Sabtu, 25 Mei 2013

Kota Batu membutuhkan Satriyo Piningit Penyelamatan Lingkungan



PENYELAMATAN LINGKUNGAN: MENIMBANG ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL (OMS) SEBAGAI SATRIYO PININGIT? Oleh: Rachmad K. Dwi Susilo, MA
oleh Rachmad K Dwi Susilo (Catatan) pada 26 Mei 2013 pukul 8:45
PEMBANGUNAN pariwisata diKota Batu berjalan tanpa dikawal oleh pemikiran kritis dan berjalan tanpakontrol masyarakat. Seiring munculnya tempat-tempat wisata baru dan wisatawan yang berbondong-bondong di kota ini, beberapa kasus terkait lingkungan terjadi,sebagai berikut. Bersama dengan masyarakat sekitar Museum Satwa, OMS Fokal Mesra menentang pemanfaatan air bawah tanah (ABT) yang dikuatirkan mematikansumber air yang dimanfaatkan warga. Selain itu, ditemukan perijinan sebelumsosialisasi berdirinya Museum Satwa (Koran Rakyat Cyber, 28 Oktober 2009).Kemudian, konflik pengelolaan air, yaitu masyarakat menuntut kemandirian dalammengelola sumber daya air di sekitar mereka, Masyarakat Desa Pandanrejo yangkeluar sebagai anggota PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dengan mendirikanorganisasi berbasis komunitas (Susilo, Rachmad K Dwi, 2010). Sementara itu,Komunitas Merah Putih melakukan kritik simbolik kepada Pemerintah Kota, DPRDdan pengusaha di Kota Batu dengan memberikan 70 bibit pohon agar ditanam (Mediaonline, Bhirawa, 18 Januari 2010).
 
Kemudian, yang masih menjadi persoalan lingkungan sampai hari ini, penolakan masyarakat Dusun Cangar, DesaBulukerto  dan Desa Bumiaji yang tergabung dalam FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air) terkait pembangunan  hotel yang berada dekat Sumbermata Air Umbulan Gemulo. Persoalan resiko yangmengancam keberadaan sumber air dan proses perijinan yang tidak mengikutsertakan masyarakat pemakai sumber air yang menjadi isu menggelinding sampai sekarang.

Pembangunan pariwisata ketika berubah menjadi ideologis sesungguhnya akan melahirkan setidaknya dua resiko, yakni resiko lingkungan dan resiko sosial. Resiko lingkungan yakni daya dukung lingkungan yang terancam rusak dan perubahan tata lingkungan yang tidak memihak kepada keberlanjutan (sustainability). Sementara itu, secara sosial muncul kegelisahan masyarakat karena lingkungan dansumber daya alam di sekitar mereka dieksploitasi besar-besaran. Lahirnya pro-kontra masyarakat juga rentan melahirkan konflik-konflik sosial antar dusun dan  antar desa. Terkait dengan kondisi sosial politis lain, yakni kepemilikan industri pariwisata. Bisa dikatakan bahwa kondisi pariwisata di Kota Batu, merupakan pariwisata yang belum berbasis masyarakat, tetapi monopoli orang-orang tertentu. Kondisi semacam ini nantinya yang melahirkan gerakan-gerakan perlawanan.
Pembangunan dipraktekkan untuk menghasilkan pendapatan semaksimal mungkin. Tindakan ini seperti imperalis yangmengeruk keuntungan tanpa menyisakan untuk harmoni dan kelestarian dengan alam.Seandainya dilakukan konservasi lingkungan tidak lebih dari shallow ecology, dimana menempatkan lingkungan sebagai instrumen untuk mencari tujuan lain. Disinilah, lingkungan bukan untuk lingkungan atau bukan untuk kemaslahatan rakyat, melainkan untuk pembangunan (ecodevelopmentalisme).  Hal ini tidak lepas dari visi walikota Batu yang membangun tempat-tempat  wisata yang baru. Sampai hari ini tidak ada refleksi yang dilakukan baik masyarakat maupun pemerintah. Perubahan-perubahan lahan dan lingkungan,  seakan-akan  menunjukkan kita, ketidakjelaskan  “blue print”  masa depan.

Disinilah sesungguhnya dibutuhkan kekuatan penyeimbang dari praktek-praktek pembangunan yang dilakukan negara atau dalam bahasa judul di atas sebagai Satriyo Piningit, yaitu pemimpin yang menunggu untuk hadir atau berkiprah dan ketika sudah keluar atau berkiprah membuat perubahan-perubahan penting di masyarakat.  Kelompok ini sanggup mengkritisi kekuasaan negara  ini. Hemat penulis, OMS bisa melakukan itu, mengingat posisi OMS yang berada di luar struktur negara. Bahkan, ia tidak membutuhkan “stempel” negara untuk menjalankan bisnis-bisnis tertentu. Selain itu, sebagai organisasi memiliki kelebihan-kelebihan, seperti dinyatakan  Jayadi, Lutfi J & HestiPuspitosari (2010),  mampu mempraktikkan prinsip-prinsip penting dalam demokrasi lokal, yakni partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Kekuatan masyarakat lokal yang sebenarnya minoritas kreatif bisa diperkuat dalam civil society (masyarakat sipil).  Civil society sebagai segala bentuk kehidupan yang terbuka, berprinsip sukarela dan mandiri (Hadiwinata, BobSugeng, 2005) .  
Bukti-bukti menunjukkan, beberapa catatan OMS terlibat dalam gerakan lingkungan di Indonesia, seperti Victor Silaen (2008) menjelaskan perjuangan masyarakat Batak Toba Samosir yang menolak berdirinya PT Inti Indorayon Utama di Kepulauan itu. Sementara itu, Sobirin (2011) menjelaskan tentang gerakan masyarakat dalam melakukan penolakan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Pati,  gerakantersebut sanggup menggagalkan pembangunan pabrik semen dimana sebelumnya sudah disetujui oleh Gubernur Jawa Tengah.

Konteks Kota Batu
Dalam konteks pembicaraan OMS, di Kota Batu banyak berdiri organisasi berbasis masyarakat (communitybased organization) dimana seharusnya mampu hadir  menjadi representasi masyarakat sipil yang tidak tinggal diam jika terdapat praktek yang menggganggu keseimbangan ekologis di sekitar mereka. Organisasi itu, seperti: HIPPAM. HIPPA, Kelompok tani, Karang Taruna, LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dan lain-lain. Sementara itu, menurut Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur Tahun 2011, disebutkan juga terdapat 12  NGO di Kota Batu.

Pertanyaan kritis kita berikan,  mengapa sejauh ini mereka belum mampu menjalankan kerja-kerja penguatan masyarakat sipil. Belum lahir,  kekuatan masyarakat sipil  yang tangguh untuk kerja-kerja menyelamatkan lingkungan itu. Dimana NGO benar-benar mampu lahir sebagai motor gerakan lingkungan (environmental movement) dengan kelebihan, seperti: informal,struktur organisasi fleksibel dan dukungan kekuatan komunitas.
Para penggiat NGO lokal  belum mampu melepaskan diri dari  kondisi dilematis sistemik yang bisa penulis petakan dalam masalah  utama sebagai berikut, yakni:
A.    Kondisi Internal OMS
1.     Moralitas OMS.
Disinilah, para penggiat NGO menghadapi mentalitas yang belum sepenuhnya satu titik. Multiple orientasi yang tergambar, apakah membangun masyarakat sipil, sebagai pekerjaan demi mendapat penghasilan atau kepentingan mendapat kekuasaan? Bekerja di OMS  sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan-kepentingan tersembunyi itu.  Sebagai akibat dari banyaknya orientasi ini tidak heran jika NGO mudah “ditekuk” dengan janji “proyek” dan pekerjaan.
2.     Lemahnya Ketahanan Ekonomi OMS
Sisi yang tidak menguntungkan dari NGO, di antara lapangan pekerjaan lain,  sebab harus menghidupi sendiri. Sementara itu, pendapatan NGO tidak rutin, serabutan dan bergantung penuh dari pekerjaan-pekerjaan para pendonor. Kondisi ini yang jelas membuat NGO tidak bisa berlanjut (sustainable).  Semangat idealisme tinggi harus berhadapankondisi materiil tanggung jawab pemenuhan kebutuhan ekonomi penghasilan.
3.     Ideologi Perjuangan yang Belum Jelas.
Akibatnya apakah berfikir instrument atau befikir tujuan tidak jelas. Ketidakjelasan ideologi membuat OMS tidak menjadi bagian penting ketika pemerintah melakukan perusakan lingkungan. Pekerja OMS yang harus merangkap pekerjaan-pekerjaan lain. Tidak jarang pekerjaan tersebut kontradiktif.

B.     Kondisi Eksternal OMS
1.     Lemahnya Integrasi OMS.
Baik antar OMS berbasis lokal maupun OMS berbasis nasional, kesemuanya tidak terhubung atau tidak terintegrasi secara baik. Dari pengalaman lapangan, antar tokoh OMS saling memiliki kecurigaan atas manuver OMS lain. Ada yang mengatakan OMS lain itu, “oportunis”  menjual moral bahkan ada yang mengatakan tidak berbuat apa-apa untuk lingkungan tetapi mendapat penghargaan (award).  Relasi OMS dengan pendonor (termasuk didalamnya pengusaha maupun pemerintah) menjadi isu-isu rawan yang dibicarakan.
2.     Agresivitas Pemerintah dalam “membajak” kerja-kerja OMS
Sebagai kelembagaan sebenarnya dinas pemerintah yangmengurusi OMS itu tidak mengatur ketat dari program-Program OMS. Sekalipun, adayang mengatakan bahwa OMS yang tidak terdaftar di Kesbang sebagai OMS illegal.Tetapi, dari strategi walikota di Batu, strategi menekan OMS ada perlu dilakukan. Hasilnya, anggota-anggota OMS bisa diajak bekerja sama dengan pemerintah.
3.     Kegagalan Membangun Demokrasi yang baik
Reformasi dan demokrasi yang menyisakan beragam persoalan ini tenyata juga membawa sesuatu yang tidak menguntungkan bagi keberadaan OMS. Pernyataan, kritik dan cita-cita yang tinggi (ndaki-ndaki) dan tidak diimbangi dengan langkah-langkah nyata membuat masyarakat apatis. Common sense masyarakat  tidak simpatik dengan NGO, sebab langkah riil akan dipertanyakan melalui standar-standar moralitas dimana siapapun akan sulit mencapainya. Disinilah, banyak pihak akhirnya alergi dengan keberadaanNGO tersebut.

C.      Implikasi KeDepan
Kondisi pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan akan merusak kota, ia tidak lagi menciptakan Kota berkelanjutan, bahkan sebaliknya diambang kehancuran.  Eko Budiharjo menyatakan  bahwa Kota Berkelanjutan dicirikan dengan Panca E, yakni Ekology, Economy, Equity, Engagement dan Energy. Sayangnya untuk mencapai kondisi seperti itu, bukan pekerjaan gampang.
Sayangnya, kepentingan ekonomi akan mengalahkan E yang lain-lain dalam jebakan structural dimana NGO tidak berhasil lepas dari itu. Menuntut konsistensi dan kesabaran-kesabaran yang menguras tenaga. Sayangnya, belum ada kelompok reformis yang kuat dan  mampu membawa ke angin perubahan itu. Sekalipun akhir-akhir ini FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air) sedang semangat memperjuangkan penolakan atas Pembangunan Hotel The Rayja yang mengancam keberadaan sumber mata air, tetapi sepanjang kondisi structural OMS tidak bisa diselesaikan secara baik, akhirnya nanti akan berakhir sama. Disinilah bisa dipastikan bahwa kondisi tidak akan semakin baik.

Rachmad K Dwi Susilo, MA. Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 10 Oktober 1974. Riwayat Pendidikan, S-1Jurusan Sosiologi FISIP UNS, Surakarta, (1994-1999)  dan S-2 Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta (2008-2010).  Pada saat kuliah S-2 meniatkan diri untuk mengembangkan  kajian Sosiologi Pembangunan Lingkungan (Sosiologi Ecodelopment). Saat ini sebagai Ketua Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang dan Penangung Jawab Konsentrasi Sosiologi Lingkungan.
Buku-Buku yang telah dipublikasikan yaitu Integrasi Ilmu Sosial, Memadukan Ilmu Sosial Tiga Peradaban (2005), Sosiologi Kependudukan, Pemikiran Teori dan Analisa Sosiologis Di Balik Fenomena Kependudukan (2006),  Memahami Kecerdasan Orang-Orang Sukses : Refleksi Sosiologis Orang-Orang Ternama dalam Mensiasati Hidup (2007),  20 Tokoh Sosiologi Modern (2008), Sosiologi Lingkungan (2008), Jangan Goblok Melakoni Hidup (2010), Co-management Air Minum untuk Kesejahteraan Masyarakat (2011) dan Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam : Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir (2012)..
Untuk menguatkan kompetensi Sosiologi Lingkungan, beberapa karya ilmiah telah dihasilkan seperti : Hasil-hasil penelitian yakni Perspektif  Ekologis Para Kyai (Studi Eksploratif tentang Perspektif  Ekologis para Tokoh-Tokoh Agama diKota Malang), Pola-Pola Gerakan Lingkungan untuk  Menyelamatkan Hutan (Studi Eksploratif  tentang Pola-Pola Gerakan Lingkungan di Kota Batu) dan Model Demokratisasi Pengelolaan Air Minum Desa berbasis Resolutif & Transformatif untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Sementara itu, artikel-artikel ilmiah yang ditulis, seperti :  Masyarakat Beresiko (The Risk Society), Paham Antroposentrisme dan Krisis Lingkungan Kita, Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 19  Januari 2005,  Masyarakat Pesisir dalam Ancaman Global Warming (Jurnal Transisi, 2010), Co-Managementsebagai Strategi Pengelolaan Alternatif Pembangunan Peka  Konflik (Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 5 Agustus 2010),  Demokratisasi dan Ruang Publik dalam Pengelolaan Lingkungan (Kontributor dalam buku Demokrasi, Civil Society dan Globalisasi) dan Mempresentasikan Artikel berjudul “ Analisa dan Strategi Penanganan Konflik Lahan Konservasi di Sumber Umbulan Gemulo Kota Batu” dalam Konfrensi I Asosiasi Pengelola Program Studi Sosiologi (APSSI) diUniversitas Sriwijaya, Palembang (2013).
Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, yakni menginisiasi beberapa kegiatan, yaitu  seperti Roadshow Sosiologi Peduli Lingkungan SMU se-Malang Raya, Pendampingan administratif & kelembagaan HIPPAM Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji Kota Batu, Inisiator Peace on Green : Penanaman 100 Pohon di Sumber Precet antara mahasiswa FISIP UMM dengan Kelompok Tani di Sumber Precet, Batu, Pendampingan Program Sampah Berbasis Komunitas di Desa Pandanrejo, Kota Batu. Kemudian, bersama In-Trans Institute memfasilitasi kegiatan Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Dinoyo untuk menghentikan Pembangunan Mall yang dilakukan Pemkot Malang.
Kemampuan dan ketrampilan Sosiologi diperkuat dengan karya-karya data base, seperti:Survei Sosiologi Politik dan Pembangunan di Kota Batu (2006),  Survei Potensi Sosiologis Pemerintahan dan Pembangunan  Kota  Malang (2006) dan Profil HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) se- Kota Batu.  Sedangkan, pengembangan dunia kepenulisan dibuktikan dengan menjadi pembicara pada acara-acara bedah buku,  Workshop Penulisan  “Rebut Perubahan dengan Menulis” (2010),  Pelatihan Penulisan untuk Penerbitan Buku Ajar (2011) dan Workshop Penulisan Buku ilmiah Populer.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar