MELAWAN PRIVATISASI AIR DENGAN
MANAJEMEN SUMBER DAYA BERBASIS LOKAL
Oleh : Rachmad K.Dwi Susilo
(Pengkaji Sosiologi Lingkungan
dari Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)
A.
PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG
“Air adalah sumber kehidupan”, demikian
dinyatakan iklan TVRI beberapa tahun lalu. Memang, semua kegiatan manusia tidak
bisa dilepaskan dari keberadaan air. Dari keperluan domestik, kebutuhan
sehari-hari sampai air yang dimanfaatkan nilai ekonominya untuk kepentingan profit
oriented. Dalam memanfaatkan air, bertahun-tahun masyarakat hidup harmonis
dengan alam, yakni mengambil keuntungan dari lingkungan sekedar memenuhi kebutuhan
secukupnya.
Tetapi,
ketenangan ini terusik karena sebagian besar daerah mengalami persoalan air. Kekeringan
menjadi persoalan rutin pada saat hujan tidak kunjung datang. Sementara itu,
bentuk pengelolaan yang tidak baik selama ini menyebabkan kegagalan masyarakat
dalam memenuhi berbagai permintaan terhadap air, terjadinya krisis air dan
konflik memperebutkan sumber daya air, rusaknya sumber daya alam dan prasarana
sumber daya air yang akhirnya memperparah krisis air itu.[1]
Lihatlah, jika pada tahun 1930 Pulau Jawa mampu memasok sebesar
4700 m3 per kapita per tahun, kemudian tahun 2006 1500 m3 per kapita
tahun, tetapi pada tahun 2020
diperkirakan hanya mampu memasok 1200 m3 per kapita tahun. [2]Sementara itu, pada wilayah yang lebih
global, Vandana Shiva menyatakan bahwa jika pada tahun 1998, 208 negara
mengalami kekurangan atau kelangkaan air, pada tahun 2025 angka ini diperkirakan
akan bertambah 56 negara. Kemudian, antara tahun 1990 dan 2025 jumlah orang
yang hidup di negara tanpa air yang memadai diperkirakan akan mengalami
peningkatan 131 menjadi 817 juta.[3]
Uniknya,
institusi penyangga globalisasi ekonomi meyakini privatisasi dianggap mampu
menyelesaikan kelangkaan sumber daya air. Dalam paper “Improving Water
Resources Management”, Bank Dunia meyakini bahwa air yang tersedia dengan
biaya yang rendah adalah tidak ekonomis dan tidak efisien. Karena itu setiap
orang, bahkan kelompok yang miskin sekalipun harus membayar untuk membeli air. Pada konferensi tentang air dan lingkungan yang diselenggarakan di
Dublin, Irlandia, 1992 lahir The Dublin Statement on Water and Sustainable
Development yang salah satu prinsipnya menyatakan, “ water has an
economic value in all its competing uses and should be recognized as an
economic good “.[4]
Pada konteks di atas, jelas
bahwa pengelolaan air telah masuk pada wilayah privatisasi. Sama dengan
sumber daya alam yang telah lama dikomodifikasi, air juga masuk pada wilayah
yang diperjualbelikan itu. Pemain-pemain kelas atas saja yang akan memenangkan privatisasi ini.
Sekalipun banyak pihak meyakini privatisasi sebagai sistem pengelolaan yang
baik, tetapi sesungguhnya asumsi-asumsi privatisasi tidak sepenuhnya benar,
David Hall dan Emanuele Lobina menyatakan bahwa mengacu pada studi-studi yang
dilakukan Bank Dunia tidak terdapat bukti kuat yang mendukung superioritas
efisiensi perusahaan air yang dikelola oleh pihak swasta atas perusahaan yang
dikelola publik [5]
Kelangkaan
air dan konflik sosial di masyarakat adalah pemandangan yang terjadi sebagai
efek dari kebijakan global ini. Persoalan ekologis, sosial sampai politik
adalah hasil dari skema yang dipaksakan oleh institusi-institusi globalisasi
itu. Kasus di Ekuador, misalnya, privatisasi bermasalah karena adanya
intervensi eksternal, timbulnya perjanjian-perjanjian rahasia atau perjanjian
yang tidak transparan, munculnya kecenderungan monopoli dan akhirnya
mengakibatkan krisis politik yang serius.[6]
Di Indonesia, privatisasi sumber daya air
masuk dalam reformasi ekonomi. Pemerintah melakukan reformasi sumberdaya air
melalui WATSAL (Water Sector Adjustment Loan), sebagai syarat
mendapatkan bantuan dari Bank Dunia. Ruang lingkup reformasi meliputi
pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi, RUU sumber daya air dan privatisasi
pengelolaan sumber daya air khususnya perusahaan air minum. [7]
Kalau
pada dasawarsa 1960-an sampai awal tahun 1980-an, Bank Dunia mendorong
sentralisme serta pembangunan negara-negara berkembang, tetapi kemudian
mendukung kebijakan ekonomi negara pro-pasar dan pro-swasta sejak pertengahan
tahun 1980-an sampai sekarang. Kemudian, di akhir tahun 1990-an konsep
restrukturasi sektor publik dan partisipasi sektor swasta pada tingkatan
tertentu bergeser menjadi pengalihan tugas penyediaan pelayanan dasar dari
sektor publik kepada sektor swasta.[8]
Di
Indonesia, pencaplokan sumber daya air dilakukan dengan perumusan Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2004. Secara jelas kelahiran UU ini didorong oleh Bank Dunia yang
mengarahkan agar sumber daya air bisa diperjualbelikan layaknya
komoditas-komoditas lain. Hal ini tampak dari diakuinya hak guna usaha yakni
penggunaan air untuk tujuan komersial dan atau kebutuhan usaha.[9]
Privatisasi
sebagai instrumen globalisasi harus dilawan, sebab implikasi dari privatisasi
sumber daya air akan mengkhawatirkan banyak pihak, pertama, paradigma
komodifikasi dan profit oriented akan mendorong korporasi global untuk
mengeksploitasi sumber daya air tanpa batas. Dalam menjalankan bisnis,
korporasi tidak segan-segan melakukan penyuapan, korupsi dan praktek-praktek
tidak fair lain[10]. Praktek-praktek yang tidak sehat semacam
itu akan membawa ancaman ke depan yakni
praktek bisnis yang tidak beretika sehingga kelangkaan (scarcity)
sumber daya di sana-sini menjadi taruhan berikutnya.
Kedua, tercerabutnya kontrol masyarakat atas hak-hak
komunal atas sumber daya di sekitar mereka. Karena, berpindahnya kepemilikan
komunal menjadi kepemilikan pribadi, secara otomatis memaksa masyarakat
menyerahkan kontrol atas sumber daya mereka. Kehadiran dari institusi raksasa
yang bernama korporasi yang berpusat jauh di sana, masuk dan akan menggoyahkan
desa-desa yang telah memiliki sistem sosial teratur.
b. Tujuan Tulisan ini :
Tujuan dari tulisan ini sebagai berikut,
a)
Menggambarkan bagaimana korporasi global mencaplok sumber daya air dari komunitas
tertentu yang memiliki kekuatan lokal lemah.
b)
Menggambarkan dinamika lokal dalam manajemen sumber daya air.
c)
Merekomendasikan manajemen sumber daya air berbasis kekuatan lokal yang
diharapkan mampu melawan privatisasi air.
B. PERSPEKTIF TEORITIS : LOKALISME POSITIF
SEBAGAI ALTERNATIF GLOBALISASI
Dharmawan, Arya Hadi menyatakan macam-macam
struktur pengelolaan sumber daya alam, yakni: pertama, struktur otoritas
pengelola SDA bercirikan “lokalisme defensif” adalah ruang dimana
pengelolaan SDA mengandalkan struktur-struktur kelembagaan dan aturan-aturan
lokal yang sangat-otonom sifatnya. Segala kekuatan asing tidak dapat menembus
isolasi.
Kedua,
struktur otoritas pengelola SDA bercirikan hibriditas budaya.
Derasnya arus keterbukaan memberikan akses yang sangat besar bagi masuknya
sistem-sistem pengetahuan, ideologi dan tata-nilai budaya asing ke kawasan
lokal. Intrusi yang terus menerus, hingga taraf tertentu mampu melumpuhkan
sistem budaya lokal sehingga menghasilkan pada masyarakat tempatan.
Ketiga,
struktur pengelolaan SDA bentukan dari luar menggantikan otoritas asli
pengelola SDA lokal tidak lagi mampu dan berdaya (lumpuh dan terdistorsi) ruang
dimana modernitas-Barat yang dibawa oleh gerakan modernisasi (termasuk
modernisasi pemerintahan lokal) via berbagai kegiatan pembangunan telah mampu
mengubah strukturstruktur atau tatanan-kelembagaan pengelolaan SDA lokal.
Keempat,
struktur pengelolaan SDA telah terkolonisasi oleh struktur dan mekanisme
bentukan dari luar, tetapi filter budaya masih terjaga dengan
baik, sehingga orientasi nilai budaya tempatan (lokal) masih dapat operasional
bagi komunitas lokal. Sementara
itu kekuatan komunitarianisme masih mampu menahan laju tekanan TNKs.
Sementara itu, Corten menyatakan bahwa untuk mengalahkan
korporasi, kehendak politik warga negara harus menjadi paham lokal yang disebut
idealisme positif atau lokalisme yang positif (positive localism). Paham
ini sanggup menjaga integritas lokal,
menjunjung tinggi keragaman dan mendukung kerja sama internasional dalam
rangka mengabdi kepada umat manusia dan planet ini. Kerja sama dan pertukaran
internasional yang adil dan merata adalah dimulai dengan masyarakat dan ekonomi
lokal yang kuat, modal yang mengakar secara nyata dan hubungan yang seimbang dengan
lingkungan. [11]
Colin menyatakan bahwa penguatan lokal harus
bertujuan untuk menguntungkan masyarakat dan perekonomian lokal. Lokal harus
mampu meningkatkan kendali perekonomian oleh masyarakat lokal sendiri dan oleh
negara bangsa yang berdaulat penuh.
Hasilnya, semakin meningkatnya kerekatan sosial dalam masyarakat, semakin
berkurang kemiskinan-ketidakadilan, peningkatan sarana-prasarana,
terlindunginya lingkungan hidup dan semakin meningkatnya rasa aman di
masyarakat. Ia mengijinkan keanekaragaman bentuk perekonomian sendiri.[12]Manajemen sumber daya berbasis lokal.
C. DINAMIKA LOKAL DALAM MANAJEMEN SUMBER DAYA AIR (SDA)
a) Pencaplokan SDA (Kasus PT Aqua-Danone di Desa
Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten)
Menarik
untuk menjelaskan penguasaan air yang
terjadi di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten yakni
eksploitasi sumber air di tiga sumber yaitu Umbul Cokro, Umbul
Ponggok dan si Gedhang dilakukan oleh PT Aqua-Danone. Fenomena ini
meyakinkan kita bagaimana privatisasi telah nyata-nyata masuk dengan begitu
mudah pada komunitas tertentu. Di sumber mata air si gedhang,
eksploitasi air ini telah menyebabkan banyak kerugian bagi penduduk sekitar,
seperti, pertama, debit air menurun dari 100 liter/detik menjadi 56 liter/detik.
Hal ini tampak dari irigasi-irigasi mereka, sehingga petani harus mengandalkan
sumur pompa dan air hujan. Uniknya, keadaan ini baru disadari setelah 3 tahun
privatisasi. Kedua, pelanggaran IMB dan AMDAL dengan menggeser lokasi
pengeboran dari titik sebelumnya. Ketiga, pengisolasian lokasi sumber gedhang
yang menyebabkan tertutupnya akses masyarakat dalam mengontrol sumber produksi.
[13]Perilaku
PT Aqua-Danone membenarkan banyak tesis selama ini (Stiglitz, 2005, Corten, 2002)
bahwa dalam beroperasi, korporasi global selalu mendasarkan pada keuntungan dan
ia tega melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kesepakatan.
Ironis
memang, privatisasi sumber daya air bisa terjadi di masyarakat yang sangat
menggantungkan air untuk memproduksi padi yang bermerk cukup terkenal. Hal
ini terjadi karena lemahnya institusi
lokal ketika dihadapkan dengan korporasi global yang menjadi salah satu bagian
dari MNC (Multinational Corporation). Birokrasi dari tingkat desa sampai
kabupaten yang materialis-pragmatis mengambil alih penentuan keputusan
beroperasinya korporasi. Baik masyarakat umum maupun para pengambil kebijakan
tergoda oleh PT Aqua-Danone yang menjanjikan tempat wisata pengeboran air dan
janji-janji penyerapan tenaga kerja. Seakan kompak para elit birokrasi
menggerakan kelompok-kelompok tani untuk menyetujui proyek privatisasi ini.
Keberpihakan
elit birokrasi pada privatisasi bermula dari penjualan dan sertifikasi tanah
milik desa, hingga PT Aqua-Danone leluasa mengeksploitasi sumber air
sebanyak-banyaknya. Kesepatakan antara Pemerintah Kabupaten Klaten dengan PT
Tirtainvestama Aqua-Danone tanggal 20 Maret 2002 menjadi hukum positif atas
terjadinya privatisasi air yang kemudian ditindaklanjuti dengan Perda No. 12
tahun 1991 dan Surat DPRD No. 172/074/09 tanggal 28 Januari 2002.
Di
tingkat kabupaten, posisi eksekutif dan legislatif yang seharusnya memperjuangkan
kepentingan rakyat yang memilihnya ternyata
sangat lemah ketika berhadapan dengan korporasi. Seperti ditulis WALHI dan KAU,
pada saat petani dan anggota dewan
banyak yang protes, PT Aqua-Danone bisa melobi ketua DPRD dan akhirnya
perijinan keluar.[14]
b) Mempertahankan Sumber Air: Protes Masyarakat terhadap
Pabrik PT Semen Gresik di Pegunungan Kendeng, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah.
Bukan hanya perusahaan swasta yang berurusan
dengan masyarakat sekitar ketika harus merubah lingkungan. Kebijakan negara yang
tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar akan menuai gelombang
protes dan ketidaksetujuan dari kelompok-kelompok di masyarakat.
Seperti gerakan masyarakat di Pegunungan
Kendeng Utara, Kabupaten Pati yang dimulai awal 2008 menentang persetujuan Pemerintah
Kabupaten Pati atas rencana beroperasinya PT Semen Gresik. Pemerintah Kabupaten Pati tampaknya ingin
mendulang keuntungan dari keberadaan BUMN ini seperti telah dipraktekkan dengan
korporasi-korporasi yang hari ini masih beroperasi, seperti Perusahaan Kacang
Garuda dan Dua Kelinci.
Dari perspektif korporasi, PT Semen Gresik
ingin membuka ”lahan” baru dengan mendasarkan pertimbangan kebutuhan semen yang
selalu meningkat dan prediksi tidak
mampu menutupi defisit semen nasional yang akan terjadi mulai tahun 2012.
Sementara itu, pemerintah tidak pernah mengkomunikasikan rencana tersebut
kepada masyarakat, sehingga resiko pembangunan ini sama sekali tidak diketahui
masyarakat. Pemerintah desa hanya mengundang masyarakat yang setuju selama
proses penyebaran informasi ini.[15]
Ketenangan masyarakat yang rata-rata
bermatapencaharian sebagai petani terusik sebab telah bertahun-tahun mengelola
air bersih dengan berbasis
komunitas. Tergabung pada Jaringan
Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Kabupaten
Pati, masyarakat melakukan gerakan melawan BUMN ini.
Gerakan ini dipelopori oleh sedulur sikep yang berhasil mengajak banyak
komponen masyarakat untuk menolak rencana berdirinya Pabrik Semen. Tingginya ketergantungan mereka pada
pegunungan Kendeng ini yang sesungguhnya menjadi alasan penting mengapa
masyarakat untuk menghimpun gerakan.
Tidak sama dengan dataran lain, Pegunungan Kapur atau bukit kars ini telah
menjadi tempat penyimpanan air dari tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya
musim hujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air mengalir
sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik[16].
Tidak heran persebaran sumber air bisa
ditemukan pada dusun-dusun, sebagai berikut: Desa Sukolilo (19 mata air), Desa
Gadudero (3 mata air), Desa Tompe Gunung (21 mata air), Desa Kayen (4 mata
air), Desa Kudumulyo (1 mata air), Desa Mlawat (1 mata air), Desa Baleadi (3
mata air), Desa Sumber suko (24 mata air), Desa Dokoro (12 mata air), Desa
Kemadoh Batur (15 mata air).
Keberadaan sumber air-sumber air tersebut
yang mengkuatirkan masyarakat akan berkurang dikarenakan penambangan dan
pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara [17].
Kondisi ini akan mengubah pola masyarakat yang telah bertahun-tahun memanfaatkan
air baik dengan sistem pengelolaan berbasis komunitas maupun sistem berbasiskan
negara lewat logika-logika bisnis PDAM.
Dinamika merupakan ciri-ciri pergerakan
kelompok itu, ketika isu-isu yang
diangkat, yaitu:
1. Masyarakat sekitar mengandalkan air di sekitar.
Mereka mengkuatirkan jika penambangan akan menyebabkan air-air yang telah
mereka ambil selama ini berkurang, mengingat sumber air yang ada merupakan sumber air musiman
2. Area yang digunakan sebagai penambangan
merupakan wilayah produktif untuk pertanian padi. Dari 900 ha calon lokasi
penambangan batu kapur, 85% merupakan lahan pertanian jagung, baik di tanah hak
masyarakat maupun lahan Perhutani KPH Pati yang dikelola masyarakat. Sementara
itu, 500 ha calon lokasi pembangunan jalan merupakan sawah produktif dengan
basis pertanian padi. Sementara itu, ada 144.503 jiwa masyarakat Kabupaten Pati
yang berada di Kawasan Pegunungan Kendeng yang selama ini bekerja pada sektor
pertanian.[18]
3. Tanaman-tanaman yang bisa dijadikan sebagai
obat-obatan, pangan dan penyerapan air juga tumbuh subur di pegunungan ini.
Bahkan beberapa orang menyatakan pegunungan juga berfungsi untuk menahan air
bencana angin puting beliung [19]
Gerakan semakin menguat, ketika pengetahuan tradisional
kelompok dipadukan dengan pengetahuan ilmiah akademis. Pengetahuan yang
didasarkan atas pengalaman dan pengamatan sehari-hari didiskusikan dengan
sistem pengetahuan modern yang dihasilkan dari perguruan tinggi. Tokoh-tokoh
gerakan mendiskusikan dengan perguruan tinggi hasil klaim pengetahuan baik yang
dinyatakan oleh korporasi maupun pemerintah. Keterbukaan ini yang menunjukkan
ada perkembangan baru dari gerakan-gerakan sosial lingkungan di Indonesia.
Gelombang gerakan sosial baru bergulir dengan melibatkan
banyak pihak untuk ”melawan” negara, seperti: YLBHI-LBH
Semarang, Society for Health, Education, Environment and Peace (SHEEP)
Foundation Central Java, Legal Service Institute YAPHI, Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI), Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Koalisi Rakyat
untuk Hak atas Air (KRUHA), Jaringan Tambang (JATAM), Komisi Orang Hilang dan
Anti Kekerasan (KONTRAS), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Indonesian
Centre for Environmental Law (ICEL), Desantara, Association for
Community and Ecological Based Legal Reform (Huma), LBH Jakarta, Society
Legal Aid Institution Society, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Front
for Indonesian Youth Struggle (FPPI), LSAD, Hamas, Spores, and Madya.
Sebagai tambahan akademisi-akademisi dari Pusat Studi Managemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, Acintyacunyata
Speleological Club (ASC), Yogyakarta Universitas Soegijopranoto, Semarang.[20]
Kelompok-kelompok aksi terbentuk dengan
menyuarakan penolakan berdirinya pabrik. Regulasi-regulasi yang dikritik
meliputi RTRW Jawa Tengah dan praktek AMDAL yang dilakukan oleh PT Semen
Gresik. Menurut kelompok masyarakat RTRW Kabupaten Pati seharusnya menempatkan
Pegunungan Kendeng sebagai lahan konservasi, bukan untuk industri atau kawasan
bisnis. Gerakan masyarakat semakin menguat sebab tampaknya pengambil kebijakan
tidak mengakomodir apa yang menjadi representasi keinginan masyarakat itu.
Seperti kelompok-kelompok aksi yang
menanggapi isu lingkungan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan seperti
demonstrasi, memperbanyak kegiatan-kegiatan peduli pegunungan Kendeng dan
beraudiensi dengan para pengambil keputusan. Gerakan yang dilakukan JMPPK
betul-betul cinta damai, artinya langkah yang dilakukan tidak anarkhis tetapi
selalu mengedepankan aturan dan selalu mengajak banyak pihak untuk peduli pada
persoalan yang diangkat. Justru dengan melibatkan banyak pihak, baik unsur
kampus/akademisi dengan non akademisi akan memperoleh legitimasi baik akademis
maupun non akademis.
c) Manajemen Sumber Daya Air Berbasis Lokal :
Modal Perlawanan terhadap Privatisasi (Kasus HIPPAM Dan HIPPA Di Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu)
Pemilihan penulis atas organisasi
air sebagai objek kajian sangat penting, mengingat privatisasi air dengan UU No
7 tahun 2004, akan dilakukan lewat P3A/GP3A.[21]
Kasus pencaplokan SDA di Klaten menunjukkan ketidakberdayaan organisasi lokal,
seperti kelompok tani dan P3A (Perhimpunan Petani Pemakai Air) sebagai kelompok-kelompok yang tidak memiliki daya tawar, kemudian
bersedia menandatangani kesepakatan dengan PT TIA-D.
Berkaca dari ini, penulis ingin menggambarkan
bagaimana dua organisasi pengelola air
di Dusun Gondang, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu, terbukti berperan penting
untuk menjaga sumber daya air dari campur tangan pihak luar. Kedua organisasi
itu, yakni HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) dan HIPPA (Himpunan
Petani Pemakai Air). HIPPAM
bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan air untuk rumah tangga. Tanpa
membuat sumur bor atau berlangganan air kepada PDAM (Perusahaan Daerah Air
Minum), masyarakat Bumiaji sanggup memenuhi kebutuhan air mereka. HIPPAM adalah
organisasi air yang tumbuh dan dibentuk masyarakat, tanpa campur tangan pemerintah. Kalaupun
sampai saat ini berhubungan dengan Dinas Pengairan dan Binamarga hanya membayar
pajak sebesar Rp. 250.000,-/bulan dan melakukan koordinasi dengan Dinas
Lingkungan Hidup terkait dengan program-program konservasi lingkungan.
HIPPAM ini
bertanggung jawab mengalirkan air ke rumah-rumah penduduk dari mata air dari
Gunung Anjasmoro. Pencarian sumber mata air dilakukan setiap saat secara
gotong-royong, sebab keberadaan sumber tidak tentu. Kadang lancar mengalir,
kadang juga buntu. Bahkan, kalau terjadi pembalakan liar banyak mata air yang
mati. HIPPAM berdiri semenjak jaman kemerdekaan. Jika sebelumnya, satu sumber
mata air digunakan bersama dengan PT Selecta, perusahaan yang bergerak di
bidang pariwisata dan bertempat di daerah itu, tetapi sejak tahun 1990, lepas
dengan mencari sumber mata air sendiri. Ganti rugi yang diterima HIPPAM dari PT
Selecta sebesar Rp. 15.000.000,-. Hingga kini HIPPAM bertanggung jawab atas
penyaluran air untuk 400 rumah tangga dari tiga RW.
Dalam prakteknya,
aturan-aturan lokal masih dipertahankan, seperti : dalam memutuskan tarif yang
harus ditanggung masing-masing kepala keluarga, tanpa menggunakan
hitungan-hitungan rumit. Besar beban tarif hanya didasarkan atas jumlah anggota
keluarga dan kepemilikan kendaraan. Bagi orang kaya tarif Rp.12.500/bulan,
menengah Rp. 7.500,- dan yang kurang mampu membayar Rp.5.000,-/ bulan. Bahkan
untuk yang beberapa kasus dibiarkan tidak membayar. Adapun besar tarif
disepakati pada acara rembug desa. Bagi yang terlambat membayar uang,
tidak langsung diputus akses atas air, melainkan disindir lewat forum-forum
informal.
Lain HIPPAM, lain pula HIPPA. HIPPA adalah
organisasi yang bertanggung jawab dalam
pembagian air untuk mengaliri sawah/kebun dan pembangunan jaringan yang
rusak. Sama dengan HIPPAM, HIPPA juga menolak campur tangan pemerintah.
Kalaupun HIPPA berkoordinasi dengan Dinas Pengairan Kota Batu, hal ini lebih
banyak didasarkan pertimbangan teknis pembagian air. Organisasi ini telah
berjalan sejak tahun 1970 dengan pengurus organisasi yaitu ketua, sekretaris,
bendahara dan 4 penanggung jawab blok.Ketua lebih berfungsi untuk melakukan
koordinasi dan melakukan pembagian air yang adil.
Aturan
yang sudah berjalan yakni melakukan pergiliran pembagian air. Misalnya, untuk
Desa Tulungrejo pada hari minggu, selasa, kamis. Sementara itu, desa-desa di
luarnya pada hari-hari selain itu. Kemudian, tarif yang dikenakan pada
tanah/lahan warga dialiri, yaitu per 400 m dikenai Rp. 5.000,-. Tetapi, kalau
hanya mengambil air untuk menyemprot tanaman apel tidak dikenakan biaya. Semua
bentuk aturan itu dirumuskan lewat forum rembug desa. Kalau ada yang
mengalirkan air kelahannya tanpa persetujuan pengurus, akan diberi sanksi ketua
dengan dihentikan aliran. Pernah, suatu kasus karena ada orang yang mencuri air
itu, maka mengairi lahan dihentikan selama 1 tahun.
Menariknya, dalam manajemen sumber daya air,
keduanya beroperasi murni mengandalkan kekuatan lokal, seperti yang dinyatakan Corten
(2005) sebagai idealisme positif atau lokalisme yang positif (positive
localism). Baik HIPPAM maupun HIPPA selalu menolak campur tangan negara.
Hal ini sedikit membedakan dengan apa yang dinyatakan Hines (2005) bahwa
lokalisasi (lokal sebagai alternatif) adalah
menyerahkan urusan pengelolaan pada negara yang berdaulat penuh. Posisi
negara yang tidak berpihak pada rakyat mungkin yang membuat ini.
Adapun, keinginan kuat
untuk menggunakan aturan-aturan lokal sebagai bagian dari manajemen
sumber daya air masih bisa dilihat dari empat hal. Pertama, mereka
menolak untuk merubah organisasi menjadi P3A, aturan-aturan lokal lebih mereka
pilih dari pada birokratisasi organisasi air dalam bentuk P3A itu. Seperti yang
kita ketahui terutama pada masa Orde Baru, negara mengharapkan agar P3A menjadi
satu-satunya organisasi irigasi di Indonesia yang formal, seperti dilengkapi
AD/ART, jadwal rapat, iuran, susunan pengurus secara lengkap (terdapat ketua,
wakil ketua, sekretaris, bendahara, ulu-ulu (pelaksana teknis), serta
ketua petak/blok kuarter). Tidak berhenti di situ, Masyarakat Bumiaji juga
menolak kalau pengelolaan air diberikan kepada birokrasi desa. Masyarakat
menilai kuwowo atau jogo tirto bertindak tidak adil (pilih
kasih), maka masyarakat mempercayakan HIPPA dengan pengurus yang dipilih dalam rembug
warga hingga sekarang.
Kedua, mereka ikut
mempelopori penolakan perubahan status desa menjadi kelurahan, sekalipun undang-undang
pada saat itu (UU No.22 tahun 1999) yang menyaratkan perubahan status kelurahan
pada semua desa di Kota Batu. Suara-suara penolakan itu selalu disampaikan baik
kepada Walikota Imam Kabul maupun Walikota Edi Rumpoko. Pertimbangan masyarakat
yaitu kalau status desa berubah menjadi kelurahan, banyak aset yang akan
diambil alih pemerintah sehingga akses masyarakat atas sumber daya milik
bersama akan hilang.
Ketiga, sekalipun
berkali-kali PDAM datang ke Ketua HIPPAM untuk menjadikan sumber mata air di
bawah pengelolaan PDAM, tetapi selalu saja ditolak mentah-mentah warga. Warga
menyatakan bahwa kepemilikan atas sumber mata air sudah berjalan sejak dulu dan
secara turun temurun. Bahkan, bentuk penguasaan dan kepemilikan ini telah
terlembaga Kota Batu berdiri. Kalau PDAM akan ikut mengambil bagian dari
pengelolaan sumber, masyarakat meminta ganti rugi yang sangat besar atau kalau
Pemkot memaksa mengambil bagian akan terjadi ”perang”.
Keempat, penolakan masyarakat atas meterisasi untuk
menghitung beban masing-masing anggota. Penggunaan ukuran meteran ini
didiskusikan dalam rembug warga, selalu saja mentah. Menurut mereka, air adalah sumber daya sosial
yang harus bisa dinikmati masyarakat dengan harga murah. Dengan demikian
masyarakat bisa memanfaatkan air untuk keperluan rumah tangga, tanaman dan
binatang. Pengurus HIPPAM menyatakan bahwa prinsip pengelolaan air di Kecamatan
Bumi Aji adalah ”dari, oleh dan untuk” masyarakat, karena itu yang dipikirkan
adalah bagaimana agar warga selalu tercukupi kebutuhan airnya. Justru yang
menjadi paling penting harus dilakukan masyarakat sebagai bentuk kewajiban
yakni melu handarbeni, melu hangkrukebi (ikut memiliki, ikut
memelihara).
Kelima, sekalipun Kecamatan
Bumiaji memiliki sumber daya air yang melimpah, mereka belum menjadikan HIPPA
dan HIPPAM sebagai Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Pertimbangan pengurus,
tetap akan menjadikan air sumber daya sosial milik publik yang mudah dinikmati
bersama-sama, bukan sebagai komoditi ekonomis. Di samping itu, masyarakat tidak
percaya kalau air dikelola oleh pihak desa kondisinya menjadi lebih baik.
D. PENUTUP
a. Kesimpulan & Rekomendasi
Dengan
adanya UU Sumber Daya Air, privatisasi air bisa dilakukan oleh siapapun dan
kapanpun dengan mudah. Kekuatan korporasi sebagai kekuatan yang bermodal
akan menjarah sumber daya air dimanapun.
Dalam kasus di Klaten dan Kabupaten Pati, negara memiliki peran penting.
Akibatnya, baik masyarakat maupun organisasi-organisasi lokal berhadapan
langsung dengan korporasi dan melepaskan sumber daya mereka. Akhirnya, mereka
menerima kerugian jangka panjang. Untuk melakukan kontrol atas sumber daya air,
warga Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo harus melakukan apa yang dinyatakan Barlow,
Maude& Tony Clarke (2005) sebagai deprivatisasi. Persoalannya, langkah
ini tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang dan berliku.
Sementara itu, di Kecamatan Bumiaji, Kota
Batu, melalui HIPPA dan HIPPAM
masyarakat mampu mempertahankan pengelolaan mandiri dengan menolak intervensi
negara lewat PDAM. Dari sini sesungguhnya, organisasi-organisasi pengelola air
bisa berperan penting untuk melawan privatisasi air. Mereka bisa melakukan
penguatan demokrasi ekonomi di tingkat komunitas.
Sayangnya, selama ini kedua organisasi air
itu belum diberdayakan dengan baik atau kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan
belum mengarah ke sana.[22]
Manajemen air masih sebatas untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan arah
organisasi ke depan tidak dirancang secara baik. Disebabkan pengetahuan dan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih minim, organisasi-organisasi tersebut
terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis.Padahal peluang untuk kegiatan yang
lebih memiliki visi lebih luas sangat dimungkinkan. Sekalipun membisniskan air,
tetapi kalau masih dalam prinsip partisipatif dan demokratisasi komunitas sesungguhnya tidak menjadi soal.
Organisasi lokal yang berdaya secara ekonomi akan menjadi lawan korporasi
global yang sangat gencar mengkampanyekan privatisasi sumber daya air di
seluruh belahan bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Bahagijo, Sugeng (editor).2006. Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta : Pustaka LP3ES
Ballen, Balanya dkk (editor).2005. Reclaiming
Public Water: Cerita Sukses, Perjuangan dan Visi dari Berbagai Daerah,
Indonesia : Amrta Institute for Water Literacy bekerja sama dengan Trans
National Institute dan Corporate European Observatry
Barlow, Maude & Tony Clarke.2005.Blue Gold :Perampasan dan
Komersialisasi Sumber Daya Air. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Corten, David C. 2002. The Post Corporate World: Kehidupan
Setelah Kapitalisme. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Endaryanta, Edwin. 2007. Politik Air di Indonesia : Penjarahan
si Gedhang oleh Korporasi Aqua Danone. Yogyakarta : Laboratorium Ilmu Pemerintahan,
FISIPOL UGM
Hines, Colin. 2005. Mengganti Globalisasi Ekonomi menjadi
Lokalisasi Demokrasi. Yogyakarta :INSIST Press dengan IIED
Marsono, Joko dkk (editor). 2004.Konflik Kepentingan dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air. Yogjakarta : Bigraf Publishing kerja sama
dengan STTL
Pasandaran, Effendi dkk (penyunting). 2002.Pengelolaan Lahan dan Air di Indonesia.
Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
________________.1991. Irigasi di
Indonesia: Strategi dan Pengembangan, Jakarta : LP3ES
Prasetia, Heru & Bosman Batubara.2010. Bencana
Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil, DESANTARA, LAFADL
Initiatives dan ISEE: Jogjakarta
Siregar, P. Raja dkk. 2004.Politik Air;
Penguasaan Asing Melalui Hutang. Jakarta :WALHI & KAU
Shiva, Vandana. 2002.Water Wars:Privatisasi,
Profit dan Polusi. Yogyakarta : Insist Press
Jurnal, Budi Santosa, Dosen FE Trisakti,
Imron Azis, Kholid Novianto, dalam Berebut Kemilau Emas Biru, sepak Terjang
Aktor-Aktor Neoliberal dan Menguasai Sumberdaya Air Dunia dan Air Kita Siapa
Punya, Legislasi Neoliberal di Bidang Sumber Daya Air (SDA), dalam
ReformReview, Vol II No.1, April-Juni 2008)
Dharmawan, Arya Hadi,
Otoritas Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Menatap Otonomi
Desa dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan dan Ekologi Politik, Makalah pemicu diskusi, disampaikan pada
“Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030” diselenggarakan oleh KSPL, PSP3IPB dan
P4W LPPM IPB, dilaksanakan di Kampus Manajemen Bisnis IPB Gunung Gede, Bogor
9-10 Mei 2007.
Internet
Siti Rakhma Mary Herwati, Tjahjono Rahardjo, Erwin Dwi Kristianto, 2011, The
Mountain, The People and The Cement Factory, dalam http://tjahjonorahardjo.blogspot.com/2011/07/mountain-people-and-cement-factory.html
[1] Pasandaran, Effendi dkk (penyunting). 2002. Pengelolaan
Lahan dan Air di Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, hlm. 11
[2] Suparmono dalam ibid
[3] Shiva, Vandana.2002.Water Wars:
Privatisasi, Profit dan Polusi. Yogyakarta:
Insist Press, hlm.1
[4] Bahagijo, Sugeng (editor).2006.Globalisasi
Menghempas Indonesia. Jakarta : Pustaka LP3ES, hlm. 184
[5] ibid,
hlm. 139
[6]
Sarwono S, Slamet, dalam Pasandaran,
Effendi dkk (penyunting). 2002. Pengelolaan Lahan dan Air di Indonesia.
Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
[7] ibid, hlm. 13
[8] Bahagijo, Sugeng (editor).2006.Globalisasi Menghempas
Indonesia. Yakarta: Pustaka LP3ES, hlm. 210
[9] Terkait
dengan hal ini menarik apa yang dinyatakan oleh Permadi (Pengurus Partai
Gerinda) pada Apa Kabar Petang TV One, 18 Mei 2011, Pukul 22.30. Dalam membuka
keboborokan-keobobrokan DPR RI ia menceritakan tentang adanya pasal-pasal
titipan dari kelompok-kelompok tertentu. Pasal ini biasanya masuk lewat
orang-orang yang berpengaruh dalam pembuatan RUU. Satu kasus
yang dikatakannya, RUU No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
[10] Bukti menunjukkan telah
menunjukkan trend global perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan
penyuapan. Seperti dirilis Transparansi Internasional, ditemukan hasil bahwa
perusahaan di Rusia yang paling banyak melakukan suap. Disusul kemudian
perusahaan-perusahaan China. Lihat Perusahaan Rusia dan China Paling Suka
Menyuap dalam http://www.solopos.com/2011/channel/internasional/perusahaan-rusia-dan-china-paling-suka-menyuap-122489
[11]Corten,David C. 2002.The Post Corporate World: Kehidupan
Setelah Kapitalisme. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, hlm. 279
[12] Hines, Colins, 2005, hlm.9
[13] Endaryanta, Erwin.2007.Politik Air di Indonesia : Penjarahan
si Gedhang oleh Korporasi Aqua Danone.Yogjakarta :Laboratorium Ilmu
Pemerintahan, FISIPOL UGM, hlm. 181-182
[14] P. Raja Siregar, dkk.2004. Politik Air; Penguasaan Asing
Melalui Hutang. Jakarta :WALHI & KAU, hlm. 97
[15] Siti Rakhma Mary Herwati, Tjahjono Rahardjo, Erwin Dwi Kristianto, 2011, The
Mountain, The People and The Cement Factory, dalam http://tjahjonorahardjo.blogspot.com/2011/07/mountain-people-and-cement-factory.html
[16] Sobirin,
Mokh. 2010.Menjaga Air Tetap Mengalir : Politik Air dalam Skema
Industrialisasi Pati Selatan, salah satu tulisan dalam buku ”Bencana Industri;
Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil, Desantara, Lafadl
Initiatives dan ISEE
[18] Ibid, hlm. 146
[19] Lihat JMPPK
Membangun Posko Penyelamatan Gunung Kendeng dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&jd=JMPPK+Bangun+Posko+Penyelamatan+Gunung+Kendeng&dn=20080313115014
[20] Siti Rakhma Mary Herwati, Tjahjono Rahardjo, Erwin Dwi Kristianto, 2011, The
Mountain, The People and The Cement Factory ndalam http://tjahjonorahardjo.blogspot.com/2011/07/mountain-people-and-cement-factory.html
[21]
Santosa, Budi dalam ReformReview,
Vol II No.1, April-Juni 2008
[22] Kemungkinan bentuk
pemberdayaan organisasi-organisasi ini bisa dilihat di akhir bab ini,
Pemberdayaan Masyarakat untuk Peduli Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar