Kamis, 12 September 2013

Pejuang Lingkungan tidak bisa dituntut Pidana / Perdata

Gugatan perdata terhadap warga Gemulo yang disamarkan lewat individu Haji Rudi adalah bentuk upaya SLAPP atau Strategic Lawsuit Against Public Participation, secara bebas, bisa berarti gugatan ‘mematikan’ atau bentuk tindakan pembungkaman partisipasi masyarakat dengan menggunakan instrument hukum untuk melawan partisipasi publik (sebuah perkembangan “baru” dalam terminologi hukum lingkungan di Indonesia)

Haji Rudi di-SLAPP dengan digugat secara perdata dengan alasan melakukan perbuatan melawan hukum yang menghambat pembangunan The Rayja Resort(?) dengan berkirim surat kemana-mana, melakukan perusakan, dan melakukan demo.

Hukum Indonesia telah memberikan garansi terhadap kasus-kasus lingkungan (utamanya terhadap upaya SLAPP) dengan:
1. Klausul Pasal Anti SLAPP sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 66 yang mengatur:
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

2. KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 134/KMA/SK/IX/2011 TENTANG SERTIFIKASI HAKIM LINGKUNGAN HIDUP, Pasal 21 yang menyatakan:
(1) Perkara lingkungan hidup pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara harus diadili oleh majelis hakim yang ketua majelisnya adalah hakim lingkungan hidup.
(2) Dalam hal suatu pengadilan tingkat pertama di peradilan umum dan peradilan tata usaha negara tidak terdapat hakim lingkungan hidup, Ketua Pengadilan tingkat banding menunjuk hakim lingkungan hidup yang ada di wilayahnya secara detasering.
(3) Dalam hal suatu pengadilan tingkat banding di peradilan umum dan peradilan tata usaha negara tidak terdapat hakim lingkungan hidup, Ketua Mahkamah Agung menunjuk hakim lingkungan hidup secara detasering.

3. SURAT KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG RI NO.36/KMA/SK/II/2013 TENTANG PEMBERLAKUAN PEDOMAN PENANGANAN PERKARA LINGKUNGAN HIDUP, yang pada intinya mewajibkan kepada Hakim dan Pengadilan Negeri maupun PTUN untuk secara cermat dan berhati-hati dalam menangani perkara-perkara lingkungan serta agar tak lepas dari koridor Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup utamanya KEHARUSAN menggunakan Hakim yang Ketua Majelisnya adalah Hakim Lingkungan Hidup atau telah bersertifikasi lingkungan

Upaya SLAPP ini semakin terkuak ketika Pemkot Batu telah melakukan kecerobohan dalam kebijakannya, di mana Kementerian Negara Lingkungan Hidup melalui Suratnya No. B-9430/Dep.V/LH/HK/08/2013 Tanggal28 Agustus 2013 tentang Rekomendasi Tindak Lanjut Pembangunan Hotel The Rayja Batu Resort merekomendasikan secara tegas, bahwa :
1. Untuk proses kegiatan pembangunan dan usaha Hotel The Rayja Batu Resort WAJIB memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), TIDAK TEPAT hanya dengan dokumen Upaya Pengeloaan Lingkungan Hidup dan Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL)
Catatan: selama ini Pemkot secara salah telah melakukan studi lingkungan dengan menggunakan UKL-UPL, dan keluarnya IMB pertama The Rayja MENDAHULUI rekomendasi studi dokumen UKL-UPL itu selesai.
2. Menyetujui penghentian sementara kegiatan pembangunan Hotel The Rayja Batu Resort, untuk selanjutnya terhadap penanggung jawab usaha pembangunan Hotel The Rayja Batu Resort diperintahkan untuk segera menyusun AMDAL, sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Kemarin Hakim Humas PN Malang Harini bilang di PN Malang belum ada Hakim bersertifikasi ingkungan apalagi di Indonesia........, dia salah besar tak tahu informasi sudah ada angkatan pertama (25 hakim) sebagai hakim lingkungan bersertifikasi, dan itu bisa didetaseringkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar