ANALISIS & STRATEGI PENANGANAN KONFLIK
LAHAN KONSERVASI ‘SUMBER MATA AIR’ DI KOTA BATU, JAWA TIMUR
Rachmad K Dwi Susilo, MA, Jurusan Sosiologi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang,
rachmad_umm2004@yahoo.com
ABSTRAK
Pembangunan
pariwisata menghasilkan perubahan-perubahan di Kota Batu. Maraknya pembangunan
ini, bahkan mengalahkan perkembangan pertanian yang mulai tidak diminati
masyarakat sebab mahal dalam ongkos produksi. Tidak heran, konflik sosial
menjadi persoalan sosiologis yang dilahirkan dari pembangunan infrastruktur
pariwisata secara besar-besaran ini. Ada dua sebab yang menjadi pemicu konflik,
yakni karena pilihan paradigma pembangunan pariwisata secara radikal dan
pengelolaan sumber daya alam yang tidak partisipatif. Persoalan yang mulai
dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan, yakni tidak tercukupinya suplai air minum sudah
dirasakan di 3 desa, sementara itu krisis air sudah terjadi dimana-mana (Radar
Batu, 11 April 2013). Hal inilah yang melahirkan kegelisahan di masyarakat yang
akan menjurus pada keresahan dimana-mana.
Disinilah rencana
pemerintah Kota Batu untuk memberikan izin berdirinya hotel dikawasan sumber
air Umbulan Gemulo memicu ketidaksetujuan masyarakat lokal. Dengan tergabung
dalam Forum Masyarakat Peduli Sumbermata air (FMPMA), masyarakat mengorganisir
diri untuk menentang kebijakan pemerintah tersebut. Ketidakpuasan atas daya
dukung alam/lingkungan yang kian mengkuatirkan dan akumulasi kekecewaan atas
perilaku aparat negara membuat keresahan masyarakat itu kian besar. Menariknya,
pembangunan infrastruktur pariwisata ini dipaksakan, baik lewat politik populis
dan penyuapan-penyuapan, sehingga tidak heran jika muncul perlawanan-perlawanan
dari masyarakat lokal. Rasionalitas untung rugi menghadapi rasionalitas
masyarakat yang memiliki pijakan tidak sama.
Tulisan ini
menjelaskan bagaimana pemetaan dan dinamika konflik yang terjadi. Dalam
pemetaan konflik dijelaskan pihak-pihak yang berkonflik, yakni Pemerintah Kota
Batu & investor (pihak hotel) dan masyarakat lokal & para pendamping
gerakan (Yayasan Pusaka, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Simpul
Malang dan MCW (Malang Corruption Watch).
Selain melakukan
gerakan penuntutan, baik dengan cara lobi maupun demonstrasi, FMPMA mengusulkan
langkah-langkah mediasi dengan mengundang lembaga dari luar, sehingga lembaga-lembaga mediator konflik, seperti
Komnas HAM, Komisi Ombudsman RI dan KPP Jawa Timur, terlibat. Sementara itu,
Pemerintah Kota Batu dan pihak hotel mencari legitimasi dengan mengundang
keterlibatan PPLH Universitas Brawijaya. Melalui dinamika dan pasang surut,
konflik sementara berakhir, setelah Pemerintah Kota Batu mengakomodasi tuntutan
FMPMA untuk menjadikan lahan di sekitar Sumber Umbulan Gemulo sebagai lahan
konservasi.
Untuk
mengantisipasi agar konflik tidak terjadi lagi ke depan penulis jelaskan
bagaimana langkah-langkah resolusi konflik dan rekomendasi kebijakan apa yang
seharusnya dilakukan. Disinilah perlunya dirumuskan sistem pengelolaan sumber
mata air yang partisipatif, dimana mengikutkan keterlibatan masyarakat lewat
lembaga-lembaga pengelola air berbasis komunitas. Disinilah negara harus
mendengar format penataan sumber air “versi” masyarakat, kemudian, perlunya
negara membuat sebuah model komunikasi yang tidak dominatif.
Kata
kunci: pembangunan
pariwisata, sumber air, konflik sosial, lahan konservasi
A.
PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang
Pembangunan
pariwisata menghasilkan perubahan cepat di Kota Batu. Kebijakan walikota untuk membuka
tempat-tempat pariwisata yang baru, seiring target Kota Batu sebagai tujuan
pariwisata internasional, telah melahirkan konflik. Dalam perspektif
pemerintah, pembangunan Kota Wisata menuntut dibangunnya infrastruktur-infrastruktur
pendukung pariwisata, seperti: Hotel, cottage,
resort, tukang pijat, karaoke, pusat oleh-oleh dan lain-lain. Berbagai fasilitas
penginapan beraneka ragam berdiri, sekalipun ketersediaan hotel yang sudah
cukup memadahi, tetapi bangunan hotel selalu bertambah.
Jika pada masa sebelumnya,
bangunan-bangunan itu tersentral pada satu kecamatan, tetapi kini mulai
tersebar merata pada tiga kecamatan. Bisa disimpulkan, mulai maraknya perubahan
fungsi lahan baik sebagai tempat wisata maupun pembangunan hotel, lahan
pertanian-perkebunan “disulap” menjadi bangunan pendukung infrastruktur
pariwisata.
Maraknya
pembangunan ini, bahkan mengalahkan perkembangan pertanian yang mulai tidak
diminati masyarakat karena mahal dalam ongkos produksi. Tidak heran, konflik
sosial menjadi persoalan sosiologis yang dilahirkan dari pembangunan
infrastruktur pariwisata secara besar-besaran ini. Ada dua hal yang menjadi
pemicu konflik, yakni karena pilihan paradigma pembangunan pariwisata yang
radikal dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak partisipatif.
Logikanya, sekalipun secara kuantitatif bangunan
atau hotel-hotel baru tidak bertambah banyak tetapi sesungguhnya memiliki ‘daya
rusak’ sangat besar, karena penggunaan air secara besar-besaran. Persoalan yang
mulai dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan, yakni tidak tercukupinya suplai air minum sudah
dirasakan di 3 desa, sementara itu krisis air sudah terjadi dimana-mana (Radar
Batu, 11 April 2013). Hal inilah yang melahirkan kegelisahan di masyarakat yang
akan menjurus pada keresahan dimana-mana.
Ketidakpuasan
atas daya dukung alam/lingkungan yang kian mengkuatirkan sementara itu
bercampur dengan akumulasi kekecewaan atas perilaku aparat negara membuat
keresahan masyarakat itu kian besar. Menariknya, paradigma pembangunan pariwisata
ini dipaksakan kepada masyarakat baik
lewat politik populis dan penyuapan-penyuapan, sehingga tidak heran jika muncul
perlawanan-perlawanan dari masyarakat lokal. Rasionalitas untung rugi
menghadapi rasionalitas masyarakat yang memiliki pijakan tidak sama.
Disinilah muncul
konflik pengelolaan sumber daya alam tentang lahan konservasi sumber mata air
di masyarakat Kota Batu, terutama di desa-desa sekitar sumber air. Di tengah
perkembangan pariwisata yang sedemikian pesat, kemudian perilaku perangkat
negara yang tidak melayani masyarakat, persoalan air menjadi masalah yang
sangat sensitif, sebab ia merupakan kebutuhan yang sangat vital untuk
masyarakat. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Batu, sementara
itu daerah-daerah tangkapan air semakin tidak terpelihara, maka air menjadi
persoalan yang rentan konflik sosial.
Beberapa penelitian
menjelaskan bahwa konflik sumber daya alam menjadi kajian Sosiologi Lingkungan. Utamanya ketika
persoalan sumber daya alam dihubungkan dengan kemunculan gerakan-gerakan
lingkungan (Susilo, Rachmad K Dwi, 2008: 13). Beberapa riset tentang konflik
sumber daya alam di Indonesia, seperti dinyatakan Djamin, Janius tentang konflik masyarakat dengan PT Inti
Indorayon Utama (PT IIU), dimana masyarakat lokal menentang berdirinya pabrik
tersebut sebab kerusakan alam yang dihasilkan. Selain itu, PT IIU juga gagal
melakukan pendekatan kepada tokoh adat dan masyarakat (Djamin, Djanius, 2007:
193-236).
Sementara itu, Endaryanta
menjelaskan bagaimana masyarakat lokal menggalang dukungan untuk melawan PT
Aqua-Danone yang menyebabkan sumber-sumber air di sekitar mereka menjadi
berkurang. Selain itu, masyarakat mengkritik perijinan yang dilanggar, seperti
prosedur operasional pengeboran air dan IMB (Endaryanta, Erwin, 2007).
Sementara itu, Sobirin menjelaskan tentang perlawanan masyarakat sekitar
Pegunungan Kendeng Utara atas rencana pembangunan Pabrik Semen Gresik yang
dikuatirkan mengancam sumber air di sana. Masyarakat mengorganisir diri dalam
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (Prasetia, Heru &Bosman
Batubara, 2010: 117-152). Masih banyak lagi, kajian tentang konflik-konflik sumber daya alam yang lain,
khususnya terkait pertambangan, seperti konflik sosial di masyarakat sekitar PT
Newmont (Dwi Putro, Widodo & Farid
Tolomundu (2006) , PT Freeport, PT Lapindo Brantas dan lain-lain.
Kesimpulan dari penelitian-penelitian tersebut
yakni maraknya penolakan masyarakat lokal kepada “pembangunan” /Industri yang
mengancam sumber daya alam di sekitar mereka dengan membangun gerakan-gerakan
perlawanan. Sementara itu, dalam konteks konflik sumber daya alam, kelangkaan
sumber daya alam yang bersatu dengan faktor ekonomi politik akan potensial
melahirkan konflik dan kekerasan, seperti dinyatakan Homer Dixon (1999).
Sementara itu,
dalam tulisan ini, konflik pengelolaan sumber daya alam di Kota Batu, tidak
lepas dari praktek otonomi daerah melahirkan pengelolaan sumber daya alam yang
tidak terkendali, hal inilah yang memancing lahirnya penolakan-penolakan di
masyarakat yang melahirkan konflik-konflik sosial.
b. Rumusan
Masalah
Tulisan
ini akan membahas rumusan masalah sebagai berikut,
1.
Bagaimana
akar masalah dalam konflik lahan konservasi di Kota Batu?
2.
Bagaimana
pemetaan konflik lahan konservasi di Kota Batu?
3.
Bagaimana
resolusi konflik lahan konservasi di Kota Batu?
4.
Bagaimana
kebijakan pemerintah untuk mengatasi lahan konservasi di Kota Batu?
B.
PEMBAHASAN
1.
AKAR MASALAH
Persoalan
konflik ini dipicu oleh rencana pembangunan Hotel The Rayja di Dusun Cangar, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota
Batu. Keadaan yang dipersoalkan antara pemerintah, pihak hotel maupun
masyarakat lokal mengingat lokasi Hotel yang berdekatan dengan sumber mata air. Bahkan, jaraknya cukup dekat
yakni 150 m dari sumber air yang besar di Kota Batu, yakni Sumber Umbulan
Gemulo.
Dimana
sumber air ini digunakan oleh lebih dari satu pihak seperti untuk kebutuhan air
minum, yakni Dusun Cangar, Desa Bulukerto, Desa Bumiaji dan PDAM Kota Batu. Sementara
itu, untuk kebutuhan pertanian, untuk Desa Sidomulyo dan Desa Pandanrejo.
Perbedaan persepsi tentang ruang inilah yang kemudian memicu konflik sumber
daya alam. Masing-masing pihak juga memiliki klaim kebenaran atas fakta rencana
pembangunan hotel.
Dari
perspektif pemerintah, rasionalisasi klasik yang sering digunakan yakni kehadiran
hotel akan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Hal ini dinyatakan Camat
Bumiaji bahwa persoalan di Kecamatan Bumiaji yakni kemiskinan yang bisa
diselesaikan dengan membuka lapangan pekerjaan sebanyak mungkin, sementara itu,
Kepala Desa Bulukerto menyatakan bahwa pembangunan hotel sudah mendapat
persetujuan masyarakat. Keduanya, menyatakan bahwa sosialisasi kepada
masyarakat sudah dilaksanakan dengan baik.
Dengan
sikap mendukung berdirinya hotel. Kepala KPPT (Kantor Perijinan Pelayanan Tepadu) dan
BAPPEDA (Badan Perencanaan Daerah) Kota Batu yang menyatakan bahwa proses
perijinan Hotel The Rayja sudah
sesuai prosedur. Kepala bagian Dinas Pengairan Binamarga menyatakan bahwa
jika hotel tidak dibangun, maka akan masuknya investor di Kota Batu akan
mengalami kesulitan.
Bagi
masyarakat sekitar, pembangunan hotel ditolak, sebab ia akan memicu terjadinya
kelangkaan sumber mata air. Bagi masyarakat, desa-desa di Kecamatan Bumiaji
sudah mengalami kelangkaan air, hal ini yang nantinya akan diperparah dengan
pembangunan hotel yang tidak sesuai dengan aturan. Disinilah masyarakat mempertanyakan
perijinan yang dibuat Hotel dan dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian lewat
gerakan penolakan yang diinisiasi FMPMA, masyarakat di sekitar hotel dan
pengguna sumber Umbulan Gemulo mempertanyakan status perijinan hotel seperti yang
diatur Undang-Undang, baik per-UUan daerah maupun pusat.
Dalam
konflik ini juga yang tidak kalah pentingnya, yakni pihak investor yang merasa
sudah mengikuti semua persyaratan pendirian hotel Kota Batu. Baginya pengurusan
ijin sudah diikuti dengan baik. Untuk melindungi kepentingan bisnis ini pihak
Hotel juga selalu menegaskan di media lokal bahwa pembangunan hotel sudah dibenarkan,
baik dari segi perijinan, tanggung jawab sosial di masyarakat maupun penilaian resiko
atas sumber air Umbulan Gemulo.[1]
Tidak main-main langkah hotel, selain menolak pencabutan ijin dari walikota, ia
mencari legitimasi dari PPLH Universitas Brawijaya. Langkah ini sesungguhnya
bermakna tidak akan mundur dari tuntutan warga.
Sekalipun
isu yang terlihat dilapangan lebih terkait penolakan atas pembangunan hotel,
tetapi esensi konflik sosial terkait lahan konservasi. Rasionalitas nilai
masyarakat dimana berbasis sistem pengetahuan lokal bertarung dengan
rasionalitas negara berdasar pertimbangan ekonomis-administratif. Masyarakat
lokal yang tergabung dalam FMPMA bersama-sama para pendamping melakukan gerakan
perlawanan kepada kebijakan pemerintah ini. Sementara itu, pemerintah bersama
pihak hotel tetap bersikukuh untuk mempertahankan berdirinya hotel.
Pihak-pihak
yang berkonflik tidak ada yang mundur, bahkan konflik semakin keras karena
semuanya mengumpulkan dan mengelola sumber daya (resources) demi memenangkan kepentingan masing-masing. Sampai
akhirnya masyarakat tetap bersikukuh untuk menggagalkan berdirinya hotel,
sekalipun pemerintah berupaya untuk menawarkan pilihan-pilihan ke FMPMA.
Hal
yang penting berikutnya, yakni sifat konflik dimana dalam pembagian Lewis Coser
termasuk konflik realistis (Coser dalam Susilo, Rachmad K Dwi, 2008: 231). Dimana
ditemukan dilapangan, tuntutan masing-masing pihak sudah sangat jelas ketika
berhadap-hadapan dan yang tidak kalah menarik bahwa konflik ini tidak merembet
ke isu-isu non substansial yang lain. Prakteknya sekalipun sudah berjalan
hampir setahun tidak ada kekerasan yang muncul mewarnai konflik ini.
2.
PEMETAAN KONFLIK
Bisa
dikatakan bahwa konflik yang terjadi di Kota Batu ini konflik di aras lokal. Pihak-pihak
yang berkonflik yakni Pemerintah Kota Batu dan Investor (Pemilik Hotel The Rayja) dengan FMPMA yang didukung
oleh para pendamping dari Yayasan Pusaka, MCW dan WALHI Simpul Malang.
Keterlibatan
Pemerintah Kota Batu sebab pemberi ijin Pembangunan Hotel, lebih khusus
Dinas-Dinas yang mengeluarkan ijin pembangunan hotel, seperti KPPT (Kantor
Pelayanan & Perijinan Terpadu (KPPT) dan BAPPEDA (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah). Ketika menyangkut pengelolaan sumber daya air sebenarnya
ada tiga dinas lagi yang terkait, yakni Kantor Lingkungan Hidup (KLH), Dinas
Cipta Karya & Tata Ruang dan Dinas Pengairan & Binamarga. Pada
kenyaataannya, tiga dinas yang disebut terakhir tidak terlibat sebagai aktor
utama, tetapi lebih memberikan masukan-masukan dan pertimbangan. Sementara itu,
di level komunitas, pemerintah yang terlibat
yakni Pemerintah Desa Bulukerto, Pemerintah Kecamatan Bumiaji.
Dalam
pemetaan konflik ini, investor atau Hotel The
Rayja, merupakan pihak yang berkepentingan langsung dengan bisnis. Ia yang
memiliki kalkulasi keuntungan, jika hotel benar-benar dibangun. Seperti
dinyatakan pihak hotel, kewajiban dirinya mengurus perijinan sebagaimana yang
diminta oleh pemerintah Kota Batu. Pihak hotel tidak berhubungan secara
langsung dengan masyarakat sekitar lokasi hotel. Sekalipun, untuk kepentingan
menyelamatkan ijin, ada saatnya melakukan lobi tokoh-tokoh masyarakat sekitar.
Sementara
itu, yang tidak kalah penting yakni FMPMA merupakan kelompok aksi[2]
yang terdiri warga Dusun Cangar, Desa Bulukerto dan Warga Desa Bumiaji (khususnya
Dusun Banaran dan Dusun Binangun, sementara itu dua dusun tidak aktif), Desa
Sidomulyo. Jika melihat struktur organisasi, ada keterlibatan HIPPAM Desa
Bumiaji dan HIPPAM Dusun Cangar, Desa Bulukerto.[3]
Kelompok
aksi ini bekerja dengan pendamping dari NGO (Non Governmental Organization), yaitu: Yayasan Pusaka, WALHI
(Wahana Lingkungan Hidup) Jawa Timur dan MCW (Malang Corruption Watch). Organisasi tersebut bukan aktor baru
dalam gerakan civil society maupun
penguatan demokrasi lokal di Malang Raya, sehingga keterlibatan mereka sangat
dibutuhkan (fungsional) bagi masyarakat lokal.
Terutama
di awal-awal gerakan, peran para pendamping sangat besar, sebab mampu
menjalankan fungsi pemberian informasi, konsultasi dan pengembangan jejaring.
Sekalipun organisasi-organisasi tersebut belum ada komunikasi sebelumnya dan
dipertemukan secara kebetulan dalam urusan penolakan hotel tetapi terlihat
kompak satu dengan lain. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis, bahwa kekuatan
utama gerakan tetap berada di tangan masyarakat lokal. Para pendamping tidak
harus tampil di muka. Kalau masyarakat lokal atau FMPMA sudah bisa menjalankan
fungsi-fungsi seperti yang dipertimbangkan para pendamping tersebut, maka
masyarakat dibiarkan untuk menjalankan strategi-strategi mereka.
3.
PASANG SURUT KONFLIK
Dalam bagian ini dijelaskan bagaimana dinamika konflik
dalam bentuk kronologi dari awal sampai akhir. Di sini digambarkan, peran dari
masing-masing pihak dalam konflik. Kemudian, khusus peristiwa yang penulis gambarkan adalah bagian-bagian yang
menentukan saja.
a)
Sosialisasi Rencana Pembangunan Hotel
Proses
sosialisasi dimana ditemukan banyak kelemahan, menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dikalangan masyarakat.
Beberapa kelemahan dari sosialisasi menurut warga, yakni: dilihat dari teknis
pelaksanaan, materi sosialisasi tidak seperti yang diharapkan masyarakat.
Ketika masyarakat menghendaki betul-betul sosialisasi, tetapi justru yang
terjadi pemaksaan persetujuan. Bahkan, “pemaksaan” ini ditandai dengan praktek
suap, terutama dikalangan perangkat dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Bulukerto.
Persoalan kedua, pihak yang diundang belum
mewakili pemakai sumber Umbulan Gemulo. Salah satu tokoh FMPMA menyatakan bahwa
ada unsur pemalsuan dalam sosialisasi dan mengapa yang diundang kok hanya Warga Dusun Cangar, sementara
itu masih ada desa-desa lain, pengguna sumber air umbulan gemulo. Tokoh
tersebut juga memiliki pemikiran ke depan, tentang resiko pembangunan hotel
akan menghasilkan dampak-dampak negatif , terutama semakin berkurangnya pasokan
air. Disinilah dimana akhirnya, tokoh-tokoh awal FMPMA melakukan
pengaduan-pengaduan ke lembaga-lembaga pemerintah di level propinsi.
Dari
keprihatinan inilah yang membuat gerakan kian membesar, karena ketidaksetujuan yang
dirasakan segelintir masyarakat mulai dirasakan banyak pihak. Unek-unek yang
dirasakan oleh Warga Dusun Cangar, kemudian dikomunikasikan ke HIPPAM Desa
Bumiaji, dimana kemudian bak gayung bersambut, gerakan kian membesar. Dalam pertemuan di Kantor HIPPAM Desa
Bumiaji, peserta menyepakati penolakan atas rencana pembangunan Hotel. Alasan
utama yakni “cacat” sosialisasi yang tidak menunjukkan persetujuan masyarakat
keseluruhan. Sementara itu, yang bergabung dalam penolakan ini tidak hanya
warga Dusun Cangar dengan Desa Bumiaji, tetapi turut warga Desa Sidomulyo dan Desa Pandanrejo.
b)
Mengkonsolidasi Gerakan Penolakan
Setelah
berkoalisinya antara Dusun Cangar dengan Desa Bumiaji, maka gerakan perlawanan
semakin membesar. Masifnya gerakan ini tidak lepas dari bergabungnya
organisasi-organisasi pendamping, yang sudah memiliki pengalaman dalam gerakan
demokratisasi lokal di Kota Batu. Selain pengurus HIPPAM Desa Bumiaji yang
aktif mengajak HIPPAM desa-desa sekitar (Desa Giripurno dan Desa Pandanrejo), masukan-masukan,
terutama strategi yang diusulkan Yayasan Pusaka, MCW dan WALHI sangat ampuh
untuk mengatur ritme dan memelihara sikap perlawanan terhadap pemerintah.
Kegiatan
seperti Launching Koin Peduli Sumber
Umbulan dan Diskusi Publik termasuk masukan dari pendamping dimana efektif
membangun kekuatan gerakan penolakan. Terlebih menghadapi sikap pemerintah yang
tidak bergeming, maka seakan FMPMA dan pendamping bertambah kuat ikatannya
untuk ditantang dalam mempertahankan konflik antara negara dan masyarakat ini.
c)
Audiensi dengan DPRD Kota Batu
Pendekatan
yang dilakukan yakni melakukan kontak denga anggota DPRD secara personal. Diharapkan
strategi lobi ini cepat menyelesaikan masalah, tanpa harus mengeluarkan energi
yang sangat besar. Kebetulan Ketua HIPPAM Desa Bumiaji memiliki relasi dengan
anggota DPRD Kota Batu, maka langsung mengkontak dan FMPMA diundang audiensi di
Kantor DPRD Kota Batu. Audiensi awal dilakukan FMPMA dengan anggota DPRD dari Partai
Barnas dan Partai Demokrat sudah mendengarkan masukan FMPMA, tetapi dinyatakan
bahwa untuk mencabut hotel diperlukan proses yang tidak mudah. Kedua anggota
dewan berjanji akan meneruskan tuntutan FMPMA kepada walikota. Dalam kaitan
ini, walikota menahan diri untuk tidak menanggapi tuntutan warga. Sementara
itu, konflik memanas di aras media massa.
Audiensi
kedua dengan anggota DPRD yang lebih representatif juga terjadi, kali ini
dipertemukan antara pihak eksekutif (dinas-dinas terkait), legislatif dan pihak
hotel. Sekalipun telah ada perdebatan dari masing-masing pihak dimana peserta
sudah mengetahui tuntutan masing-masing, tetapi tidak ada titik temu. Bagi
FMPMA, perasaan lega sebab pemerintah diminta DPRD untuk melakukan kaji ulang.
Disinilah konflik sedikit mereda. Pada akhirnya, keputusan politik ini pun
tidak memuaskan FMPMA, sehingga gerakan FMPMA tetap berjalan dengan melakukan
bentuk tekanan-tekanan baik kepada DPRD maupun walikota.
d)
Perlawanan Masyarakat lewat Demonstrasi
Demonstrasi
dipilih sebagai tanggapan masyarakat untuk mengetahui sikap pemerintah maupun
DPRD atas tidak jelasnya sikap mereka dalam menanggapi tuntutan FMPMA. Bagi
FMPMA, kejelasan sikap akan diperoleh setelah masyarakat turun jalan atau
demonstrasi. Demonstrasi pertama dilakukan di Kantor Walikota. Demontrasi kedua dilakukan di
Kantor Kecamatan Bumiaji dan Kantor Walikota. Di sini, Camat Bumiaji bersedia
mencabut ijin hotel, sementara itu walikota belum menentukan sikap.
Dalam
menanggapi gerakan FMPMA, malahan pemerintah mengumpulkan kepala desa dan Camat
sebagai counter atas FMPMA. Bahkan,
rombongan ini diajak ke lokasi pembangunan hotel untuk melihat langsung bahwa
pembangunan hotel tidak akan merusak sumber air. Selain itu, walikota juga
menggalang dukungan dari pengurus/simpatisan partai politik tertentu. Tindakan
yang dilakukan walikota ini tetap tidak membuat FMPMA mundur.
e)
Berkonflik di Lembaga Mediasi
FMPMA
masih menganggap bahwa pemerintah tidak memberikan jawaban tegas mengenai tuntutan
masyarakat agar daerah di sekitar sumber gemulo dijadikan sebagai lahan konservasi.
Bahkan, dalam pernyataan di media terkesan pemerintah “pasang badan” membela
hotel bergeming tidak akan mencabut hotel. Kepala BAPPEDA bersikukuh bahwa ijin
yang diberikan bukan pembangunan hotel, tetapi cottage. Ia akan menolak jika yang diajukan hotel. Menurut
Pemerintah, cottage tidak merusak
lingkungan. Melihat sikap pemerintah
yang demikian maka masyarakat membuat pengaduan ke KOMNAS HAM. Konflik tidak
semakin keras, sebab Ketua KOMNAS HAM mampu memperingatkan walikota agar tidak
represif dalam memperlakukan FMPMA dalam konflik ini.
f)
Ijin Pembangunan Hotel Dicabut Walikota
Menanggapi
demonstrasi besar-besaran baik kantor kecamatan maupun kantor pemerintah Kota
Batu, walikota mulai mempertimbangkan tuntutan FMPMA. Walikota membuka
negosiasi baik dengan Camat maupun dengan para kepala desa di sekitar sumber
air. Sekalipun demikian, pemerintah tidak sepenuhnya percaya dengan tujuan
FMPMA apakah benar-benar perjuangan untuk konservasi sumber air ataukah sesungguhnya
dimanfaatkan demi kepentingan “segelintir” politisi Kota Batu.
Berkali-kali
walikota mendatangi rumah tokoh gerakan untuk memastikan apakah gerakan ini
murni, atau sekedar kepentingan para politisi di Kota Batu. Kedatangan walikota
sering malam hari dimana tidak diketahui oleh warga masyarakat, ingin
membuktikan kecurigaan ini. Kemudian, dalam pertemuan di Kantor Desa Bumiaji, antara
Walikota, FMPMA dan masyarakat walikota mampu ditekan untuk mencabut izin
hotel.
Walikota
menyatakan bahwa
pencabutan ijin hotel menunjukkan komitmen pemerintah ke depan untuk menata ulang persoalan sumber
mata air agar bisa meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat umum. Dia
menambahkan “Kita bisa memahami bahwa selama
ini penataan sumber mata air tidak tertata dengan
baik” (Sindo, 5 Mei 2012).
g)
Masa Tenang
Untuk
sementara ketika PILKADA Kota Batu diselenggarakan, masing-masing pihak mengendurkan
diri untuk tidak berkonflik. Walikota sibuk mempersiapkan dirinya berlaga untuk
memperebutkan posisi dalam periode II sebagai incumbent. FMPMA juga tidak menjalankan terlalu antusias dalam
hajatan besar di Kota Batu ini. Sementara itu, FMPMA tidak menjadikan pasangan
walikota dan wakil walikota sebagai ajang untuk tawar menawar (bargaining) demi isu ini. Kemudian, mediasi
konflik yang ditawarkan Komnas HAM, ditanggapi pemerintah akan dilakukan pasca
PILKADA.
h)
Konflik Bergejolak Kembali
Setelah
ada keinginan walikota untuk mencabut ijin hotel, maka warga merasa perjuangan
sudah selesai. Hanya saja dalam diskusi-diskusi dengan pendamping gerakan,
surat pernyataan pencabutan hotel yang ditanda-tangani walikota tidak kuat
secara hukum. Ketika awal-awal tokoh FMPMA diyakinkan ini, mereka tetap
menyatakan bahwa walikota pasti tidak akan berani menghadapi resiko jika ingkar
janji. Hal ini disebabkan, janji walikota disaksikan oleh ribuan warga.
Ketakutan akan demonstrasi besar-besaran mendorong realisasi pencabutan ijin
hotel. Ada faktor yang mungkin ikut mempengaruhi ini, yaitu moment PILKADA Kota
Batu yang akan diselenggarakan.
Seperti
yang dikuatirkan para pendamping gerakan, Pemerintah tidak menindaklanjuti
pencabutan ijin dengan surat resmi. Bahkan, pihak hotel tetap menegaskan bahwa
pembangunan hotel jalan terus. Menurutnya, tidak ada yang dilanggar dalam
perijinan. Ia juga akan balik menuntut Pemerintah Kota Batu jika ijin dicabut.
Kemudian, ia membuktikan ucapannya dengan mendatangkan alat-alat berat masuk ke
lokasi hotel. Melihat hal ini FMPMA tidak tinggal diam, tetapi terus melakukan
perlawanan yang bermaksud menggagalkan pembangunan hotel. Massa baik dari Desa
Bumiaji, Desa Bulukerto dan Desa Sidomulyo tetap kompak memindahkan batu dan
pasir. Sekalipun, tindakan FMPMA akan dilaporkan ke Kepolisian Kota Batu,
tetapi secara politik cukup efektif untuk bersikukuh dalam tuntutan yang tidak
berubah, yakni tolak pembangunan hotel.
Sikap
yang dinyatakan hotel, ternyata sama dengan yang dimiliki Wakil Walikota Batu
yang baru, yakni Ir. Punjul Santoso. Dalam media lokal, ia menegaskan bahwa
ijin hotel sudah tepat dan tidak akan menimbulkan resiko perusakan atas sumber
air. Bahkan, untuk memberikan jaminan kepada masyarakat, ia menyantakan kalau
terjadi resiko yang tidak dikehendaki maka ijin hotel akan dicabut segera.
Termasuk, ketika FMPMA mendatangi Kantor Wakil Walikota, tetap saja pemerintah
akan meneruskan pembangunan hotel. Di sini bisa disimpulkan bahwa pembangunan
hotel tetap diteruskan.
i)
Konflik dalam Ranah Jalur Hukum
Melihat
keteguhan sikap pemerintah untuk tetap membangun hotel, maka FMPMA membuat
pengaduan kembali ke lembaga-lembaga yang bisa berperan mediasi konflik. Ketika
di awal gerakan sudah membuat pengaduan ke Komnas HAM, kemudian pemerintah
menanggapinya dalam pertemuan di Hotel UMM. Sambil menunggu proses berjalan
FMPMA juga membuat pengaduan ke Komisi Ombudman RI dan Komisi Pelayanan Publik.
Keberadaan tim mediasi mampu mempertemukan kedua pihak. Komisi Ombudsman RI
menemukan praktek Mal Administrasi dalam perijinan hotel, sedangkan KPP Jawa
Timur menyatakan bahwa prosedur yang dilakukan Pemerintah Kota Batu sudah
tepat.
Bagi
kedua pihak juga akan menjadi waktu yang sangat efektif dalam menyusun strategi
memperjuangkan kepentingan masing-masing. Sementara bagi hotel, kerugian yang
diterima sebab belum bisa membangun hotel, sebab selama proses mediasi, hotel
tidak diperbolehkan dibangun.
j)
Pemerintah dan Pihak Hotel Mencari Legitimasi Kampus.
Keteguhan
sikap hotel dan pemerintah untuk mempertahankan dibangunnya hotel tidak hanya
dalam kata-kata. Untuk memperkuat alasan ini, keduanya menggandeng Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya (PPLH UB) untuk menguatkan pernyataan bahwa pembangunan hotel tidak merusak sumber
air. Pernyataan yang mengutip penelitian dari PPLH UB disampaikan dalam semua kesempatan,
seakan-akan dalam membangun hotel sudah tidak ada.
Melihat
keadaan seperti ini bukannya FMPMA menyerah, tetapi mengklarifikasi hasil
penelitian PPLH UB. Konflik kembali memanas. Sekitar 15 orang anggota FMPMA
dengan didampingi para pendamping gerakan datang ke UB memberikan surat
pernyataan kepada rektor dimana merupakan keprihatinan atas keterlibatan kampus
tersebut dalam konflik sumber air di gemulo. Selain itu, mereka melakukan
demonstrasi mengkritik keberpihakan kampus kepada investor.
Melihat
ini, Hedy Swasono, Ketua PPLH UB menerima FMPMA yang berdemonstrasi di depan
Ruang Rektor UB dan berjanji akan datang ke Rumah Ketua FMPMA di Dusun Cangar, Desa
Bulukerto untuk menjelaskan hasil penelitian mereka. Janji ini ditepati,
kemudian terjadilah perdebatan yang sangat antara masyarakat dengan para akademisi UB tersebut.
Setelah, acara ini, baik hotel maupun pemerintah tidak lagi mengutip penelitian
UB untuk membenarkan keputusan mereka.
Setelah
ini masyarakat membangun strategi gerakan baru, yakni menagih langsung janji
walikota. Mereka tidak lagi bersedia, jika hanya ditemui dinas-dinas yang
terkait. Sasaran mereka yakni bertemu walikota dan menagih janji atas
pencabutan ijin hotel.
k)
Keputusan Walikota tentang Lahan Konservasi
Tuntutan-tuntutan
FMPMA untuk menemui walikota ternyata berhasil. Bahkan, setelah diawali
pertemuan tiga kali antara warga dan semua SKPD yang terkait,
akhirnya walikota memutuskan untuk
menjadikan tanah yang berada di sekitar sumber air Umbulan Gemulo
menjadi lahan konservasi. Lahan yang dimaksud sebagai jari-jari yang ditarik
200 m. Prinsip yang digunakan seperti disampaikan Walikota, yakni sterilisasi
semua bangunan yang berada di sekitar sumber air. Janji walikota akan dipenuhi
dengan mengalokasikan Rp. 100 miliar untuk pembebasan/ganti rugi bagi pihak
yang harus di relokasi untuk keperluan
ini.
Di
sinilah konflik sementara ini mereda, sebab target lahan konservasi sudah
disetujui walikota. FMPMA menunggu agar
realisasi seperti yang dituntut dan dijanjikan benar-benar terwujud, mengingat
dalam pengalaman advokasi mereka keputusan walikota bisa berubah-ubah
sewaktu-waktu. Pengalaman demonstrasi menunjukkan ke arah itu, jika masyarakat
tidak bergerak, maka walikota mencari celah
bagaimana agar tidak merealisasikan apa yang sudah dijanjikan tersebut.
Dari
keadaan di atas bisa disimpulkan karakter konflik yang terjadi bahwa masyarakat
menghendaki diberlakukannya lahan konservasi, dimana didorong kegelisahan atas
kekurangan pasokan air minum yang sudah dirasakan di 2 desa (Desa Giripurno dan
Desa Pendem) dan satu kelurahan (Dadaprejo). Kemudian, konflik lahan untuk
konservasi juga tidak mengarah kepada
anarkhisme sebab masing-masing yang berkonflik memiliki tujuan yang bisa
dikomunikasikan. Masing-masing pihak berkeinginan bahwa konflik harus dijaga
agar tetap produktif.
4.
MODEL RESOLUSI/PERDAMAIAN
Persoalan
konflik yang terjadi di atas sesungguhnya terkait pengelolaan sumber air,
karena kebijakan pemerintah dalam memberikan ijin pembangunan hotel yang
berjarak 150 m dari sumber air. Konflik terjadi disebabkan kegelisahan akan
krisis air, dan kelemahan pemerintah sebab melanggar perundang-undangan yang
berlaku. Mengikuti ketentuan tentang bangunan di sekitar kawasan sumber air
jarak minimal seharusnya 200 m. Dalam perencanaan jarak hotel yaitu 150 m,
dimana berpotensi akan merusak sumber air.
Selain itu,
sosialisasi yang dilakukan harus transparan, sebab masyarakat di sekitar sumber
air merasa dibohongi. Hal yang sama terdapat keganjilan dalam proses perijinan,
dimana IMB keluar terlebih dahulu dari pada UPL dan UKL, kemudian yang tidak
kalah penting pelanggaran pemanfaatan ruang untuk keperluan infrastruktur
pariwisata. Hotel The Rayja berada di
desa, dimana menurut Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Batu 2012-2030,
bukan untuk peruntukan membangun hotel.
Ketika
masyarakat sudah dikecewakan, maka kepercayaan akan semakin berkurang dan
nyaris habis. Didukung kondisi pertanian di Kota Batu yang sudah mulai tidak
bisa diharapkan, kemudian tata pemerintahan yang tidak menyejahterakan rakyat
membuat masyarakat tegas dalam mengkritisi, bahkan melakukan
penolakan-penolakan kepada kebijakan pemerintah.
Dalam
kondisi seperti ini resolusi konflik atau perdamaian bisa dilakukan dengan terlebih
dahulu menghormati hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya air. Bukankah,
masyarakat adalah pihak sah sebagai pengelola sumber daya air di sekitar
mereka? Kemudian, pada masyarakat lokal terdapat kearifan lokal dimana
didalamnya memuat kebijakan lokal, pengetahuan lokal dan kecerdasan lokal. Bukan saatnya lagi, jika negara selalu
memaksakan kehendak dalam pengelolaan sumber daya air itu. Hak-hak masyarakat
yang sudah dimiliki secara turun temurun dihormati.
Resolusi
konflik yang bisa dilakukan yakni pemberian kewenangan negara kepada masyarakat
untuk pengelolaan masyarakat. Sekalipun, bukan Community Based Resources Management (CBRM), tetapi kewenangan
masyarakat lokal dalam memutuskan apa yang terbaik bagi sumber daya alam harus
tetap diakomodir dan dihormati.
Disinilah
negara harus mendengar format penataan sumber air “versi” masyarakat, kemudian,
perlunya negara membuat sebuah model komunikasi yang tidak dominatif. Pemerintah
sebagai pihak yang memiliki sumber daya bisa menawarkan model pengelolaan
dimana kepentingan antara masyarakat dengan negara bisa terakomodir secara baik.
Tanpa mengesampingkan ketentuan-ketentuan perundangan lingkungan hidup yang
sudah ditetapkan secara bersama dan mengatur keseimbangan antara kepentingan triple bottom line.
5.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Sudah
saatnya Kota Batu menerapkan aturan yang bukan hanya ramah terhadap lingkungan,
tetapi harus berpihak pada lingkungan. Selain kondisi ekologis Kota Batu
sebagai wilayah hilir DAS Brantas yang memberikan kehidupan bagi Kota-kota atau
Kabupaten lain di Jawa Timur, kondisi agraris Kota Batu harus tetap dipertahankan.
Disinilah perlu kerjasama masyarakat dengan pemerintah. Pelanggaran
perundang-undangan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada lingkungan dan
masyarakat lokal akan selalu menimbulkan penentangan dari masyarakat.
Berdasar pertimbangan tersebut, beberapa
rekomendasi kebijakan bisa diusulkan kepada pemerintah Kota Batu, sebagai
berikut:
1. Dibuat kebijakan terintegrasi yang mengatur
kedudukan lingkungan dan sumber daya alam di Kota Batu, seperti keberadaan DAS
Brantas, Perlindungan Wilayah Pegunungan dan Perlindungan Sumber Mata Air.
2. Pembuatan peraturan yang memberikan
kewenangan lebih kepada masyatakat untuk terlibat secara luas dalam pengelolaan
sumber mata air di sekitar mereka. Selama ini sudah ada organisasi berbasis
komunitas yang memanfaatkan itu, tinggal pemerintah melakukan penguatan
kapasitas dan pembinaan-pembinaan.
3. Penegakan Per-Undang-undangan lingkungan di
Kota Batu. Untuk hal ini Perda yang mengatur lingkungan harus dilaksanakan
dengan tegas dan tanpa pandang bulu.
Jika rekomendasi tersebut benar-benar
dilaksanakan, maka konflik pengelolaan sumber daya air di Kota Batu bisa
dihindarkan. Selain itu, yang paling penting mampu menjaga keseimbangan antara
lingkungan fisik (air, tanah, udara dan cuaca), lingkungan biologis
(tumbuh-tumbuhan, binatang) dan lingkungan sosial (kearifan lokal, keselarasan
sosial, harmoni sosial dan lain-lain).
C.
PENUTUP
Konflik terkait lahan
konservasi sumber air di Kota Batu disebabkan dinamika Kota Batu yang ditandai
geliat pembangunan parawisata yang mengusik sumber daya alam di sekitar
masyarakat. Dari kondisi pertanian di Kota Batu yang mulai menurun, perilaku
pemerintah yang melakukan pembangunan tidak menyejahterakan masyarakat,
kekurangan air untuk pertanian dan air minum sampai akhirnya lahirlah
gerakan-gerakan penolakan terhadap dibangunnya hotel yang berdekatan sumber
mata air umbulan gemulo.
Disinilah konflik
membesar sebab tuntutan warga tidak ditanggapi secara baik, hingga lewat FMPMA
melakukan gerakan-gerakan penolakan. Konflik bersifat pasang surut banyak
ditentukan oleh sikap pemerintah yang kadang mengakomodir keinginan FMPMA,
tetapi ketika janji walikota tidak dilaksanakan, maka konflik membesar kembali
dan kemudian meledak. Saat ini, konflik untuk sementara berakhir ketika
Walikota bersedia menerima tuntutan FMPMA yakni menetapkan lahan di sekitar sumber air sebagai lahan
konservasi.
Daftar Pustaka
Dwi Putro Widodo & Farid
Tolomundu, 2006, Menolak Takluk! Newmont vs Hati Nurani, Mataram: Titik Koma,
Lembaga Olah Hidup
Djamin, Djanius, 2007, Pengawasan dan
Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup, Suatu Analisis Sosial, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Endaryanta, Edwin. 2007. Politik
Air di Indonesia: Penjarahan si Gedhang oleh Korporasi Aqua Danone.
Yogyakarta: Laboratorium Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM
Haynes, Jeff, 2000, Demokrasi &
Masyarakat Sipil di Dunia ke-3, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Prasetia,
Heru & Bosman Batubara.2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan
dan Masyarakat Sipil, DESANTARA, LAFADL Initiatives dan ISEE: Jogjakarta
Susilo, Rachmad K Dwi, 2008, 20 Tokoh
Sosiologi Modern: Biografi Para Peletak Sosiologi Modern, Yogyakarta: Ar Ruzz
Media
Susilo, Rachmad K Dwi, 2008, Sosiologi
Lingkungan, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta
Susilo, Rachmad K Dwi, 2012, Sosiologi
Lingkungan dan Sumber Daya Alam; Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir,
Yogyakarta : Ar Ruzz Media
Susilo, Rachmad K Dwi, 2013, Wong Gunung Modon Embong: Gerakan
Masyarakat Lokal untuk Konservasi Sumber Air, tidak diterbitkan
Thomas F. Homer-Dixon,
1999, Environment, Scarcity, Violence, Princeton University Press: New
Jersey
Harian
Radar Malang, 8 Februari 2013, Misi
Utama Berdayakan Berdasarkan Warga Sekitar; The Rayja Resort Legal dan Tidak
Merusak Lingkungan. Tulisan kedua, The Rayja Bukan Hotel dan tulisan ketiga,
Izin Lengkap dan Legal
Radar Batu, 11 April 2013, Tiga Desa
Masih Krisis Air Bersih,
Sindo, 5 Mei 2012, “Wali Kota Hentikan The
Rayja”
BIODATA
PENULIS
Rachmad K Dwi Susilo, MA. Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 10 Oktober 1974. Riwayat Pendidikan, S-1
Jurusan Sosiologi FISIP UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret), Surakarta,
(1994-1999) dan S-2 Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta (2008-2010). Pada
saat kuliah S-2 meniatkan diri untuk mengembangkan kajian Sosiologi Pembangunan
Lingkungan (Sosiologi Ecodelopment). Saat ini sebagai Ketua Jurusan
Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang dan Penangung Jawab Konsentrasi
Sosiologi Lingkungan.
Buku-Buku yang telah dipublikasikan
yaitu Integrasi Ilmu Sosial, Memadukan Ilmu Sosial
Tiga Peradaban (2005), Sosiologi Kependudukan,
Pemikiran Teori dan Analisa Sosiologis Di Balik Fenomena Kependudukan (2006), Memahami Kecerdasan Orang-Orang Sukses :
Refleksi Sosiologis Orang-Orang Ternama dalam Mensiasati Hidup (2007), 20 Tokoh
Sosiologi Modern (2008), Sosiologi Lingkungan (2008), Jangan Goblok Melakoni
Hidup (2010), Co-management Air Minum
untuk Kesejahteraan Masyarakat (2011) dan Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya
Alam : Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir (2012)..
Untuk menguatkan kompetensi
Sosiologi Lingkungan, beberapa karya ilmiah telah dihasilkan seperti:
Hasil-hasil penelitian yakni Perspektif Ekologis Para
Kyai (Studi Eksploratif tentang Perspektif Ekologis para Tokoh-Tokoh Agama di
Kota Malang), Pola-Pola Gerakan Lingkungan untuk Menyelamatkan Hutan (Studi
Eksploratif tentang Pola-Pola Gerakan Lingkungan di Kota Batu) dan Model
Demokratisasi Pengelolaan Air Minum Desa berbasis Resolutif & Transformatif
untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Sementara itu,
artikel-artikel ilmiah yang ditulis, seperti: Masyarakat Beresiko (The Risk
Society), Paham Antroposentrisme dan Krisis Lingkungan Kita, Orasi
Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 19 Januari 2005, Masyarakat Pesisir dalam Ancaman Global Warming (Jurnal Transisi, 2010), Co-Management
sebagai Strategi Pengelolaan Alternatif Pembangunan Peka Konflik (Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas
Muhammadiyah Malang, 5 Agustus 2010), Demokratisasi dan Ruang Publik dalam
Pengelolaan Lingkungan (Kontributor
dalam buku Demokrasi, Civil
Society dan Globalisasi).
Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, yakni menginisiasi
beberapa kegiatan, yaitu seperti Roadshow Sosiologi Peduli Lingkungan SMU
se-Malang Raya, Pendampingan administratif & kelembagaan HIPPAM Desa
Bumiaji,Kota Batu, Inisiator Peace on
Green : Penanaman 100 Pohon di Sumber Precet antara mahasiswa FISIP UMM
dengan Kelompok Tani di Sumber Precet, Batu, Pendampingan Program Sampah
Berbasis Komunitas di Desa Pandanrejo, Kota Batu. Kemudian, bersama In-Trans Institute memfasilitasi
kegiatan Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Dinoyo untuk menghentikan Pembangunan
Mall yang dilakukan Pemkot Malang. Hari ini sedang mendampingi Forum Masyarakat
Peduli Sumber Mata Air (FMPMA) untuk menolak Pembangunan Hotel di Kawasan
Konservasi di Kota Batu.
Kemampuan dan ketrampilan Sosiologi
diperkuat dengan karya-karya data base,seperti:
Survei Sosiologi Politik dan Pembangunan di Kota Batu (2006), Survei Potensi Sosiologis Pemerintahan dan
Pembangunan Kota Malang (2006) dan
Profil HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) se- Kota Batu.
[1] Iklan di Radar Malang, 8 Februari 2013, ada tiga tulisan yang
mendukung berdirinya Hotel, yakni Misi Utama Berdayakan Berdasarkan Warga
Sekitar; The Rayja Resort Legal dan Tidak Merusak Lingkungan. Tulisan kedua,
The Rayja Bukan Hotel dan tulisan ketiga, Izin Lengkap dan Legal.
[2] Kelompok aksi lingkungan yakni tujuan menggerakan penduduk guna
mempertahankan lingkungan setempat atas kepentingan luar yang lebih besar,
berbasis wilayah pedesaan, perempuan merupakan inti keanggotaan, pelestarian
bisa fokus sempit bisa luas, akan berhasil jika mampu menggunakan saluran
demokrasi dan hukum, ada sekutu di luar negeri, kegagalan lebih besar dari pada
keberhasilan (Lihat Haynes, Jeff, 2000,
Demokrasi & Masyarakat Sipil di Dunia ke-3, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
[3] HIPPAM merupakan singkatan dari Himpunan Penduduk Pemakai Air
Minum, dimana bergerak dalam pengelolaan air bersih di level desa. Pengelolaan
air ini oleh komunitas. Di Kota Batu, sistem pengelolaan air bersih dibagi
dalam 3 organisasi, yakni PDAM, HIPPAM dan Swadaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar