Rabu, 08 Mei 2013

Kajian Sosiologi Lingkungan,"MELAWAN PRIVATISASI SUMBER DAYA AIR"



MELAWAN PRIVATISASI AIR DENGAN MANAJEMEN SUMBER DAYA BERBASIS LOKAL
Oleh : Rachmad K.Dwi Susilo
(Pengkaji Sosiologi Lingkungan dari Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)

A.    PENDAHULUAN

a. LATAR BELAKANG          
  “Air adalah sumber kehidupan”, demikian dinyatakan iklan TVRI beberapa tahun lalu. Memang, semua kegiatan manusia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan air. Dari keperluan domestik, kebutuhan sehari-hari sampai air yang dimanfaatkan nilai ekonominya untuk kepentingan profit oriented. Dalam memanfaatkan air, bertahun-tahun masyarakat hidup harmonis dengan alam, yakni mengambil keuntungan dari  lingkungan sekedar memenuhi kebutuhan secukupnya.
            Tetapi, ketenangan ini terusik karena sebagian besar daerah mengalami persoalan air. Kekeringan menjadi persoalan rutin pada saat hujan tidak kunjung datang. Sementara itu, bentuk pengelolaan yang tidak baik selama ini menyebabkan kegagalan masyarakat dalam memenuhi berbagai permintaan terhadap air, terjadinya krisis air dan konflik memperebutkan sumber daya air, rusaknya sumber daya alam dan prasarana sumber daya air yang akhirnya memperparah krisis air itu.[1]
Lihatlah, jika pada tahun 1930 Pulau Jawa mampu memasok sebesar 4700 m3 per kapita per tahun, kemudian tahun 2006 1500 m3 per kapita tahun,  tetapi pada tahun 2020 diperkirakan hanya mampu memasok 1200 m3 per kapita tahun. [2]Sementara itu, pada wilayah yang lebih global, Vandana Shiva menyatakan bahwa jika pada tahun 1998, 208 negara mengalami kekurangan atau kelangkaan air, pada tahun 2025 angka ini diperkirakan akan bertambah 56 negara. Kemudian, antara tahun 1990 dan 2025 jumlah orang yang hidup di negara tanpa air yang memadai diperkirakan akan mengalami peningkatan 131 menjadi 817 juta.[3]
            Uniknya, institusi penyangga globalisasi ekonomi meyakini privatisasi dianggap mampu menyelesaikan kelangkaan sumber daya air. Dalam paper “Improving Water Resources Management”, Bank Dunia meyakini bahwa air yang tersedia dengan biaya yang rendah adalah tidak ekonomis dan tidak efisien. Karena itu setiap orang, bahkan kelompok yang miskin sekalipun harus membayar untuk membeli air. Pada konferensi tentang air dan lingkungan yang diselenggarakan di Dublin, Irlandia, 1992 lahir The Dublin Statement on Water and Sustainable Development yang salah satu prinsipnya menyatakan, “ water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good “.[4]
Pada konteks di atas, jelas  bahwa pengelolaan air telah masuk pada wilayah privatisasi. Sama dengan sumber daya alam yang telah lama dikomodifikasi, air juga masuk pada wilayah yang diperjualbelikan itu. Pemain-pemain kelas atas saja yang akan memenangkan privatisasi ini. Sekalipun banyak pihak meyakini privatisasi sebagai sistem pengelolaan yang baik, tetapi sesungguhnya asumsi-asumsi privatisasi tidak sepenuhnya benar, David Hall dan Emanuele Lobina menyatakan bahwa mengacu pada studi-studi yang dilakukan Bank Dunia tidak terdapat bukti kuat yang mendukung superioritas efisiensi perusahaan air yang dikelola oleh pihak swasta atas perusahaan yang dikelola publik [5]
            Kelangkaan air dan konflik sosial di masyarakat adalah pemandangan yang terjadi sebagai efek dari kebijakan global ini. Persoalan ekologis, sosial sampai politik adalah hasil dari skema yang dipaksakan oleh institusi-institusi globalisasi itu. Kasus di Ekuador, misalnya, privatisasi bermasalah karena adanya intervensi eksternal, timbulnya perjanjian-perjanjian rahasia atau perjanjian yang tidak transparan, munculnya kecenderungan monopoli dan akhirnya mengakibatkan krisis politik yang serius.[6]
            Di Indonesia, privatisasi sumber daya air masuk dalam reformasi ekonomi. Pemerintah melakukan reformasi sumberdaya air melalui WATSAL (Water Sector Adjustment Loan), sebagai syarat mendapatkan bantuan dari Bank Dunia. Ruang lingkup reformasi meliputi pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi, RUU sumber daya air dan privatisasi pengelolaan sumber daya air khususnya perusahaan air minum. [7]
            Kalau pada dasawarsa 1960-an sampai awal tahun 1980-an, Bank Dunia mendorong sentralisme serta pembangunan negara-negara berkembang, tetapi kemudian mendukung kebijakan ekonomi negara pro-pasar dan pro-swasta sejak pertengahan tahun 1980-an sampai sekarang. Kemudian, di akhir tahun 1990-an konsep restrukturasi sektor publik dan partisipasi sektor swasta pada tingkatan tertentu bergeser menjadi pengalihan tugas penyediaan pelayanan dasar dari sektor publik kepada sektor swasta.[8]
            Di Indonesia, pencaplokan sumber daya air dilakukan dengan perumusan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004. Secara jelas kelahiran UU ini didorong oleh Bank Dunia yang mengarahkan agar sumber daya air bisa diperjualbelikan layaknya komoditas-komoditas lain. Hal ini tampak dari diakuinya hak guna usaha yakni penggunaan air untuk tujuan komersial dan atau kebutuhan usaha.[9] 
            Privatisasi sebagai instrumen globalisasi harus dilawan, sebab implikasi dari privatisasi sumber daya air akan mengkhawatirkan banyak pihak, pertama, paradigma komodifikasi dan profit oriented akan mendorong korporasi global untuk mengeksploitasi sumber daya air tanpa batas. Dalam menjalankan bisnis, korporasi tidak segan-segan melakukan penyuapan, korupsi dan praktek-praktek tidak fair lain[10]. Praktek-praktek yang tidak sehat semacam itu akan membawa ancaman ke depan yakni  praktek bisnis yang tidak beretika sehingga kelangkaan (scarcity) sumber daya di sana-sini menjadi taruhan berikutnya.
Kedua, tercerabutnya kontrol masyarakat atas hak-hak komunal atas sumber daya di sekitar mereka. Karena, berpindahnya kepemilikan komunal menjadi kepemilikan pribadi, secara otomatis memaksa masyarakat menyerahkan kontrol atas sumber daya mereka. Kehadiran dari institusi raksasa yang bernama korporasi yang berpusat jauh di sana, masuk dan akan menggoyahkan desa-desa yang telah memiliki sistem sosial teratur.

b. Tujuan Tulisan  ini :
Tujuan dari tulisan ini sebagai berikut,
a)      Menggambarkan bagaimana korporasi global mencaplok sumber daya air dari komunitas tertentu yang memiliki kekuatan lokal lemah.
b)      Menggambarkan dinamika lokal dalam manajemen sumber daya air.
c)      Merekomendasikan manajemen sumber daya air berbasis kekuatan lokal yang diharapkan mampu melawan privatisasi air.

B. PERSPEKTIF TEORITIS : LOKALISME POSITIF SEBAGAI ALTERNATIF GLOBALISASI
Dharmawan, Arya Hadi menyatakan macam-macam struktur pengelolaan sumber daya alam, yakni: pertama, struktur otoritas pengelola SDA bercirikan “lokalisme defensif” adalah ruang dimana pengelolaan SDA mengandalkan struktur-struktur kelembagaan dan aturan-aturan lokal yang sangat-otonom sifatnya. Segala kekuatan asing tidak dapat menembus isolasi.
 Kedua, struktur otoritas pengelola SDA bercirikan hibriditas budaya. Derasnya arus keterbukaan memberikan akses yang sangat besar bagi masuknya sistem-sistem pengetahuan, ideologi dan tata-nilai budaya asing ke kawasan lokal. Intrusi yang terus menerus, hingga taraf tertentu mampu melumpuhkan sistem budaya lokal sehingga menghasilkan pada masyarakat tempatan.
Ketiga, struktur pengelolaan SDA bentukan dari luar menggantikan otoritas asli pengelola SDA lokal tidak lagi mampu dan berdaya (lumpuh dan terdistorsi) ruang dimana modernitas-Barat yang dibawa oleh gerakan modernisasi (termasuk modernisasi pemerintahan lokal) via berbagai kegiatan pembangunan telah mampu mengubah strukturstruktur atau tatanan-kelembagaan pengelolaan SDA lokal.
Keempat, struktur pengelolaan SDA telah terkolonisasi oleh struktur dan mekanisme bentukan dari luar, tetapi filter budaya masih terjaga dengan baik, sehingga orientasi nilai budaya tempatan (lokal) masih dapat operasional bagi komunitas lokal. Sementara itu kekuatan komunitarianisme masih mampu menahan laju tekanan TNKs.
Sementara itu, Corten menyatakan bahwa untuk mengalahkan korporasi, kehendak politik warga negara harus menjadi paham lokal yang disebut idealisme positif atau lokalisme yang positif (positive localism). Paham ini sanggup menjaga integritas lokal,  menjunjung tinggi keragaman dan mendukung kerja sama internasional dalam rangka mengabdi kepada umat manusia dan planet ini. Kerja sama dan pertukaran internasional yang adil dan merata adalah dimulai dengan masyarakat dan ekonomi lokal yang kuat, modal yang mengakar secara nyata dan hubungan yang seimbang dengan lingkungan. [11]
Colin menyatakan bahwa penguatan lokal harus bertujuan untuk menguntungkan masyarakat dan perekonomian lokal. Lokal harus mampu meningkatkan kendali perekonomian oleh masyarakat lokal sendiri dan oleh negara bangsa yang berdaulat penuh.  Hasilnya, semakin meningkatnya kerekatan sosial dalam masyarakat, semakin berkurang kemiskinan-ketidakadilan, peningkatan sarana-prasarana, terlindunginya lingkungan hidup dan semakin meningkatnya rasa aman di masyarakat. Ia mengijinkan keanekaragaman bentuk perekonomian sendiri.[12]Manajemen sumber daya berbasis lokal.

C. DINAMIKA LOKAL DALAM MANAJEMEN SUMBER DAYA AIR (SDA)
a)      Pencaplokan SDA (Kasus PT Aqua-Danone di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten)
            Menarik untuk menjelaskan  penguasaan air yang terjadi di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten yakni eksploitasi sumber air di tiga sumber yaitu Umbul Cokro, Umbul Ponggok dan si Gedhang dilakukan oleh PT Aqua-Danone. Fenomena ini meyakinkan kita bagaimana privatisasi telah nyata-nyata masuk dengan begitu mudah pada komunitas tertentu. Di sumber mata air si gedhang, eksploitasi air ini telah menyebabkan banyak kerugian bagi penduduk sekitar, seperti, pertama, debit air menurun dari 100 liter/detik menjadi 56 liter/detik. Hal ini tampak dari irigasi-irigasi mereka, sehingga petani harus mengandalkan sumur pompa dan air hujan. Uniknya, keadaan ini baru disadari setelah 3 tahun privatisasi. Kedua, pelanggaran IMB dan AMDAL dengan menggeser lokasi pengeboran dari titik sebelumnya. Ketiga, pengisolasian lokasi sumber gedhang yang menyebabkan tertutupnya akses masyarakat dalam mengontrol sumber produksi. [13]Perilaku PT Aqua-Danone membenarkan banyak tesis selama ini (Stiglitz, 2005, Corten, 2002) bahwa dalam beroperasi, korporasi global selalu mendasarkan pada keuntungan dan ia tega melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kesepakatan.
            Ironis memang, privatisasi sumber daya air bisa terjadi di masyarakat yang sangat menggantungkan air untuk memproduksi padi yang bermerk cukup terkenal. Hal ini  terjadi karena lemahnya institusi lokal ketika dihadapkan dengan korporasi global yang menjadi salah satu bagian dari MNC (Multinational Corporation). Birokrasi dari tingkat desa sampai kabupaten yang materialis-pragmatis mengambil alih penentuan keputusan beroperasinya korporasi. Baik masyarakat umum maupun para pengambil kebijakan tergoda oleh PT Aqua-Danone yang menjanjikan tempat wisata pengeboran air dan janji-janji penyerapan tenaga kerja. Seakan kompak para elit birokrasi menggerakan kelompok-kelompok tani untuk menyetujui proyek privatisasi ini.
            Keberpihakan elit birokrasi pada privatisasi bermula dari penjualan dan sertifikasi tanah milik desa, hingga PT Aqua-Danone leluasa mengeksploitasi sumber air sebanyak-banyaknya. Kesepatakan antara Pemerintah Kabupaten Klaten dengan PT Tirtainvestama Aqua-Danone tanggal 20 Maret 2002 menjadi hukum positif atas terjadinya privatisasi air yang kemudian ditindaklanjuti dengan Perda No. 12 tahun 1991 dan Surat DPRD No. 172/074/09 tanggal 28 Januari 2002.
            Di tingkat kabupaten, posisi eksekutif dan legislatif yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat  yang memilihnya ternyata sangat lemah ketika berhadapan dengan korporasi. Seperti ditulis WALHI dan KAU, pada saat  petani dan anggota dewan banyak yang protes, PT Aqua-Danone bisa melobi ketua DPRD dan akhirnya perijinan keluar.[14]
           
b)     Mempertahankan Sumber Air: Protes Masyarakat terhadap Pabrik PT Semen Gresik di Pegunungan Kendeng, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Bukan hanya perusahaan swasta yang berurusan dengan masyarakat sekitar ketika harus merubah lingkungan. Kebijakan negara yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar akan menuai gelombang protes dan ketidaksetujuan dari kelompok-kelompok di masyarakat.
Seperti gerakan masyarakat di Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Pati yang dimulai awal 2008 menentang persetujuan Pemerintah Kabupaten Pati atas rencana beroperasinya PT Semen Gresik.  Pemerintah Kabupaten Pati tampaknya ingin mendulang keuntungan dari keberadaan BUMN ini seperti telah dipraktekkan dengan korporasi-korporasi yang hari ini masih beroperasi, seperti Perusahaan Kacang Garuda dan Dua Kelinci.
Dari perspektif korporasi, PT Semen Gresik ingin membuka ”lahan” baru dengan mendasarkan pertimbangan kebutuhan semen yang selalu meningkat dan  prediksi tidak mampu menutupi defisit semen nasional yang akan terjadi mulai tahun 2012. Sementara itu, pemerintah tidak pernah mengkomunikasikan rencana tersebut kepada masyarakat, sehingga resiko pembangunan ini sama sekali tidak diketahui masyarakat. Pemerintah desa hanya mengundang masyarakat yang setuju selama proses penyebaran informasi ini.[15]
Ketenangan masyarakat yang rata-rata bermatapencaharian sebagai petani terusik sebab telah bertahun-tahun mengelola air bersih  dengan berbasis komunitas.  Tergabung pada Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Kabupaten Pati, masyarakat melakukan gerakan melawan BUMN ini. Gerakan ini dipelopori oleh sedulur sikep yang berhasil mengajak banyak komponen masyarakat untuk menolak rencana berdirinya Pabrik Semen.  Tingginya ketergantungan mereka pada pegunungan Kendeng ini yang sesungguhnya menjadi alasan penting mengapa masyarakat untuk menghimpun gerakan.
Tidak sama dengan dataran lain,  Pegunungan Kapur atau bukit kars ini telah menjadi tempat penyimpanan air dari tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya musim hujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik[16].
Tidak heran persebaran sumber air bisa ditemukan pada dusun-dusun, sebagai berikut: Desa Sukolilo (19 mata air), Desa Gadudero (3 mata air), Desa Tompe Gunung (21 mata air), Desa Kayen (4 mata air), Desa Kudumulyo (1 mata air), Desa Mlawat (1 mata air), Desa Baleadi (3 mata air), Desa Sumber suko (24 mata air), Desa Dokoro (12 mata air), Desa Kemadoh Batur (15 mata air).
Keberadaan sumber air-sumber air tersebut yang mengkuatirkan masyarakat akan berkurang dikarenakan penambangan dan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara [17]. Kondisi ini akan mengubah pola masyarakat yang telah bertahun-tahun memanfaatkan air baik dengan sistem pengelolaan berbasis komunitas maupun sistem berbasiskan negara lewat logika-logika bisnis PDAM.
Dinamika merupakan ciri-ciri pergerakan kelompok itu, ketika isu-isu yang  diangkat, yaitu:
1.      Masyarakat sekitar mengandalkan air di sekitar. Mereka mengkuatirkan jika penambangan akan menyebabkan air-air yang telah mereka ambil selama ini berkurang, mengingat sumber air yang ada  merupakan sumber air musiman
2.      Area yang digunakan sebagai penambangan merupakan wilayah produktif untuk pertanian padi. Dari 900 ha calon lokasi penambangan batu kapur, 85% merupakan lahan pertanian jagung, baik di tanah hak masyarakat maupun lahan Perhutani KPH Pati yang dikelola masyarakat. Sementara itu, 500 ha calon lokasi pembangunan jalan merupakan sawah produktif dengan basis pertanian padi. Sementara itu, ada 144.503 jiwa masyarakat Kabupaten Pati yang berada di Kawasan Pegunungan Kendeng yang selama ini bekerja pada sektor pertanian.[18]
3.      Tanaman-tanaman yang bisa dijadikan sebagai obat-obatan, pangan dan penyerapan air juga tumbuh subur di pegunungan ini. Bahkan beberapa orang menyatakan pegunungan juga berfungsi untuk menahan air bencana angin puting beliung [19]
Gerakan semakin menguat, ketika pengetahuan tradisional kelompok dipadukan dengan pengetahuan ilmiah akademis. Pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pengamatan sehari-hari didiskusikan dengan sistem pengetahuan modern yang dihasilkan dari perguruan tinggi. Tokoh-tokoh gerakan mendiskusikan dengan perguruan tinggi hasil klaim pengetahuan baik yang dinyatakan oleh korporasi maupun pemerintah. Keterbukaan ini yang menunjukkan ada perkembangan baru dari gerakan-gerakan sosial lingkungan di Indonesia.
Gelombang gerakan sosial baru bergulir dengan melibatkan banyak pihak untuk ”melawan” negara, seperti: YLBHI-LBH Semarang, Society for Health, Education, Environment and Peace (SHEEP) Foundation Central Java, Legal Service Institute YAPHI, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA), Jaringan Tambang (JATAM), Komisi Orang Hilang dan Anti Kekerasan (KONTRAS), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Desantara, Association for Community and Ecological Based Legal Reform (Huma), LBH Jakarta, Society Legal Aid Institution Society, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Front for Indonesian Youth Struggle (FPPI), LSAD, Hamas, Spores, and Madya. Sebagai tambahan akademisi-akademisi dari Pusat Studi Managemen Bencana  UPN Veteran Yogyakarta, Acintyacunyata Speleological Club (ASC), Yogyakarta Universitas Soegijopranoto, Semarang.[20]
Kelompok-kelompok aksi terbentuk dengan menyuarakan penolakan berdirinya pabrik. Regulasi-regulasi yang dikritik meliputi RTRW Jawa Tengah dan praktek AMDAL yang dilakukan oleh PT Semen Gresik. Menurut kelompok masyarakat RTRW Kabupaten Pati seharusnya menempatkan Pegunungan Kendeng sebagai lahan konservasi, bukan untuk industri atau kawasan bisnis. Gerakan masyarakat semakin menguat sebab tampaknya pengambil kebijakan tidak mengakomodir apa yang menjadi representasi keinginan masyarakat itu.
Seperti kelompok-kelompok aksi yang menanggapi isu lingkungan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan seperti demonstrasi, memperbanyak kegiatan-kegiatan peduli pegunungan Kendeng dan beraudiensi dengan para pengambil keputusan. Gerakan yang dilakukan JMPPK betul-betul cinta damai, artinya langkah yang dilakukan tidak anarkhis tetapi selalu mengedepankan aturan dan selalu mengajak banyak pihak untuk peduli pada persoalan yang diangkat. Justru dengan melibatkan banyak pihak, baik unsur kampus/akademisi dengan non akademisi akan memperoleh legitimasi baik akademis maupun non akademis.

c)      Manajemen Sumber Daya Air Berbasis Lokal : Modal Perlawanan terhadap Privatisasi (Kasus HIPPAM Dan HIPPA Di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu)
            Pemilihan penulis atas organisasi air sebagai objek kajian sangat penting, mengingat privatisasi air dengan UU No 7 tahun 2004, akan dilakukan lewat P3A/GP3A.[21] Kasus pencaplokan SDA di Klaten menunjukkan ketidakberdayaan organisasi lokal, seperti kelompok tani dan P3A (Perhimpunan Petani Pemakai Air) sebagai  kelompok-kelompok  yang tidak memiliki daya tawar, kemudian bersedia menandatangani kesepakatan dengan PT TIA-D.
Berkaca dari ini, penulis ingin menggambarkan bagaimana  dua organisasi pengelola air di Dusun Gondang, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu, terbukti berperan penting untuk menjaga sumber daya air dari campur tangan pihak luar. Kedua organisasi itu, yakni HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) dan HIPPA (Himpunan Petani Pemakai Air). HIPPAM bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan air untuk rumah tangga. Tanpa membuat sumur bor atau berlangganan air kepada PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), masyarakat Bumiaji sanggup memenuhi kebutuhan air mereka. HIPPAM adalah organisasi air yang tumbuh dan dibentuk masyarakat,  tanpa campur tangan pemerintah. Kalaupun sampai saat ini berhubungan dengan Dinas Pengairan dan Binamarga hanya membayar pajak sebesar Rp. 250.000,-/bulan dan melakukan koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup terkait dengan program-program konservasi lingkungan.
            HIPPAM ini bertanggung jawab mengalirkan air ke rumah-rumah penduduk dari mata air dari Gunung Anjasmoro. Pencarian sumber mata air dilakukan setiap saat secara gotong-royong, sebab keberadaan sumber tidak tentu. Kadang lancar mengalir, kadang juga buntu. Bahkan, kalau terjadi pembalakan liar banyak mata air yang mati. HIPPAM berdiri semenjak jaman kemerdekaan. Jika sebelumnya, satu sumber mata air digunakan bersama dengan PT Selecta, perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata dan bertempat di daerah itu, tetapi sejak tahun 1990, lepas dengan mencari sumber mata air sendiri. Ganti rugi yang diterima HIPPAM dari PT Selecta sebesar Rp. 15.000.000,-. Hingga kini HIPPAM bertanggung jawab atas penyaluran air untuk 400 rumah tangga dari tiga RW.
            Dalam prakteknya, aturan-aturan lokal masih dipertahankan, seperti : dalam memutuskan tarif yang harus ditanggung masing-masing kepala keluarga, tanpa menggunakan hitungan-hitungan rumit. Besar beban tarif hanya didasarkan atas jumlah anggota keluarga dan kepemilikan kendaraan. Bagi orang kaya tarif Rp.12.500/bulan, menengah Rp. 7.500,- dan yang kurang mampu membayar Rp.5.000,-/ bulan. Bahkan untuk yang beberapa kasus dibiarkan tidak membayar. Adapun besar tarif disepakati pada acara rembug desa. Bagi yang terlambat membayar uang, tidak langsung diputus akses atas air, melainkan disindir lewat forum-forum informal.
            Lain HIPPAM, lain pula HIPPA. HIPPA adalah organisasi yang bertanggung jawab dalam  pembagian air untuk mengaliri sawah/kebun dan pembangunan jaringan yang rusak. Sama dengan HIPPAM, HIPPA juga menolak campur tangan pemerintah. Kalaupun HIPPA berkoordinasi dengan Dinas Pengairan Kota Batu, hal ini lebih banyak didasarkan pertimbangan teknis pembagian air. Organisasi ini telah berjalan sejak tahun 1970 dengan pengurus organisasi yaitu ketua, sekretaris, bendahara dan 4 penanggung jawab blok.Ketua lebih berfungsi untuk melakukan koordinasi dan melakukan pembagian air yang adil.
            Aturan yang sudah berjalan yakni melakukan pergiliran pembagian air. Misalnya, untuk Desa Tulungrejo pada hari minggu, selasa, kamis. Sementara itu, desa-desa di luarnya pada hari-hari selain itu. Kemudian, tarif yang dikenakan pada tanah/lahan warga dialiri, yaitu per 400 m dikenai Rp. 5.000,-. Tetapi, kalau hanya mengambil air untuk menyemprot tanaman apel tidak dikenakan biaya. Semua bentuk aturan itu dirumuskan lewat forum rembug desa. Kalau ada yang mengalirkan air kelahannya tanpa persetujuan pengurus, akan diberi sanksi ketua dengan dihentikan aliran. Pernah, suatu kasus karena ada orang yang mencuri air itu, maka mengairi lahan dihentikan selama 1 tahun.
            Menariknya, dalam manajemen sumber daya air, keduanya beroperasi murni mengandalkan kekuatan lokal, seperti yang dinyatakan Corten (2005) sebagai idealisme positif atau lokalisme yang positif (positive localism). Baik HIPPAM maupun HIPPA selalu menolak campur tangan negara. Hal ini sedikit membedakan dengan apa yang dinyatakan Hines (2005) bahwa lokalisasi (lokal sebagai alternatif) adalah  menyerahkan urusan pengelolaan pada negara yang berdaulat penuh. Posisi negara yang tidak berpihak pada rakyat mungkin yang membuat ini.
Adapun, keinginan kuat  untuk menggunakan aturan-aturan lokal sebagai bagian dari manajemen sumber daya air masih bisa dilihat dari empat hal. Pertama, mereka menolak untuk merubah organisasi menjadi P3A, aturan-aturan lokal lebih mereka pilih dari pada birokratisasi organisasi air dalam bentuk P3A itu. Seperti yang kita ketahui terutama pada masa Orde Baru, negara mengharapkan agar P3A menjadi satu-satunya organisasi irigasi di Indonesia yang formal, seperti dilengkapi AD/ART, jadwal rapat, iuran, susunan pengurus secara lengkap (terdapat ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, ulu-ulu (pelaksana teknis), serta ketua petak/blok kuarter). Tidak berhenti di situ, Masyarakat Bumiaji juga menolak kalau pengelolaan air diberikan kepada birokrasi desa. Masyarakat menilai kuwowo atau jogo tirto bertindak tidak adil (pilih kasih), maka masyarakat mempercayakan HIPPA dengan  pengurus yang dipilih dalam rembug warga hingga sekarang.
            Kedua, mereka ikut mempelopori penolakan perubahan status desa menjadi kelurahan, sekalipun undang-undang pada saat itu (UU No.22 tahun 1999) yang menyaratkan perubahan status kelurahan pada semua desa di Kota Batu. Suara-suara penolakan itu selalu disampaikan baik kepada Walikota Imam Kabul maupun Walikota Edi Rumpoko. Pertimbangan masyarakat yaitu kalau status desa berubah menjadi kelurahan, banyak aset yang akan diambil alih pemerintah sehingga akses masyarakat atas sumber daya milik bersama akan hilang.
            Ketiga, sekalipun berkali-kali PDAM datang ke Ketua HIPPAM untuk menjadikan sumber mata air di bawah pengelolaan PDAM, tetapi selalu saja ditolak mentah-mentah warga. Warga menyatakan bahwa kepemilikan atas sumber mata air sudah berjalan sejak dulu dan secara turun temurun. Bahkan, bentuk penguasaan dan kepemilikan ini telah terlembaga Kota Batu berdiri. Kalau PDAM akan ikut mengambil bagian dari pengelolaan sumber, masyarakat meminta ganti rugi yang sangat besar atau kalau Pemkot memaksa mengambil bagian akan terjadi ”perang”.
            Keempat, penolakan masyarakat atas meterisasi untuk menghitung beban masing-masing anggota. Penggunaan ukuran meteran ini didiskusikan dalam rembug warga, selalu saja mentah. Menurut mereka, air adalah sumber daya sosial yang harus bisa dinikmati masyarakat dengan harga murah. Dengan demikian masyarakat bisa memanfaatkan air untuk keperluan rumah tangga, tanaman dan binatang. Pengurus HIPPAM menyatakan bahwa prinsip pengelolaan air di Kecamatan Bumi Aji adalah ”dari, oleh dan untuk” masyarakat, karena itu yang dipikirkan adalah bagaimana agar warga selalu tercukupi kebutuhan airnya. Justru yang menjadi paling penting harus dilakukan masyarakat sebagai bentuk kewajiban yakni melu handarbeni, melu hangkrukebi (ikut memiliki, ikut memelihara).
            Kelima, sekalipun Kecamatan Bumiaji memiliki sumber daya air yang melimpah, mereka belum menjadikan HIPPA dan HIPPAM sebagai Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Pertimbangan pengurus, tetap akan menjadikan air sumber daya sosial milik publik yang mudah dinikmati bersama-sama, bukan sebagai komoditi ekonomis. Di samping itu, masyarakat tidak percaya kalau air dikelola oleh pihak desa kondisinya menjadi lebih baik.


D.    PENUTUP
a. Kesimpulan & Rekomendasi
            Dengan adanya UU Sumber Daya Air, privatisasi air bisa dilakukan oleh siapapun dan kapanpun dengan mudah. Kekuatan korporasi sebagai kekuatan yang bermodal akan  menjarah sumber daya air dimanapun. Dalam kasus di Klaten dan Kabupaten Pati, negara memiliki peran penting. Akibatnya, baik masyarakat maupun organisasi-organisasi lokal berhadapan langsung dengan korporasi dan melepaskan sumber daya mereka. Akhirnya, mereka menerima kerugian jangka panjang. Untuk melakukan kontrol atas sumber daya air, warga Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo harus melakukan apa yang dinyatakan Barlow, Maude& Tony Clarke (2005) sebagai deprivatisasi. Persoalannya, langkah ini tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang dan berliku.
Sementara itu, di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, melalui  HIPPA dan HIPPAM masyarakat mampu mempertahankan pengelolaan mandiri dengan menolak intervensi negara lewat PDAM. Dari sini sesungguhnya, organisasi-organisasi pengelola air bisa berperan penting untuk melawan privatisasi air. Mereka bisa melakukan penguatan demokrasi ekonomi di tingkat komunitas.
Sayangnya, selama ini kedua organisasi air itu belum diberdayakan dengan baik atau kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan belum mengarah ke sana.[22] Manajemen air masih sebatas untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan arah organisasi ke depan tidak dirancang secara baik. Disebabkan pengetahuan dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih minim, organisasi-organisasi tersebut terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis.Padahal peluang untuk kegiatan yang lebih memiliki visi lebih luas sangat dimungkinkan. Sekalipun membisniskan air, tetapi kalau masih dalam prinsip partisipatif dan demokratisasi  komunitas sesungguhnya tidak menjadi soal. Organisasi lokal yang berdaya secara ekonomi akan menjadi lawan korporasi global yang sangat gencar mengkampanyekan privatisasi sumber daya air di seluruh belahan bumi.
DAFTAR PUSTAKA

Bahagijo, Sugeng (editor).2006. Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta : Pustaka LP3ES

Ballen, Balanya dkk (editor).2005. Reclaiming Public Water: Cerita Sukses, Perjuangan dan Visi dari Berbagai Daerah, Indonesia : Amrta Institute for Water Literacy bekerja sama dengan Trans National Institute dan Corporate European Observatry

Barlow, Maude & Tony Clarke.2005.Blue Gold :Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama 

Corten, David C. 2002. The Post Corporate World: Kehidupan Setelah Kapitalisme. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Endaryanta, Edwin. 2007. Politik Air di Indonesia : Penjarahan si Gedhang oleh Korporasi Aqua Danone. Yogyakarta : Laboratorium Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM

Hines, Colin. 2005. Mengganti Globalisasi Ekonomi menjadi Lokalisasi Demokrasi. Yogyakarta :INSIST Press dengan IIED

Marsono, Joko dkk (editor). 2004.Konflik Kepentingan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air. Yogjakarta : Bigraf Publishing kerja sama dengan STTL

Pasandaran, Effendi dkk (penyunting). 2002.Pengelolaan Lahan dan Air di Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian  

________________.1991. Irigasi di Indonesia: Strategi dan Pengembangan, Jakarta : LP3ES 

Prasetia, Heru & Bosman Batubara.2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil, DESANTARA, LAFADL Initiatives dan ISEE: Jogjakarta

Siregar, P. Raja dkk. 2004.Politik Air; Penguasaan Asing Melalui Hutang. Jakarta :WALHI & KAU

Shiva, Vandana. 2002.Water Wars:Privatisasi, Profit dan Polusi. Yogyakarta : Insist Press

Jurnal, Budi Santosa, Dosen FE Trisakti, Imron Azis, Kholid Novianto, dalam Berebut Kemilau Emas Biru, sepak Terjang Aktor-Aktor Neoliberal dan Menguasai Sumberdaya Air Dunia dan Air Kita Siapa Punya, Legislasi Neoliberal di Bidang Sumber Daya Air (SDA), dalam ReformReview, Vol II No.1, April-Juni 2008)

Dharmawan, Arya Hadi,  Otoritas Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Menatap Otonomi Desa dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan dan Ekologi Politik,  Makalah pemicu diskusi, disampaikan pada “Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030” diselenggarakan oleh KSPL, PSP3IPB dan P4W LPPM IPB, dilaksanakan di Kampus Manajemen Bisnis IPB Gunung Gede, Bogor 9-10 Mei 2007.

Internet
Siti Rakhma Mary Herwati, Tjahjono Rahardjo, Erwin Dwi Kristianto, 2011, The Mountain, The People and The Cement Factory, dalam http://tjahjonorahardjo.blogspot.com/2011/07/mountain-people-and-cement-factory.html








[1] Pasandaran, Effendi dkk (penyunting). 2002. Pengelolaan Lahan dan Air di Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, hlm. 11
[2] Suparmono dalam ibid
[3] Shiva, Vandana.2002.Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi. Yogyakarta:  Insist Press, hlm.1
[4] Bahagijo, Sugeng (editor).2006.Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta : Pustaka LP3ES, hlm. 184
[5] ibid, hlm. 139
[6] Sarwono S, Slamet, dalam  Pasandaran, Effendi dkk (penyunting). 2002. Pengelolaan Lahan dan Air di Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
[7] ibid, hlm. 13
[8] Bahagijo, Sugeng (editor).2006.Globalisasi Menghempas Indonesia. Yakarta: Pustaka LP3ES, hlm. 210
[9] Terkait dengan hal ini menarik apa yang dinyatakan oleh Permadi (Pengurus Partai Gerinda) pada Apa Kabar Petang TV One, 18 Mei 2011, Pukul 22.30. Dalam membuka keboborokan-keobobrokan DPR RI ia menceritakan tentang adanya pasal-pasal titipan dari kelompok-kelompok tertentu. Pasal ini biasanya masuk lewat orang-orang yang berpengaruh dalam pembuatan RUU. Satu kasus yang dikatakannya, RUU No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
[10] Bukti menunjukkan telah menunjukkan trend global perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan penyuapan. Seperti dirilis Transparansi Internasional, ditemukan hasil bahwa perusahaan di Rusia yang paling banyak melakukan suap. Disusul kemudian perusahaan-perusahaan China. Lihat Perusahaan Rusia dan China Paling Suka Menyuap dalam http://www.solopos.com/2011/channel/internasional/perusahaan-rusia-dan-china-paling-suka-menyuap-122489
[11]Corten,David C. 2002.The Post Corporate World: Kehidupan Setelah Kapitalisme. Jakarta :  Yayasan Obor Indonesia, hlm. 279
[12] Hines, Colins, 2005, hlm.9
[13] Endaryanta, Erwin.2007.Politik Air di Indonesia : Penjarahan si Gedhang oleh Korporasi Aqua Danone.Yogjakarta :Laboratorium Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM, hlm. 181-182
[14] P. Raja Siregar, dkk.2004. Politik Air; Penguasaan Asing Melalui Hutang. Jakarta :WALHI & KAU, hlm. 97
[15] Siti Rakhma Mary Herwati, Tjahjono Rahardjo, Erwin Dwi Kristianto, 2011, The Mountain, The People and The Cement Factory, dalam http://tjahjonorahardjo.blogspot.com/2011/07/mountain-people-and-cement-factory.html
[16] Sobirin, Mokh. 2010.Menjaga Air Tetap Mengalir : Politik Air dalam Skema Industrialisasi Pati Selatan, salah satu tulisan dalam buku ”Bencana Industri; Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil, Desantara, Lafadl Initiatives dan ISEE
[17] Ibid, hlm. 143.
[18] Ibid, hlm. 146
[19] Lihat JMPPK Membangun Posko Penyelamatan Gunung Kendeng dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&jd=JMPPK+Bangun+Posko+Penyelamatan+Gunung+Kendeng&dn=20080313115014
[20] Siti Rakhma Mary Herwati, Tjahjono Rahardjo, Erwin Dwi Kristianto, 2011, The Mountain, The People and The Cement Factory ndalam http://tjahjonorahardjo.blogspot.com/2011/07/mountain-people-and-cement-factory.html
[21] Santosa,  Budi dalam ReformReview, Vol II No.1, April-Juni 2008
[22] Kemungkinan bentuk pemberdayaan organisasi-organisasi ini bisa dilihat di akhir bab ini, Pemberdayaan Masyarakat untuk Peduli Lingkungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar