PENYELAMATAN LINGKUNGAN: MENIMBANG ORGANISASI
MASYARAKAT SIPIL (OMS) SEBAGAI SATRIYO PININGIT? Oleh: Rachmad K. Dwi Susilo,
MA
oleh Rachmad
K Dwi Susilo (Catatan) pada 26 Mei 2013 pukul 8:45
PEMBANGUNAN pariwisata diKota Batu berjalan tanpa
dikawal oleh pemikiran kritis dan berjalan tanpakontrol masyarakat. Seiring
munculnya tempat-tempat wisata baru dan wisatawan yang berbondong-bondong di
kota ini, beberapa kasus terkait lingkungan terjadi,sebagai berikut. Bersama
dengan masyarakat sekitar Museum Satwa, OMS Fokal Mesra menentang pemanfaatan
air bawah tanah (ABT) yang dikuatirkan mematikansumber air yang dimanfaatkan
warga. Selain itu, ditemukan perijinan sebelumsosialisasi berdirinya Museum
Satwa (Koran Rakyat Cyber, 28 Oktober 2009).Kemudian, konflik pengelolaan air,
yaitu masyarakat menuntut kemandirian dalammengelola sumber daya air di sekitar
mereka, Masyarakat Desa Pandanrejo yangkeluar sebagai anggota PDAM (Perusahaan
Daerah Air Minum) dengan mendirikanorganisasi berbasis komunitas (Susilo,
Rachmad K Dwi, 2010). Sementara itu,Komunitas Merah Putih melakukan kritik
simbolik kepada Pemerintah Kota, DPRDdan pengusaha di Kota Batu dengan
memberikan 70 bibit pohon agar ditanam (Mediaonline, Bhirawa, 18 Januari 2010).
Kemudian, yang masih menjadi persoalan lingkungan
sampai hari ini, penolakan masyarakat Dusun Cangar, DesaBulukerto dan
Desa Bumiaji yang tergabung dalam FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata
Air) terkait pembangunan hotel yang
berada dekat Sumbermata Air Umbulan Gemulo. Persoalan resiko yangmengancam
keberadaan sumber air dan proses perijinan yang tidak mengikutsertakan
masyarakat pemakai sumber air yang menjadi isu menggelinding sampai sekarang.
Pembangunan pariwisata ketika berubah menjadi
ideologis sesungguhnya akan melahirkan setidaknya dua resiko, yakni resiko
lingkungan dan resiko sosial. Resiko
lingkungan yakni daya dukung lingkungan yang terancam rusak dan perubahan
tata lingkungan yang tidak memihak kepada keberlanjutan (sustainability).
Sementara itu, secara sosial muncul
kegelisahan masyarakat karena lingkungan dansumber daya alam di sekitar mereka
dieksploitasi besar-besaran. Lahirnya pro-kontra masyarakat juga rentan
melahirkan konflik-konflik sosial antar dusun dan antar desa. Terkait dengan kondisi sosial
politis lain, yakni kepemilikan industri pariwisata. Bisa dikatakan bahwa
kondisi pariwisata di Kota Batu, merupakan pariwisata yang belum berbasis
masyarakat, tetapi monopoli orang-orang tertentu. Kondisi semacam ini nantinya
yang melahirkan gerakan-gerakan perlawanan.
Pembangunan dipraktekkan untuk menghasilkan pendapatan
semaksimal mungkin. Tindakan ini seperti imperalis yangmengeruk keuntungan
tanpa menyisakan untuk harmoni dan kelestarian dengan alam.Seandainya dilakukan
konservasi lingkungan tidak lebih dari shallow ecology, dimana
menempatkan lingkungan sebagai instrumen untuk mencari tujuan lain. Disinilah,
lingkungan bukan untuk lingkungan atau bukan untuk kemaslahatan rakyat,
melainkan untuk pembangunan (ecodevelopmentalisme). Hal ini tidak
lepas dari visi walikota Batu yang membangun tempat-tempat wisata yang baru. Sampai hari ini tidak ada
refleksi yang dilakukan baik masyarakat maupun pemerintah. Perubahan-perubahan
lahan dan lingkungan, seakan-akan menunjukkan kita, ketidakjelaskan “blue
print” masa depan.
Disinilah sesungguhnya dibutuhkan kekuatan
penyeimbang dari praktek-praktek pembangunan yang dilakukan negara atau dalam
bahasa judul di atas sebagai Satriyo Piningit, yaitu pemimpin yang menunggu untuk
hadir atau berkiprah dan ketika sudah keluar atau berkiprah membuat perubahan-perubahan
penting di masyarakat. Kelompok ini sanggup mengkritisi kekuasaan negara
ini. Hemat penulis, OMS bisa melakukan itu, mengingat posisi OMS yang
berada di luar struktur negara. Bahkan, ia tidak membutuhkan “stempel” negara
untuk menjalankan bisnis-bisnis tertentu. Selain itu, sebagai organisasi
memiliki kelebihan-kelebihan, seperti dinyatakan Jayadi, Lutfi J &
HestiPuspitosari (2010), mampu mempraktikkan prinsip-prinsip penting dalam
demokrasi lokal, yakni partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Kekuatan
masyarakat lokal yang sebenarnya minoritas kreatif bisa diperkuat dalam civil
society (masyarakat sipil). Civil society sebagai segala
bentuk kehidupan yang terbuka, berprinsip sukarela dan mandiri (Hadiwinata,
BobSugeng, 2005) .
Bukti-bukti menunjukkan, beberapa catatan OMS terlibat dalam gerakan
lingkungan di Indonesia, seperti Victor Silaen (2008) menjelaskan perjuangan
masyarakat Batak Toba Samosir yang menolak berdirinya PT Inti Indorayon Utama
di Kepulauan itu. Sementara itu, Sobirin (2011) menjelaskan tentang gerakan
masyarakat dalam melakukan penolakan pembangunan pabrik semen di Pegunungan
Kendeng Utara, Kabupaten Pati, gerakantersebut
sanggup menggagalkan pembangunan pabrik semen dimana sebelumnya sudah disetujui
oleh Gubernur Jawa Tengah.
Konteks Kota
Batu
Dalam konteks pembicaraan OMS, di Kota Batu banyak
berdiri organisasi berbasis masyarakat (communitybased organization)
dimana seharusnya mampu hadir menjadi representasi masyarakat sipil yang tidak
tinggal diam jika terdapat praktek yang menggganggu keseimbangan ekologis di
sekitar mereka. Organisasi itu, seperti: HIPPAM. HIPPA, Kelompok tani, Karang
Taruna, LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dan lain-lain. Sementara itu, menurut
Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur Tahun 2011, disebutkan juga terdapat 12
NGO di Kota Batu.
Pertanyaan kritis kita berikan, mengapa sejauh
ini mereka belum mampu menjalankan kerja-kerja penguatan masyarakat sipil.
Belum lahir, kekuatan masyarakat sipil yang tangguh untuk kerja-kerja menyelamatkan
lingkungan itu. Dimana NGO benar-benar mampu lahir sebagai motor gerakan
lingkungan (environmental movement) dengan kelebihan, seperti:
informal,struktur organisasi fleksibel dan dukungan kekuatan komunitas.
Para penggiat NGO lokal belum mampu melepaskan
diri dari kondisi dilematis sistemik yang bisa penulis petakan dalam
masalah utama sebagai berikut, yakni:
A. Kondisi
Internal OMS
1. Moralitas
OMS.
Disinilah, para penggiat NGO menghadapi mentalitas yang
belum sepenuhnya satu titik. Multiple orientasi yang tergambar, apakah
membangun masyarakat sipil, sebagai pekerjaan demi mendapat penghasilan atau
kepentingan mendapat kekuasaan? Bekerja di OMS sebagai instrumen untuk mencapai
kepentingan-kepentingan tersembunyi itu. Sebagai akibat dari banyaknya
orientasi ini tidak heran jika NGO mudah “ditekuk” dengan janji “proyek” dan
pekerjaan.
2. Lemahnya
Ketahanan Ekonomi OMS
Sisi yang tidak menguntungkan dari NGO, di antara lapangan
pekerjaan lain, sebab harus menghidupi sendiri. Sementara itu, pendapatan
NGO tidak rutin, serabutan dan bergantung penuh dari pekerjaan-pekerjaan para
pendonor. Kondisi ini yang jelas membuat NGO tidak bisa berlanjut
(sustainable). Semangat idealisme tinggi harus berhadapankondisi materiil
tanggung jawab pemenuhan kebutuhan ekonomi penghasilan.
3. Ideologi
Perjuangan yang Belum Jelas.
Akibatnya apakah berfikir instrument atau befikir tujuan
tidak jelas. Ketidakjelasan ideologi membuat OMS tidak menjadi bagian penting
ketika pemerintah melakukan perusakan lingkungan. Pekerja OMS yang harus
merangkap pekerjaan-pekerjaan lain. Tidak jarang pekerjaan tersebut kontradiktif.
B. Kondisi
Eksternal OMS
1. Lemahnya
Integrasi OMS.
Baik antar OMS berbasis lokal maupun OMS berbasis nasional,
kesemuanya tidak terhubung atau tidak terintegrasi secara baik. Dari pengalaman
lapangan, antar tokoh OMS saling memiliki kecurigaan atas manuver OMS lain. Ada
yang mengatakan OMS lain itu, “oportunis” menjual moral bahkan ada yang
mengatakan tidak berbuat apa-apa untuk lingkungan tetapi mendapat penghargaan
(award). Relasi OMS dengan pendonor
(termasuk didalamnya pengusaha maupun pemerintah) menjadi isu-isu rawan yang
dibicarakan.
2. Agresivitas
Pemerintah dalam “membajak” kerja-kerja OMS
Sebagai kelembagaan sebenarnya dinas pemerintah
yangmengurusi OMS itu tidak mengatur ketat dari program-Program OMS. Sekalipun,
adayang mengatakan bahwa OMS yang tidak terdaftar di Kesbang sebagai OMS
illegal.Tetapi, dari strategi walikota di Batu, strategi menekan OMS ada perlu
dilakukan. Hasilnya, anggota-anggota OMS bisa diajak bekerja sama dengan pemerintah.
3. Kegagalan
Membangun Demokrasi yang baik
Reformasi dan demokrasi yang menyisakan beragam persoalan
ini tenyata juga membawa sesuatu yang tidak menguntungkan bagi keberadaan OMS.
Pernyataan, kritik dan cita-cita yang tinggi (ndaki-ndaki) dan tidak
diimbangi dengan langkah-langkah nyata membuat masyarakat apatis. Common
sense masyarakat tidak simpatik
dengan NGO, sebab langkah riil akan dipertanyakan melalui standar-standar
moralitas dimana siapapun akan sulit mencapainya. Disinilah, banyak pihak
akhirnya alergi dengan keberadaanNGO tersebut.
C. Implikasi
KeDepan
Kondisi pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi
lingkungan akan merusak kota, ia tidak lagi menciptakan Kota berkelanjutan,
bahkan sebaliknya diambang kehancuran. Eko Budiharjo menyatakan bahwa Kota Berkelanjutan dicirikan dengan Panca E, yakni
Ekology, Economy, Equity, Engagement dan Energy. Sayangnya untuk
mencapai kondisi seperti itu, bukan pekerjaan gampang.
Sayangnya, kepentingan ekonomi akan mengalahkan E yang
lain-lain dalam jebakan structural dimana NGO tidak berhasil lepas dari itu.
Menuntut konsistensi dan kesabaran-kesabaran yang menguras tenaga. Sayangnya,
belum ada kelompok reformis yang kuat dan mampu membawa ke angin
perubahan itu. Sekalipun akhir-akhir ini FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Sumber
Mata Air) sedang semangat memperjuangkan penolakan atas Pembangunan Hotel The
Rayja yang mengancam keberadaan sumber mata air, tetapi sepanjang kondisi structural
OMS tidak bisa diselesaikan secara baik, akhirnya nanti akan berakhir sama.
Disinilah bisa dipastikan bahwa kondisi tidak akan semakin baik.
Rachmad K Dwi Susilo, MA. Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 10
Oktober 1974. Riwayat Pendidikan, S-1Jurusan Sosiologi FISIP UNS, Surakarta,
(1994-1999) dan S-2 Jurusan Sosiologi FISIPOL
UGM Yogyakarta (2008-2010). Pada saat
kuliah S-2 meniatkan diri untuk mengembangkan kajian Sosiologi Pembangunan Lingkungan
(Sosiologi Ecodelopment). Saat ini sebagai Ketua Jurusan Sosiologi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang dan Penangung Jawab Konsentrasi Sosiologi
Lingkungan.
Buku-Buku yang telah dipublikasikan yaitu Integrasi
Ilmu Sosial, Memadukan Ilmu Sosial Tiga Peradaban (2005), Sosiologi
Kependudukan, Pemikiran Teori dan Analisa Sosiologis Di Balik Fenomena
Kependudukan (2006), Memahami Kecerdasan Orang-Orang Sukses : Refleksi
Sosiologis Orang-Orang Ternama dalam Mensiasati Hidup (2007), 20 Tokoh Sosiologi Modern (2008), Sosiologi
Lingkungan (2008), Jangan Goblok Melakoni Hidup (2010), Co-management
Air Minum untuk Kesejahteraan Masyarakat (2011) dan Sosiologi Lingkungan dan
Sumber Daya Alam : Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir (2012)..
Untuk menguatkan kompetensi Sosiologi Lingkungan,
beberapa karya ilmiah telah dihasilkan seperti : Hasil-hasil penelitian yakni
Perspektif Ekologis Para Kyai (Studi
Eksploratif tentang Perspektif Ekologis
para Tokoh-Tokoh Agama diKota Malang), Pola-Pola Gerakan Lingkungan untuk Menyelamatkan Hutan (Studi Eksploratif tentang Pola-Pola Gerakan Lingkungan di Kota
Batu) dan Model Demokratisasi Pengelolaan Air Minum Desa berbasis Resolutif
& Transformatif untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Sementara itu, artikel-artikel ilmiah yang ditulis,
seperti : Masyarakat Beresiko (The
Risk Society), Paham Antroposentrisme dan Krisis Lingkungan Kita, Orasi Ilmiah
pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 19 Januari 2005, Masyarakat Pesisir dalam Ancaman Global
Warming (Jurnal Transisi, 2010), Co-Managementsebagai Strategi
Pengelolaan Alternatif Pembangunan Peka Konflik (Orasi Ilmiah pada
Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 5 Agustus 2010), Demokratisasi dan Ruang Publik dalam Pengelolaan
Lingkungan (Kontributor dalam buku Demokrasi, Civil Society dan
Globalisasi) dan Mempresentasikan Artikel berjudul “ Analisa dan Strategi
Penanganan Konflik Lahan Konservasi di Sumber Umbulan Gemulo Kota Batu” dalam
Konfrensi I Asosiasi Pengelola Program Studi Sosiologi (APSSI) diUniversitas
Sriwijaya, Palembang (2013).
Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, yakni
menginisiasi beberapa kegiatan, yaitu seperti Roadshow Sosiologi
Peduli Lingkungan SMU se-Malang Raya, Pendampingan administratif &
kelembagaan HIPPAM Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji Kota Batu, Inisiator Peace
on Green : Penanaman 100 Pohon di Sumber Precet antara mahasiswa FISIP UMM
dengan Kelompok Tani di Sumber Precet, Batu, Pendampingan Program Sampah
Berbasis Komunitas di Desa Pandanrejo, Kota Batu. Kemudian, bersama In-Trans
Institute memfasilitasi kegiatan Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Dinoyo
untuk menghentikan Pembangunan Mall yang dilakukan Pemkot Malang.
Kemampuan dan ketrampilan Sosiologi diperkuat dengan
karya-karya data base, seperti:Survei Sosiologi Politik dan Pembangunan di Kota
Batu (2006), Survei Potensi Sosiologis Pemerintahan dan Pembangunan Kota Malang (2006) dan Profil HIPPAM
(Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) se- Kota Batu. Sedangkan, pengembangan dunia kepenulisan
dibuktikan dengan menjadi pembicara pada acara-acara bedah buku, Workshop
Penulisan “Rebut Perubahan dengan
Menulis” (2010), Pelatihan Penulisan
untuk Penerbitan Buku Ajar (2011) dan Workshop Penulisan Buku ilmiah Populer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar