Minggu, 21 April 2013

Tahun 2004 Dam Prambatan tersapu banjir seperti saat ini, petani Bumiaji terancam kekeringan



Dam Prambatan di Desa Gunungsari Kota Batu Jebol, Sawah Terancam Kekeringan
Minggu, 21 April 2013 20:14 WIB Editor: Adi Agus Santoso | Reporter : Iksan Fauzi
surya/iksan fauzi
.
SURYA Online, BATU - Ratusan petani di Desa Gunungsari, Sidomulyo, Bumiaji dan Pandanrejo terancam kekurangan air, menyusul jebolnya Dam Perambatan Sungai Brantas di Dusun Perambatan Desa Gunungsari akibat tergerus hujan yang mengguyur Kota Batu Kamis (18/4/2013).

Nuriman (43), warga Dusun Prambatan Desa Gunungsari yang  rumahnya di sebelah Dam Perambatan, curah hujan yang tigngi tidak hanya membuat arus air di dam itu mengalir deras, juga merontokkan tebing-tebing dam yang terbuat dari tembok bebatuan.

Bahkan bronjong yang dipasang Dinas Pengairan hingga tiga lapis (Selasa, 2/4) lalu, juga berantakan karena tak kuat menahan kuatnya arus sungai. Jebolnya bronjong itulah membuat air dari dam tak mengalir ke sungai-sungai kecil, yang biasa mengaliri persawahan.

Untuk sementara, Minggu (21/4/2013) siang, warga bergotong royong membronjong sebagian arus air dam agar kembali mengalir ke sungai-sungai kecil. "Tadi sekitar 70 orang gotong royong membronjong sebagian dam, supaya air mengalir ke sawah-sawah,” kata Nuriman, Minggu (21/4/2013).

Wakil Ketua DPRD, Sugeng Hariono mendesak pemkot segera memperbaiki atau paling tidak membuat air dam bisa mengaliri sungai-sungai kecil, agar pertanian tidak kekurangan air. "Dam ini penting, apalagi sebentar lagi kemarau datang. Karena itu, pemkot harus segera mencarikan solusinya," desak Sugeng.

Senin, 15 April 2013

Sumber mata air di Hulu DAS Brantas terancam



Sumber Air Brantas Terancam
Minggu, 14 April 2013 20:32 WIB | Dibaca: 92 | Editor: Adi Agus Santoso | Reporter : David Yohanes
SURYA Online, MALANG - Susur Brantas yang dilakukan Sahabat Brantas mendapati beberapa fakta, adanya mengancam kelestarian Kali Brantas di wilayah Malang Raya.

Tim Susur Brantas sejauh ini masih menggunakan data dari Pemerintah Kota Batu, bahwa ada 58 sumber mata air yang mengalir ke Kali Brantas. Sejauh ini belum ada sumber mata air yang mati, sudah dalam keadaan terancam. Satu di antaranya adalah sumber Gemulo Kota Batu yang menjadi sumber konflik antara warga dan pengembang.

“Mata air Gemulo terancam, karena akan didirikan hotel di dekatnya. Gemulo menjadi gambaran kondisi mata air di hulu Brantas,” terang Koordinator Sahabat Sungai, Caturaka, Minggu (14/4/2013).

Menurut Catur, ancaman terbesar mata air di hulu Brantas adalah industri pariwisata yang kerap mengabaikan faktor kelestarian alam. Sehingga perlu kemauan yang kuat dari semua pihak untuk melindungi kawasan konservasi di hulu Brantas. “Jika tidak ada tekat dari semua pihak, maka kebutuhan konservasi akan dikalahkan kegiatan ekonomi,” ujarnya.

Sementara untuk wilayah aliran Brantas di wilayah Kota Malang,  Catur mencatat secara khusus Sahabat Sungai menyoroti adanya pemukiman di badan sungai yang menimbulkan masalah bagi Kali Brantas.

Limbah domestik kerap dibuang ke Kali Brantas, bahkan dibeberapa bagian sungai sampah menumpuk karena tersangkut. "Karena kesadarannya masih rendah, banyak yang membuang sampah di sungai dampaknya sampah banyak yang tersangkut di beberapa titik aliran," katanya.

Sabtu, 13 April 2013

Lahan disekitar Sumber Umbulan Gemulo akan dibeli



Pemkot Batu Beli Semua Lahan di Sekitar Sumber Umbulan Gemulo
Sindo BATU- 3 April 2013.
 Pertemuan Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) dengan Wali Kota Eddy Rumpoko di Balai Kota Batu sepertinya sudah mencapai titik klimaks.

Hasilnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Batu berencana membeli seluruh tanah dan bangunan warga dalam radius 200 meter dari Sumber Gemulo. Secara tak langsung, Pemkot Batu akan ”menggusur” rumah, vila, hotel, dan usaha lain di sekitar kawasan Sumber Gemulo, Desa Punten, Kecamatan Bumiaji. Padahal, yang dituntut FMPMA adalah pemkot membeli lahan investor The Rayja untuk dijadikan kawasan konservasi. Namun, perwakilan FMPMA yang menemui wali kota tak bersedia memberikan keterangan lebih jauh. Mereka meminta agar hasil pertemuan ditanyakan langsung kepada wali kota.

”Biar Pak Wali saja yang menjawab. Biar satu pintu suara. Paling tidak sudah ada titik terang tentang penyelesaian masalah sumber mata air Gemulo itu,” kata anggota FMPMA Imam Yunanto. Wali Kota Eddy Rumpoko dalam siaran persnya menjelaskan, keputusan itu diambil untuk memenuhi tuntutan FMPMA. Menurut Eddy, sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU), dalam radius 200 meter dari sumber mata air harus steril dari bangunan. Karena itu, Hotel Purnama, tanah milik investor The Rayja, vila, dan rumah warga harus dibeli.

”Mereka akan kami carikan tempat relokasi. Dalam setahun ini pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada warga yang tinggal di dekat Sumber Gemulo sekaligus mendata seluruh aset mereka,” terang Eddy. Menurut Eddy, butuh dana setidaknya Rp100 miliar untuk merealisasikan rencana tersebut. Karena itu, konsekuensi dari rencana ini adalah adanya pos anggaran lain yang dikurangi, misalnya pos belanja bidang pertanian dan beberapa pos lainnya.

“Prinsipnya, kalau masyarakat mengusulkan kawasan Sumber Gemulo dijadikan lahan konservasi dan penelitian, pemerintah siap saja. Tapi dengan konsekuensi ada pihak lain yang harus rela meninggalkan rumah, toko, vila dan tempat usahanya,” tandas Eddy.  maman adi saputro
_

Jumat, 05 April 2013

Wakil Walikota Batu dan Anggota DPRD Batu dari PDI-P mengkritik pengelolaan HIPPAM di Kota Batu



Pemkot BATU Soroti Pengelolaan Hippam
Jumat, 5 April 2013 17:45 WIB | Editor: Satwika Rumeksa | Reporter : Iksan Fauzi
SURYA Online, BATU- Pemerintah Kota (Pemkot) Batu menyoroti pengelolaan keuangan Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (Hippam) yang selama ini dianggap tidak transparan. Sorotan itu terkait tingginya tuntutan masyarakat agar Pemkot ikut melestarikan sumber-sumber air yang debitnya semakin menurun dan tak mengeluarkan air lagi.

Hal itu diungkapkan Wakil Wali Kota, Punjul Santoso, Jumat (5/4). Menurutnya, banyak pengelolaan Hippam tanpa izin Pemkot. Padahal, undang-undang mensyaratkan bahwa tanah dan air dikelola untuk kepentingan rakyat. Harusnya, pengelolaan Hippam ditata.

“Tidak seenaknya sendiri (pengelola) mengambil air berikutnya didistribusikan ke masyarakat, tapi kalau ada masalah, Pemkot yang disalahkan,” ujar Punjul seolah menyindir seringnya protes warga Bumiaji terkait sumber Gemulo.

Oleh karena itu, Punjul segera memerintahkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Batu mendata dan mengatur keberadaan Hippam. Selain itu, Punjul minta supaya keuangan Hippam juga dilaporkan.

“Pemasukan ke desa itu berapa, kembali ke masyarakat berapa, terus kalau ada kerusakan bagaimana. Sebab, selama ini, kalau ada kerusakan, mereka minta bantuan Pemkot. Tapi laporan keuangannya tidak transparan,” tegas poltisi PDIP itu.

Kendati demikian, Punjul tidak mempermasalahkan kalau Hippam untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi yang terjadi, ada hippam-hippam menjual air ke pengusaha perhotelan. “Nah, uang nya kemana selama ini. Ada (air) hippam yang masuk ke perorangan, tidak masuk ke pengurus hippamnya,” duganya.

Ke depan, sambungnya, Pemkot akan mengusulkan pengaturan Hippam, yakni dengan mengusulkan rancangan peraturan daerah (raperda) terkait pemanfaatan sumber mata air. Isinya, salah satunya menata pendistribusian air agar semua masyarakat tercukupi, serta meminta pengurus hippam ikut melestarikan sumber air.

“Selama ini masyarakat protes kalau ada pembangunan di dekat sumber air, sementara mereka tidak mau melestarikan sumber air tersebut,” katanya.

Sementara itu, anggota DPRD Kota Batu, Cahyo Edi Purnomo setuju dengan langkah Pemkot Batu mengusulkan raperda pemanfaatan sumber mata air, sebab air menyangkut hidup orang banyak. Raperda itu nanti supaya tidak terjadi konflik dimasyarakat.

“Sudah waktunya Pemkot menata sumber air supaya benar-benar optimal dimanfaatkan masyarakat. Pengelolaan itu bisa dilakukan oleh BUMD atau PDAM,” katanya.

Cahyo berujar, sumber air di Batu merupakan sumber pokok yang mengaliri air ke daerah sekitar. Ia menyayangkan dari 111 sumber air tinggal sekitar 58 saja yang measih mengalir. “Baik pemkot, legislative, maupun mayarakat perlu bersama-sama menyelamatkan sumber air, sehingga anak cucu kebagian,” pungkasnya

CATATAN :
HIPPAM adalah lembaga penggelola air minum yang mengupayakan pengambilan dan pendistribusian air secara swadaya masyarakat yang sudah ada sejak Batu masih menjadi kecamatan Batu di bawah Kabupaten Malang. Sebenarnya sudah ada yang dikelola secara profesional oleh Pengurusnya yaitu HIPPAM Desa Bumiaji Baca Buku C0 MANAGEMENT AIR MINUM untuk Kesejahteraan Masyarakat kasus di Sebuah Desa di Jawa Timur karangan RACHMAD K DWISUSILO, MA. Dibuku tersebut jelas pengelolaannya secara transparant dan pembayaran rekening tidak kalah dengan PLN juga air tidak pernah mengalir setetes demi setetes seperti yang dikelola oleh PDAM.
Sebaliknya warga yang sudah menikmati air yang dikelola oleh HIPPAM juga balik bertanya,”Apakah PDAM juga membuat laporan Keuangannya / keuntungannya setiap tahun bisa diakses langsung untuk bisa diketahui oleh masyarakat pengguna PDAM? Apakah laporan keuangannya juga dilaporkan lewat koran ditulis secara terbuka keuntungannya dipakai untuk apa dan untuk siapa? Padahal PDAM di Kota Batu, Kabupaten Malang dan Kota Malang tidak mengeluarkan biaya pemrosesan air yang kotor seperti yang dilakukan oleh PDAM Kota Surabaya dan Kota Jakarta.
Kepada Anggota DPRD Batu Cahyo Edi Purnomo dari PDI-P, HIPPAM telah dilandasi dengan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang telah ditanda tangani mantan Presiden Megawati Soekarno Putri. Baca Pasal 17 :
Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama  lain meliputi :
a.      Mengelola sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh masyarakat atau pemerintah diatasnya dengan mempertimbangkan azas kemanfaatan umum,
b.      Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Air yang menjadi wewenangnya.
c.       Memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desanya atas air sesuai kesediaan yang ada

Rabu, 03 April 2013

Lokasi Hotel the Rayja akan dijadikan lahan Konsrvasi



Gemulo Sebagai Lahan Konservasi
Malang News BATU | Titik terang mulai terlihat dalam mencari penyelesaikan konflik yang terjadi di area sumber mata air Umbul Gemulo antara warga setempat dengan pengembang Hotel The Rayja. Pemerintah Kota Batu berinisiatif untuk membeli lahan di sekitar mata air agar kawasan tersebut tetap menjadi lahan konservasi dan penelitian.
Hal ini disampaikan Walikota Batu, Eddy Rumpoko, usai menggelar pertemuan dengan warga peduli mata air di Kantor Balaikota Batu, Selasa (2/4).
Eddy Rumpoko menjelaskan bahwa masalah yang terjadi di kawasan Sumber Mata Air Umbul Gemulo ini telah menjadi kajian khusus pemerintah kota (pemkot). Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan mata air dan lingkungan yang ada di sekitarnya.
“Artinya, kita tidak hanya membahas tentang rencana pembangunan hotel The Rayja saja. Tetapi kita juga mengevaluasi tentang keberadaan bangunan-bangunan lain yang ada di sekitar Umbul Gemulo,”ujar Eddy Rumpoko.
Ia menjelaskan bahwa pemkot siap bersikap tegas jika nanti keberadaan kawasan Umbul Gemulo benar-benar dijadikan lahan konservasi dan penelitian. Untuk itu peraturan yang menjelaskan jika kawasan Umbul Gemulo harus steril dari keberadaan bangunan minimal dengan jarak 200 meter dari mata air juga harus dirubah.
Dengan adanya perubahan regulasi itu, nantinya akan ada bangunan hotel maupun rumah penduduk yang sudah berdiri harus direlokasi dari tempat tersebut. “Adapun khusus rumah-rumah penduduk yang ada di  kawasan Umbul Gemulo akan direlokasi dengan menggunakan dana dari pemerintah,” tambah Eddy.
Dalam jangka waktu setahun ke depan, Pemkot akan lebih berkosentrasi dalam penyelamatan Umbul Gemulo ini. Dengan kata lain, dana yang dibutuhkan untuk merealisasikan rencana tersebut juga tidak sedikit. Setidaknya Pemkot membutuhkan anggaran sekitar Rp 100 milyar untuk melaksanakannya.
Apakah Pemkot Batu mampu untuk melaksanakannya?  Walikota menyatakan, bahwa pihaknya akan mengkordinasikan hal ini dengan pihak dewan (DPRD). Apalagi Pemkot juga harus mempertimbangkan dampak sosial yang akan diakibatkan dari pembuatan kebijakan ini. Misalnya, mempertimbangkan nasib warga setempat yang kini bekerja di hotel-hotel yang nantinya terpaksa harus direlokasi.
Keputusan dari walikota ini sudah sedikit melegakan warga peduli mata air yang ada di kawasan Kecamatan Bumiaji. Karena pada dasarnya, mereka berkeinginan bahwa potensi alam yang ada di daerahnya, dalam hal ini sumber mata air, bisa terselamatkan dari gencarnya pembangunan kota.“Kami memang ingin jika pemkot membeli lahan di Umbul Gemulo, agar kawasan tersebut tidak dijadikan perhotelan dan tetap menjadi kawasan konservasi dan penelitian,” ujar Imam Yunanto, salah satu warga peduli mata air.|mo-6