendasi dari LMDH atau Perhutani, tapi oknum,” pungkasnya.

Senin, 06 Oktober 2014

TAK PUAS PENGELOLAAN DAS BRANTAS, BPK ANCAM AUDIT INVESTIGASI

Tak puas dengan hasil pelestarian dan perbaikan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengancam akan melakukan audit investigasi pada sejumlah intansi di 16 kabupaten/kota, jika tidak ada upaya serius dan koordinasi dalam pelestarian DAS Brantas.
    Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Karliansyah, dalam audiensi dengan Sekdaprov Jatim, Senin (6/10) mengatakan, hasil audit kinerja BPK tahun 2012-2013 menyebutkan, dana yang selama ini dialokasikan dari pemerintah pusat melalui APBN, APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota belum menunjukan hasil sebanding dengan upaya pelestarian dan perbaikan di DAS Brantas.     Padahal selama ini DAS Brantas sebagai air baku masyarakat Jawa Timur khususnya di 16 kabupaten/kota yang dilintasi.
    Atas hasil audit kinerja itu, BPK meminta KLH untuk mengkoordinasi sejumlah instansi baik pusat maupun daerah khususnya kabupaten/kota yang dilintasi sungai untuk lebih serius dalam pelestarian dan perbaikan DAS Brantas dari pencemaran. “Jika upaya tersebut tidak segera dilakukan, BPK mengancam akan melakukan audit investigasi pada instansi yang mengelola anggaran DAS Brantas. Dan sanksinya adalah pidana jika ditemukan penyelewengan,” tegasnya.
    Dikatakannya, hasil kajian KLH dan BPK menyebutkan, selama ini pencemaran di DAS Brantas 55% berasal dari limbah domestik, 15% industri dan selebihnya peternakan dan pertanian. Sebagai sungai yang menjadi bahan baku air minum sejumlah PDAM, selayaknya DAS Brantas terhindar dari pencemaran.
    Sekdaprov Jatim, Akhmad Sukardi mengatakan, terkait hasil audit BPK, Pemprov Jatim akan meminta laporan dan mengumpulkan seluruh Sekda pada 16 kabupaten yang dilintasi DAS Brantas dan semua intansi yang memeliki kewenangan dalam upaya pelestarian dan perbaikan sungai tersebut.
    Sejumlah instansi yang nantinya akan dikumpulkan, yakni BLH kabupatan/kota, Dinas PU Pengairan serta Dinas PU Cipta Karya. “Kami juga akan mengundang Balai Besar Wilayah Sungai Brantas serta semua instansi yang mempunyai tanggung jawab pada DAS Brantas,” katanya.
    Sebelumnya, temuan Ecoton dalam Ekspedisi Brantas 2014 menyebutkan, Sungai Brantas masih memiliki kemampuan self purifikasi atau kemampuan memulihkan dan menjadi harapan masyarakat, pemerintah dan swasta untuk bekerjasama memulihkan kualitas air Kali Brantas dan Kali Surabaya.
    Dalam pelaksanaan sensus ikan, Tim Ekpedisi Kali Brantas Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) menemukan fakta kalau  kondisi Kali Brantas bagian hilir di Wilayah Kali Surabaya dari Mlirip, Singkalan, Bakung pringgondani dalam kondisi membaik, fakta ini didapatkan setelah melakukan kegiatan sensus ikan bersama dengan 10 Orang nelayan dengan menaiki lima perahu kayu dan dua perahu karet.
    Kepala Peneliti Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton, Riska Darmawanti mengatakan, dalam pelaksanaan sensus, jenis ikan yang ditangkap lebih beragam, ada beberapa jenis ikan yang ditangkap di Desa Singkalan beratnya mencapai mencapai 2,5 Kg.
    Bobot ikan itu diatas bobot tertinggi Ikan Rengkik yang ditangkap tahun 2012-2013 lalu, sehingga dapat disimpulkan kondisi airnya semakin baik dan dapat memberikan pertumbuhan yang optimum bagi ikan. Sebelumnya, paska kematian ikan massal pada 26 Mei 2012 lalu, praktis ikan-ikan Kali Surabaya jarang ditemukan alias langka.(jal)
Dikutip dari : http://kominfo.jatimprov.go.id/