Wong Gunung Modon Embong
Written By Titah Surga on Rabu, 13 Februari 2013 | 07.54
Air adalah sumber kehidupan tempat bergantung banyak
aktivitas manusia. Keberadaan air menjadi urusan vital. Bahkan, menjadi salah
satu isu lingkungan terkini di tengah kelangkaan (scarcity) yang mengancam
pemenuhan kebutuhan kita.Tidak heran jika air diperebutkan baik oleh komunitas,
pengusaha maupun negara.Tingginya kebutuhan akan air, regulasi yang tidak jelas
dan carut marutnya sistem politik lokal akan membuat perebutan ini menjurus ke
konflik sosial, bahkan bisa jadi kepada tindak kekerasan yang melahirkan
anarkhisme.
Rencana dibangunnya Hotel The Rayja di sekitar sumber air di Kota Batu telah
menunjukkan gambaran itu. Sementara masyarakat sekitar menolak pembangunan
“hutan beton” ini, tetapi pemerintah baik dari level desa, kecamatan sampai
pemerintah kota ngotot untuk mengupayakan pembangunan hotel tetap berjalan. Di
sisi lain, investor tidak bersedia mengikuti saja tuntutan masyarakat tersebut
dengan dalih telah mengikuti prosedur seperti disyaratkan pemerintah.
Menariknya, dalam situasi semacam ini DPRD sebagai representasi wakil rakyat
tidak membela kepentingan masyarakat. Disinilah ada tarik menarik
kekuatan masyarakat dengan negara.
Dengan mengorganisir diri dalam Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air
(FMPMA), masyarakat lokal melakukan aksi-aksi penolakan bersama dengan LSM-LSM
dan akademisi pendamping. Lobbying kepada semua pihak merupakan langkah meminta
dukungan, dilakukan dari awal gerakan sampai sekarang. Kemudian, dilanjutkan
dengan pengumpulan koin peduli penyelamatan sumber air, diskusi publik,
pengumpulan tanda tangan penolakan, audiensi dengan wakil rakyat,
demonstrasi baik ke DPRD maupun Pemerintah Kota Batu. Dari startegi-strategi
itu akhirnya membuahkan hasil berupa pencabutan ijin hotel oleh walikota.
Sekalipun demikian, bukan berarti gerakan langsung usai.
Sampai buku ini diterbitkan, tarik menarik kepentingan negara-masyarakat
tersebut masih terjadi. Pemerintah mencari kelengahan masyarat
untuk tidak merealisasikan janji-janjinya, sementara itu FMPMA tidak
berhenti dalam melakukan gerakan-gerakan penolakan baik dengan cara
litigasi maupun non litigasi.
Rencana dibangunnya Hotel The Rayja di sekitar sumber air di Kota Batu telah menunjukkan gambaran itu. Sementara masyarakat sekitar menolak pembangunan “hutan beton” ini, tetapi pemerintah baik dari level desa, kecamatan sampai pemerintah kota ngotot untuk mengupayakan pembangunan hotel tetap berjalan. Di sisi lain, investor tidak bersedia mengikuti saja tuntutan masyarakat tersebut dengan dalih telah mengikuti prosedur seperti disyaratkan pemerintah. Menariknya, dalam situasi semacam ini DPRD sebagai representasi wakil rakyat tidak membela kepentingan masyarakat. Disinilah ada tarik menarik kekuatan masyarakat dengan negara.
Dengan mengorganisir diri dalam Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air (FMPMA), masyarakat lokal melakukan aksi-aksi penolakan bersama dengan LSM-LSM dan akademisi pendamping. Lobbying kepada semua pihak merupakan langkah meminta dukungan, dilakukan dari awal gerakan sampai sekarang. Kemudian, dilanjutkan dengan pengumpulan koin peduli penyelamatan sumber air, diskusi publik, pengumpulan tanda tangan penolakan, audiensi dengan wakil rakyat, demonstrasi baik ke DPRD maupun Pemerintah Kota Batu. Dari startegi-strategi itu akhirnya membuahkan hasil berupa pencabutan ijin hotel oleh walikota. Sekalipun demikian, bukan berarti gerakan langsung usai.
Sampai buku ini diterbitkan, tarik menarik kepentingan negara-masyarakat tersebut masih terjadi. Pemerintah mencari kelengahan masyarat untuk tidak merealisasikan janji-janjinya, sementara itu FMPMA tidak berhenti dalam melakukan gerakan-gerakan penolakan baik dengan cara litigasi maupun non litigasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar