Minggu, 05 Mei 2013

Analisis & Strategi Penanganan Konflik Sumber air Gemulo di Kota Batu



ANALISIS & STRATEGI PENANGANAN KONFLIK LAHAN KONSERVASI ‘SUMBER MATA AIR’ DI KOTA BATU, JAWA TIMUR
Rachmad K Dwi Susilo, MA,  Jurusan Sosiologi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang, rachmad_umm2004@yahoo.com

ABSTRAK
Pembangunan pariwisata menghasilkan perubahan-perubahan di Kota Batu. Maraknya pembangunan ini, bahkan mengalahkan perkembangan pertanian yang mulai tidak diminati masyarakat sebab mahal dalam ongkos produksi. Tidak heran, konflik sosial menjadi persoalan sosiologis yang dilahirkan dari pembangunan infrastruktur pariwisata secara besar-besaran ini. Ada dua sebab yang menjadi pemicu konflik, yakni karena pilihan paradigma pembangunan pariwisata secara radikal dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak partisipatif. Persoalan yang mulai dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan, yakni  tidak tercukupinya suplai air minum sudah dirasakan di 3 desa, sementara itu krisis air sudah terjadi dimana-mana (Radar Batu, 11 April 2013). Hal inilah yang melahirkan kegelisahan di masyarakat yang akan menjurus pada keresahan dimana-mana.
Disinilah rencana pemerintah Kota Batu untuk memberikan izin berdirinya hotel dikawasan sumber air Umbulan Gemulo memicu ketidaksetujuan masyarakat lokal. Dengan tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Sumbermata air (FMPMA), masyarakat mengorganisir diri untuk menentang kebijakan pemerintah tersebut. Ketidakpuasan atas daya dukung alam/lingkungan yang kian mengkuatirkan dan akumulasi kekecewaan atas perilaku aparat negara membuat keresahan masyarakat itu kian besar. Menariknya, pembangunan infrastruktur pariwisata ini dipaksakan, baik lewat politik populis dan penyuapan-penyuapan, sehingga tidak heran jika muncul perlawanan-perlawanan dari masyarakat lokal. Rasionalitas untung rugi menghadapi rasionalitas masyarakat yang memiliki pijakan tidak sama.
Tulisan ini menjelaskan bagaimana pemetaan dan dinamika konflik yang terjadi. Dalam pemetaan konflik dijelaskan pihak-pihak yang berkonflik, yakni Pemerintah Kota Batu & investor (pihak hotel) dan masyarakat lokal & para pendamping gerakan (Yayasan Pusaka, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Simpul Malang dan  MCW (Malang Corruption Watch).
Selain melakukan gerakan penuntutan, baik dengan cara lobi maupun demonstrasi, FMPMA mengusulkan langkah-langkah mediasi dengan mengundang lembaga dari luar, sehingga  lembaga-lembaga mediator konflik, seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman RI dan KPP Jawa Timur, terlibat. Sementara itu, Pemerintah Kota Batu dan pihak hotel mencari legitimasi dengan mengundang keterlibatan PPLH Universitas Brawijaya. Melalui dinamika dan pasang surut, konflik sementara berakhir, setelah Pemerintah Kota Batu mengakomodasi tuntutan FMPMA untuk menjadikan lahan di sekitar Sumber Umbulan Gemulo sebagai lahan konservasi.
Untuk mengantisipasi agar konflik tidak terjadi lagi ke depan penulis jelaskan bagaimana langkah-langkah resolusi konflik dan rekomendasi kebijakan apa yang seharusnya dilakukan. Disinilah perlunya dirumuskan sistem pengelolaan sumber mata air yang partisipatif, dimana mengikutkan keterlibatan masyarakat lewat lembaga-lembaga pengelola air berbasis komunitas. Disinilah negara harus mendengar format penataan sumber air “versi” masyarakat, kemudian, perlunya negara membuat sebuah model komunikasi yang tidak dominatif.    
Kata kunci: pembangunan pariwisata, sumber air, konflik sosial, lahan konservasi

A.     PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Pembangunan pariwisata menghasilkan perubahan cepat di Kota Batu. Kebijakan walikota untuk membuka tempat-tempat pariwisata yang baru, seiring target Kota Batu sebagai tujuan pariwisata internasional, telah melahirkan konflik. Dalam perspektif pemerintah, pembangunan Kota Wisata menuntut dibangunnya infrastruktur-infrastruktur pendukung pariwisata, seperti: Hotel, cottage, resort, tukang pijat, karaoke, pusat oleh-oleh dan lain-lain. Berbagai fasilitas penginapan beraneka ragam berdiri, sekalipun ketersediaan hotel yang sudah cukup memadahi, tetapi bangunan hotel selalu bertambah.
Jika pada masa sebelumnya, bangunan-bangunan itu tersentral pada satu kecamatan, tetapi kini mulai tersebar merata pada tiga kecamatan. Bisa disimpulkan, mulai maraknya perubahan fungsi lahan baik sebagai tempat wisata maupun pembangunan hotel, lahan pertanian-perkebunan “disulap” menjadi bangunan pendukung infrastruktur pariwisata.
Maraknya pembangunan ini, bahkan mengalahkan perkembangan pertanian yang mulai tidak diminati masyarakat karena mahal dalam ongkos produksi. Tidak heran, konflik sosial menjadi persoalan sosiologis yang dilahirkan dari pembangunan infrastruktur pariwisata secara besar-besaran ini. Ada dua hal yang menjadi pemicu konflik, yakni karena pilihan paradigma pembangunan pariwisata yang radikal dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak partisipatif.
 Logikanya, sekalipun secara kuantitatif bangunan atau hotel-hotel baru tidak bertambah banyak tetapi sesungguhnya memiliki ‘daya rusak’ sangat besar, karena penggunaan air secara besar-besaran. Persoalan yang mulai dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan, yakni  tidak tercukupinya suplai air minum sudah dirasakan di 3 desa, sementara itu krisis air sudah terjadi dimana-mana (Radar Batu, 11 April 2013). Hal inilah yang melahirkan kegelisahan di masyarakat yang akan menjurus pada keresahan dimana-mana.
Ketidakpuasan atas daya dukung alam/lingkungan yang kian mengkuatirkan sementara itu bercampur dengan akumulasi kekecewaan atas perilaku aparat negara membuat keresahan masyarakat itu kian besar. Menariknya, paradigma pembangunan pariwisata ini dipaksakan kepada masyarakat  baik lewat politik populis dan penyuapan-penyuapan, sehingga tidak heran jika muncul perlawanan-perlawanan dari masyarakat lokal. Rasionalitas untung rugi menghadapi rasionalitas masyarakat yang memiliki pijakan tidak sama.
Disinilah muncul konflik pengelolaan sumber daya alam tentang lahan konservasi sumber mata air di masyarakat Kota Batu, terutama di desa-desa sekitar sumber air. Di tengah perkembangan pariwisata yang sedemikian pesat, kemudian perilaku perangkat negara yang tidak melayani masyarakat, persoalan air menjadi masalah yang sangat sensitif, sebab ia merupakan kebutuhan yang sangat vital untuk masyarakat. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Batu, sementara itu daerah-daerah tangkapan air semakin tidak terpelihara, maka air menjadi persoalan  yang rentan konflik sosial.
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa konflik sumber daya alam menjadi kajian  Sosiologi Lingkungan. Utamanya ketika persoalan sumber daya alam dihubungkan dengan kemunculan gerakan-gerakan lingkungan (Susilo, Rachmad K Dwi, 2008: 13). Beberapa riset tentang konflik sumber daya alam di Indonesia, seperti dinyatakan Djamin, Janius  tentang konflik masyarakat dengan PT Inti Indorayon Utama (PT IIU), dimana masyarakat lokal menentang berdirinya pabrik tersebut sebab kerusakan alam yang dihasilkan. Selain itu, PT IIU juga gagal melakukan pendekatan kepada tokoh adat dan masyarakat (Djamin, Djanius, 2007: 193-236).
Sementara itu, Endaryanta menjelaskan bagaimana masyarakat lokal menggalang dukungan untuk melawan PT Aqua-Danone yang menyebabkan sumber-sumber air di sekitar mereka menjadi berkurang. Selain itu, masyarakat mengkritik perijinan yang dilanggar, seperti prosedur operasional pengeboran air dan IMB (Endaryanta, Erwin, 2007). Sementara itu, Sobirin menjelaskan tentang perlawanan masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng Utara atas rencana pembangunan Pabrik Semen Gresik yang dikuatirkan mengancam sumber air di sana. Masyarakat mengorganisir diri dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (Prasetia, Heru &Bosman Batubara, 2010: 117-152). Masih banyak lagi, kajian tentang  konflik-konflik sumber daya alam yang lain, khususnya terkait pertambangan, seperti konflik sosial di masyarakat sekitar PT Newmont  (Dwi Putro, Widodo & Farid Tolomundu (2006) , PT Freeport, PT Lapindo Brantas dan lain-lain.
 Kesimpulan dari penelitian-penelitian tersebut yakni maraknya penolakan masyarakat lokal kepada “pembangunan” /Industri yang mengancam sumber daya alam di sekitar mereka dengan membangun gerakan-gerakan perlawanan. Sementara itu, dalam konteks konflik sumber daya alam, kelangkaan sumber daya alam yang bersatu dengan faktor ekonomi politik akan potensial melahirkan konflik dan kekerasan, seperti dinyatakan Homer Dixon (1999).
Sementara itu, dalam tulisan ini, konflik pengelolaan sumber daya alam di Kota Batu, tidak lepas dari praktek otonomi daerah melahirkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali, hal inilah yang memancing lahirnya penolakan-penolakan di masyarakat yang melahirkan konflik-konflik sosial.

b.      Rumusan Masalah
Tulisan ini akan membahas rumusan masalah sebagai berikut,
1.         Bagaimana akar masalah dalam konflik lahan konservasi di Kota Batu?
2.         Bagaimana pemetaan konflik lahan konservasi di Kota Batu?
3.         Bagaimana resolusi konflik lahan konservasi di Kota Batu?
4.         Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatasi lahan konservasi di Kota Batu?




B.      PEMBAHASAN
1.         AKAR MASALAH
Persoalan konflik ini dipicu oleh rencana pembangunan Hotel The Rayja di Dusun Cangar, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Keadaan yang dipersoalkan antara pemerintah, pihak hotel maupun masyarakat lokal mengingat lokasi Hotel yang berdekatan dengan  sumber mata air. Bahkan, jaraknya cukup dekat yakni 150 m dari sumber air yang besar di Kota Batu, yakni Sumber Umbulan Gemulo.
Dimana sumber air ini digunakan oleh lebih dari satu pihak seperti untuk kebutuhan air minum, yakni Dusun Cangar, Desa Bulukerto, Desa Bumiaji dan PDAM Kota Batu. Sementara itu, untuk kebutuhan pertanian, untuk Desa Sidomulyo dan Desa Pandanrejo. Perbedaan persepsi tentang ruang inilah yang kemudian memicu konflik sumber daya alam. Masing-masing pihak juga memiliki klaim kebenaran atas fakta rencana pembangunan hotel.  
Dari perspektif pemerintah, rasionalisasi klasik yang sering digunakan yakni kehadiran hotel akan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Hal ini dinyatakan Camat Bumiaji bahwa persoalan di Kecamatan Bumiaji yakni kemiskinan yang bisa diselesaikan dengan membuka lapangan pekerjaan sebanyak mungkin, sementara itu, Kepala Desa Bulukerto menyatakan bahwa pembangunan hotel sudah mendapat persetujuan masyarakat. Keduanya, menyatakan bahwa sosialisasi kepada masyarakat sudah dilaksanakan dengan baik.
Dengan sikap mendukung berdirinya hotel. Kepala  KPPT (Kantor Perijinan Pelayanan Tepadu) dan BAPPEDA (Badan Perencanaan Daerah) Kota Batu yang menyatakan bahwa proses perijinan Hotel The Rayja sudah sesuai  prosedur. Kepala bagian  Dinas Pengairan Binamarga menyatakan bahwa jika hotel tidak dibangun, maka akan masuknya investor di Kota Batu akan mengalami kesulitan.
Bagi masyarakat sekitar, pembangunan hotel ditolak, sebab ia akan memicu terjadinya kelangkaan sumber mata air. Bagi masyarakat, desa-desa di Kecamatan Bumiaji sudah mengalami kelangkaan air, hal ini yang nantinya akan diperparah dengan pembangunan hotel yang tidak sesuai dengan aturan. Disinilah masyarakat mempertanyakan perijinan yang dibuat Hotel dan dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian lewat gerakan penolakan yang diinisiasi FMPMA, masyarakat di sekitar hotel dan pengguna sumber Umbulan Gemulo mempertanyakan status perijinan hotel seperti yang diatur Undang-Undang, baik per-UUan daerah maupun pusat.
Dalam konflik ini juga yang tidak kalah pentingnya, yakni pihak investor yang merasa sudah mengikuti semua persyaratan pendirian hotel Kota Batu. Baginya pengurusan ijin sudah diikuti dengan baik. Untuk melindungi kepentingan bisnis ini pihak Hotel juga selalu menegaskan di media lokal bahwa pembangunan hotel sudah dibenarkan, baik dari segi perijinan, tanggung jawab sosial di masyarakat maupun penilaian resiko atas sumber air Umbulan Gemulo.[1] Tidak main-main langkah hotel, selain menolak pencabutan ijin dari walikota, ia mencari legitimasi dari PPLH Universitas Brawijaya. Langkah ini sesungguhnya bermakna tidak akan mundur dari tuntutan warga.
Sekalipun isu yang terlihat dilapangan lebih terkait penolakan atas pembangunan hotel, tetapi esensi konflik sosial terkait lahan konservasi. Rasionalitas nilai masyarakat dimana berbasis sistem pengetahuan lokal bertarung dengan rasionalitas negara berdasar pertimbangan ekonomis-administratif. Masyarakat lokal yang tergabung dalam FMPMA bersama-sama para pendamping melakukan gerakan perlawanan kepada kebijakan pemerintah ini. Sementara itu, pemerintah bersama pihak hotel tetap bersikukuh untuk mempertahankan berdirinya hotel.
Pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang mundur, bahkan konflik semakin keras karena semuanya mengumpulkan dan mengelola sumber daya (resources) demi memenangkan kepentingan masing-masing. Sampai akhirnya masyarakat tetap bersikukuh untuk menggagalkan berdirinya hotel, sekalipun pemerintah berupaya untuk menawarkan pilihan-pilihan ke FMPMA.
Hal yang penting berikutnya, yakni sifat konflik dimana dalam pembagian Lewis Coser termasuk konflik realistis (Coser dalam Susilo, Rachmad K Dwi, 2008: 231). Dimana ditemukan dilapangan, tuntutan masing-masing pihak sudah sangat jelas ketika berhadap-hadapan dan yang tidak kalah menarik bahwa konflik ini tidak merembet ke isu-isu non substansial yang lain. Prakteknya sekalipun sudah berjalan hampir setahun tidak ada kekerasan yang muncul mewarnai konflik ini.

2.         PEMETAAN KONFLIK
Bisa dikatakan bahwa konflik yang terjadi di Kota Batu ini konflik di aras lokal. Pihak-pihak yang berkonflik yakni Pemerintah Kota Batu dan Investor (Pemilik Hotel The Rayja) dengan FMPMA yang didukung oleh para pendamping dari Yayasan Pusaka, MCW dan WALHI Simpul Malang.
Keterlibatan Pemerintah Kota Batu sebab pemberi ijin Pembangunan Hotel, lebih khusus Dinas-Dinas yang mengeluarkan ijin pembangunan hotel, seperti KPPT (Kantor Pelayanan & Perijinan Terpadu (KPPT) dan BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Ketika menyangkut pengelolaan sumber daya air sebenarnya ada tiga dinas lagi yang terkait, yakni Kantor Lingkungan Hidup (KLH), Dinas Cipta Karya & Tata Ruang dan Dinas Pengairan & Binamarga. Pada kenyaataannya, tiga dinas yang disebut terakhir tidak terlibat sebagai aktor utama, tetapi lebih memberikan masukan-masukan dan pertimbangan. Sementara itu, di level komunitas, pemerintah  yang terlibat yakni Pemerintah Desa Bulukerto, Pemerintah Kecamatan Bumiaji.  
Dalam pemetaan konflik ini, investor atau Hotel The Rayja, merupakan pihak yang berkepentingan langsung dengan bisnis. Ia yang memiliki kalkulasi keuntungan, jika hotel benar-benar dibangun. Seperti dinyatakan pihak hotel, kewajiban dirinya mengurus perijinan sebagaimana yang diminta oleh pemerintah Kota Batu. Pihak hotel tidak berhubungan secara langsung dengan masyarakat sekitar lokasi hotel. Sekalipun, untuk kepentingan menyelamatkan ijin, ada saatnya melakukan lobi tokoh-tokoh masyarakat sekitar.
Sementara itu, yang tidak kalah penting yakni FMPMA merupakan kelompok aksi[2] yang terdiri warga Dusun Cangar, Desa Bulukerto dan Warga Desa Bumiaji (khususnya Dusun Banaran dan Dusun Binangun, sementara itu dua dusun tidak aktif), Desa Sidomulyo. Jika melihat struktur organisasi, ada keterlibatan HIPPAM Desa Bumiaji dan HIPPAM Dusun Cangar, Desa Bulukerto.[3]
Kelompok aksi ini bekerja dengan pendamping dari NGO (Non Governmental Organization), yaitu: Yayasan Pusaka, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Jawa Timur dan MCW (Malang Corruption Watch). Organisasi tersebut bukan aktor baru dalam gerakan civil society maupun penguatan demokrasi lokal di Malang Raya, sehingga keterlibatan mereka sangat dibutuhkan (fungsional) bagi masyarakat lokal.
Terutama di awal-awal gerakan, peran para pendamping sangat besar, sebab mampu menjalankan fungsi pemberian informasi, konsultasi dan pengembangan jejaring. Sekalipun organisasi-organisasi tersebut belum ada komunikasi sebelumnya dan dipertemukan secara kebetulan dalam urusan penolakan hotel tetapi terlihat kompak satu dengan lain. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis, bahwa kekuatan utama gerakan tetap berada di tangan masyarakat lokal. Para pendamping tidak harus tampil di muka. Kalau masyarakat lokal atau FMPMA sudah bisa menjalankan fungsi-fungsi seperti yang dipertimbangkan para pendamping tersebut, maka masyarakat dibiarkan untuk menjalankan strategi-strategi mereka.

3.         PASANG SURUT KONFLIK
            Dalam bagian ini dijelaskan bagaimana dinamika konflik dalam bentuk kronologi dari awal sampai akhir. Di sini digambarkan, peran dari masing-masing pihak dalam konflik. Kemudian, khusus peristiwa yang  penulis gambarkan adalah bagian-bagian yang menentukan saja.
a)        Sosialisasi Rencana Pembangunan Hotel
          Proses sosialisasi dimana ditemukan banyak kelemahan,  menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dikalangan masyarakat. Beberapa kelemahan dari sosialisasi menurut warga, yakni: dilihat dari teknis pelaksanaan, materi sosialisasi tidak seperti yang diharapkan masyarakat. Ketika masyarakat menghendaki betul-betul sosialisasi, tetapi justru yang terjadi pemaksaan persetujuan. Bahkan, “pemaksaan” ini ditandai dengan praktek suap, terutama dikalangan perangkat dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Bulukerto.
Persoalan kedua, pihak yang diundang belum mewakili pemakai sumber Umbulan Gemulo. Salah satu tokoh FMPMA menyatakan bahwa ada unsur pemalsuan dalam sosialisasi dan mengapa yang diundang kok hanya Warga Dusun Cangar, sementara itu masih ada desa-desa lain, pengguna sumber air umbulan gemulo. Tokoh tersebut juga memiliki pemikiran ke depan, tentang resiko pembangunan hotel akan menghasilkan dampak-dampak negatif , terutama semakin berkurangnya pasokan air. Disinilah dimana akhirnya, tokoh-tokoh awal FMPMA melakukan pengaduan-pengaduan ke lembaga-lembaga pemerintah di level propinsi.
          Dari keprihatinan inilah yang membuat gerakan kian membesar, karena ketidaksetujuan yang dirasakan segelintir masyarakat mulai dirasakan banyak pihak. Unek-unek yang dirasakan oleh Warga Dusun Cangar, kemudian dikomunikasikan ke HIPPAM Desa Bumiaji, dimana kemudian bak gayung bersambut, gerakan kian membesar.  Dalam pertemuan di Kantor HIPPAM Desa Bumiaji, peserta menyepakati penolakan atas rencana pembangunan Hotel. Alasan utama yakni “cacat” sosialisasi yang tidak menunjukkan persetujuan masyarakat keseluruhan. Sementara itu, yang bergabung dalam penolakan ini tidak hanya warga Dusun Cangar dengan Desa Bumiaji, tetapi turut  warga  Desa Sidomulyo dan Desa Pandanrejo.
b)       Mengkonsolidasi Gerakan Penolakan
          Setelah berkoalisinya antara Dusun Cangar dengan Desa Bumiaji, maka gerakan perlawanan semakin membesar. Masifnya gerakan ini tidak lepas dari bergabungnya organisasi-organisasi pendamping, yang sudah memiliki pengalaman dalam gerakan demokratisasi lokal di Kota Batu. Selain pengurus HIPPAM Desa Bumiaji yang aktif mengajak HIPPAM desa-desa sekitar (Desa Giripurno dan Desa Pandanrejo), masukan-masukan, terutama strategi yang diusulkan Yayasan Pusaka, MCW dan WALHI sangat ampuh untuk mengatur ritme dan memelihara sikap perlawanan terhadap pemerintah.
          Kegiatan seperti Launching Koin Peduli Sumber Umbulan dan Diskusi Publik termasuk masukan dari pendamping dimana efektif membangun kekuatan gerakan penolakan. Terlebih menghadapi sikap pemerintah yang tidak bergeming, maka seakan FMPMA dan pendamping bertambah kuat ikatannya untuk ditantang dalam mempertahankan konflik antara negara dan masyarakat ini.
c)        Audiensi dengan DPRD Kota Batu
          Pendekatan yang dilakukan yakni melakukan kontak denga anggota DPRD secara personal. Diharapkan strategi lobi ini cepat menyelesaikan masalah, tanpa harus mengeluarkan energi yang sangat besar. Kebetulan Ketua HIPPAM Desa Bumiaji memiliki relasi dengan anggota DPRD Kota Batu, maka langsung mengkontak dan FMPMA diundang audiensi di Kantor DPRD Kota Batu. Audiensi awal dilakukan FMPMA dengan anggota DPRD dari Partai Barnas dan Partai Demokrat sudah mendengarkan masukan FMPMA, tetapi dinyatakan bahwa untuk mencabut hotel diperlukan proses yang tidak mudah. Kedua anggota dewan berjanji akan meneruskan tuntutan FMPMA kepada walikota. Dalam kaitan ini, walikota menahan diri untuk tidak menanggapi tuntutan warga. Sementara itu, konflik memanas di aras media massa.
          Audiensi kedua dengan anggota DPRD yang lebih representatif juga terjadi, kali ini dipertemukan antara pihak eksekutif (dinas-dinas terkait), legislatif dan pihak hotel. Sekalipun telah ada perdebatan dari masing-masing pihak dimana peserta sudah mengetahui tuntutan masing-masing, tetapi tidak ada titik temu. Bagi FMPMA, perasaan lega sebab pemerintah diminta DPRD untuk melakukan kaji ulang. Disinilah konflik sedikit mereda. Pada akhirnya, keputusan politik ini pun tidak memuaskan FMPMA, sehingga gerakan FMPMA tetap berjalan dengan melakukan bentuk tekanan-tekanan baik kepada DPRD maupun walikota.   
d)       Perlawanan Masyarakat lewat Demonstrasi
          Demonstrasi dipilih sebagai tanggapan masyarakat untuk mengetahui sikap pemerintah maupun DPRD atas tidak jelasnya sikap mereka dalam menanggapi tuntutan FMPMA. Bagi FMPMA, kejelasan sikap akan diperoleh setelah masyarakat turun jalan atau demonstrasi. Demonstrasi pertama dilakukan di  Kantor Walikota. Demontrasi kedua dilakukan di Kantor Kecamatan Bumiaji dan Kantor Walikota. Di sini, Camat Bumiaji bersedia mencabut ijin hotel, sementara itu walikota belum menentukan sikap.
          Dalam menanggapi gerakan FMPMA, malahan pemerintah mengumpulkan kepala desa dan Camat sebagai counter atas FMPMA. Bahkan, rombongan ini diajak ke lokasi pembangunan hotel untuk melihat langsung bahwa pembangunan hotel tidak akan merusak sumber air. Selain itu, walikota juga menggalang dukungan dari pengurus/simpatisan partai politik tertentu. Tindakan yang dilakukan walikota ini tetap tidak membuat FMPMA mundur.
e)        Berkonflik di Lembaga Mediasi
          FMPMA masih menganggap bahwa pemerintah tidak memberikan jawaban tegas mengenai tuntutan masyarakat agar daerah di sekitar sumber gemulo dijadikan sebagai lahan konservasi. Bahkan, dalam pernyataan di media terkesan pemerintah “pasang badan” membela hotel bergeming tidak akan mencabut hotel. Kepala BAPPEDA bersikukuh bahwa ijin yang diberikan bukan pembangunan hotel, tetapi cottage. Ia akan menolak jika yang diajukan hotel. Menurut Pemerintah, cottage tidak merusak lingkungan.  Melihat sikap pemerintah yang demikian maka masyarakat membuat pengaduan ke KOMNAS HAM. Konflik tidak semakin keras, sebab Ketua KOMNAS HAM mampu memperingatkan walikota agar tidak represif dalam memperlakukan FMPMA dalam konflik ini.
f)         Ijin Pembangunan Hotel Dicabut Walikota
          Menanggapi demonstrasi besar-besaran baik kantor kecamatan maupun kantor pemerintah Kota Batu, walikota mulai mempertimbangkan tuntutan FMPMA. Walikota membuka negosiasi baik dengan Camat maupun dengan para kepala desa di sekitar sumber air. Sekalipun demikian, pemerintah tidak sepenuhnya percaya dengan tujuan FMPMA apakah benar-benar perjuangan untuk konservasi sumber air ataukah sesungguhnya dimanfaatkan demi kepentingan “segelintir” politisi Kota Batu.
          Berkali-kali walikota mendatangi rumah tokoh gerakan untuk memastikan apakah gerakan ini murni, atau sekedar kepentingan para politisi di Kota Batu. Kedatangan walikota sering malam hari dimana tidak diketahui oleh warga masyarakat, ingin membuktikan kecurigaan ini. Kemudian, dalam pertemuan di Kantor Desa Bumiaji, antara Walikota, FMPMA dan masyarakat walikota mampu ditekan untuk mencabut izin hotel.
                        Walikota menyatakan bahwa pencabutan ijin hotel menunjukkan komitmen pemerintah ke depan untuk menata ulang persoalan sumber mata air agar bisa meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat umum. Dia menambahkan “Kita bisa memahami bahwa selama ini penataan sumber mata air tidak tertata dengan baik” (Sindo, 5 Mei 2012).
g)        Masa Tenang
          Untuk sementara ketika PILKADA Kota Batu diselenggarakan, masing-masing pihak mengendurkan diri untuk tidak berkonflik. Walikota sibuk mempersiapkan dirinya berlaga untuk memperebutkan posisi dalam periode II sebagai incumbent. FMPMA juga tidak menjalankan terlalu antusias dalam hajatan besar di Kota Batu ini. Sementara itu, FMPMA tidak menjadikan pasangan walikota dan wakil walikota sebagai ajang untuk tawar menawar (bargaining) demi isu ini. Kemudian, mediasi konflik yang ditawarkan Komnas HAM, ditanggapi pemerintah akan dilakukan pasca PILKADA.
h)       Konflik Bergejolak Kembali
          Setelah ada keinginan walikota untuk mencabut ijin hotel, maka warga merasa perjuangan sudah selesai. Hanya saja dalam diskusi-diskusi dengan pendamping gerakan, surat pernyataan pencabutan hotel yang ditanda-tangani walikota tidak kuat secara hukum. Ketika awal-awal tokoh FMPMA diyakinkan ini, mereka tetap menyatakan bahwa walikota pasti tidak akan berani menghadapi resiko jika ingkar janji. Hal ini disebabkan, janji walikota disaksikan oleh ribuan warga. Ketakutan akan demonstrasi besar-besaran mendorong realisasi pencabutan ijin hotel. Ada faktor yang mungkin ikut mempengaruhi ini, yaitu moment PILKADA Kota Batu yang akan diselenggarakan.
          Seperti yang dikuatirkan para pendamping gerakan, Pemerintah tidak menindaklanjuti pencabutan ijin dengan surat resmi. Bahkan, pihak hotel tetap menegaskan bahwa pembangunan hotel jalan terus. Menurutnya, tidak ada yang dilanggar dalam perijinan. Ia juga akan balik menuntut Pemerintah Kota Batu jika ijin dicabut. Kemudian, ia membuktikan ucapannya dengan mendatangkan alat-alat berat masuk ke lokasi hotel. Melihat hal ini FMPMA tidak tinggal diam, tetapi terus melakukan perlawanan yang bermaksud menggagalkan pembangunan hotel. Massa baik dari Desa Bumiaji, Desa Bulukerto dan Desa Sidomulyo tetap kompak memindahkan batu dan pasir. Sekalipun, tindakan FMPMA akan dilaporkan ke Kepolisian Kota Batu, tetapi secara politik cukup efektif untuk bersikukuh dalam tuntutan yang tidak berubah, yakni tolak pembangunan hotel.
          Sikap yang dinyatakan hotel, ternyata sama dengan yang dimiliki Wakil Walikota Batu yang baru, yakni Ir. Punjul Santoso. Dalam media lokal, ia menegaskan bahwa ijin hotel sudah tepat dan tidak akan menimbulkan resiko perusakan atas sumber air. Bahkan, untuk memberikan jaminan kepada masyarakat, ia menyantakan kalau terjadi resiko yang tidak dikehendaki maka ijin hotel akan dicabut segera. Termasuk, ketika FMPMA mendatangi Kantor Wakil Walikota, tetap saja pemerintah akan meneruskan pembangunan hotel. Di sini bisa disimpulkan bahwa pembangunan hotel tetap diteruskan.
i)          Konflik dalam Ranah Jalur Hukum
          Melihat keteguhan sikap pemerintah untuk tetap membangun hotel, maka FMPMA membuat pengaduan kembali ke lembaga-lembaga yang bisa berperan mediasi konflik. Ketika di awal gerakan sudah membuat pengaduan ke Komnas HAM, kemudian pemerintah menanggapinya dalam pertemuan di Hotel UMM. Sambil menunggu proses berjalan FMPMA juga membuat pengaduan ke Komisi Ombudman RI dan Komisi Pelayanan Publik. Keberadaan tim mediasi mampu mempertemukan kedua pihak. Komisi Ombudsman RI menemukan praktek Mal Administrasi dalam perijinan hotel, sedangkan KPP Jawa Timur menyatakan bahwa prosedur yang dilakukan Pemerintah Kota Batu sudah tepat.
          Bagi kedua pihak juga akan menjadi waktu yang sangat efektif dalam menyusun strategi memperjuangkan kepentingan masing-masing. Sementara bagi hotel, kerugian yang diterima sebab belum bisa membangun hotel, sebab selama proses mediasi, hotel tidak diperbolehkan dibangun.
j)          Pemerintah dan Pihak Hotel Mencari Legitimasi  Kampus.
          Keteguhan sikap hotel dan pemerintah untuk mempertahankan dibangunnya hotel tidak hanya dalam kata-kata. Untuk memperkuat alasan ini, keduanya menggandeng Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya (PPLH UB) untuk menguatkan pernyataan  bahwa pembangunan hotel tidak merusak sumber air. Pernyataan yang mengutip penelitian dari PPLH  UB disampaikan dalam semua kesempatan, seakan-akan dalam membangun hotel sudah tidak ada.
          Melihat keadaan seperti ini bukannya FMPMA menyerah, tetapi mengklarifikasi hasil penelitian PPLH UB. Konflik kembali memanas. Sekitar 15 orang anggota FMPMA dengan didampingi para pendamping gerakan datang ke UB memberikan surat pernyataan kepada rektor dimana merupakan keprihatinan atas keterlibatan kampus tersebut dalam konflik sumber air di gemulo. Selain itu, mereka melakukan demonstrasi mengkritik keberpihakan kampus kepada investor.
          Melihat ini, Hedy Swasono, Ketua PPLH UB menerima FMPMA yang berdemonstrasi di depan Ruang Rektor UB dan berjanji akan datang ke Rumah Ketua FMPMA di Dusun Cangar, Desa Bulukerto untuk menjelaskan hasil penelitian mereka. Janji ini ditepati, kemudian terjadilah perdebatan yang sangat  antara masyarakat dengan para akademisi UB tersebut. Setelah, acara ini, baik hotel maupun pemerintah tidak lagi mengutip penelitian UB untuk membenarkan keputusan mereka.
          Setelah ini masyarakat membangun strategi gerakan baru, yakni menagih langsung janji walikota. Mereka tidak lagi bersedia, jika hanya ditemui dinas-dinas yang terkait. Sasaran mereka yakni bertemu walikota dan menagih janji atas pencabutan ijin hotel.
k)        Keputusan Walikota tentang Lahan Konservasi
          Tuntutan-tuntutan FMPMA untuk menemui walikota ternyata berhasil. Bahkan, setelah diawali pertemuan  tiga kali  antara warga dan semua SKPD yang terkait, akhirnya walikota memutuskan untuk  menjadikan tanah yang berada di sekitar sumber air Umbulan Gemulo menjadi lahan konservasi. Lahan yang dimaksud sebagai jari-jari yang ditarik 200 m. Prinsip yang digunakan seperti disampaikan Walikota, yakni sterilisasi semua bangunan yang berada di sekitar sumber air. Janji walikota akan dipenuhi dengan mengalokasikan Rp. 100 miliar untuk pembebasan/ganti rugi bagi pihak yang harus  di relokasi untuk keperluan ini.
          Di sinilah konflik sementara ini mereda, sebab target lahan konservasi sudah disetujui  walikota. FMPMA menunggu agar realisasi seperti yang dituntut dan dijanjikan benar-benar terwujud, mengingat dalam pengalaman advokasi mereka keputusan walikota bisa berubah-ubah sewaktu-waktu. Pengalaman demonstrasi menunjukkan ke arah itu, jika masyarakat tidak bergerak, maka walikota  mencari celah bagaimana agar tidak merealisasikan apa yang sudah dijanjikan tersebut.
          Dari keadaan di atas bisa disimpulkan karakter konflik yang terjadi bahwa masyarakat menghendaki diberlakukannya lahan konservasi, dimana didorong kegelisahan atas kekurangan pasokan air minum yang sudah dirasakan di 2 desa (Desa Giripurno dan Desa Pendem) dan satu kelurahan (Dadaprejo). Kemudian, konflik lahan untuk konservasi juga  tidak mengarah kepada anarkhisme sebab masing-masing yang berkonflik memiliki tujuan yang bisa dikomunikasikan. Masing-masing pihak berkeinginan bahwa konflik harus dijaga agar tetap produktif.

4.         MODEL RESOLUSI/PERDAMAIAN
     Persoalan konflik yang terjadi di atas sesungguhnya terkait pengelolaan sumber air, karena kebijakan pemerintah dalam memberikan ijin pembangunan hotel yang berjarak 150 m dari sumber air. Konflik terjadi disebabkan kegelisahan akan krisis air, dan kelemahan pemerintah sebab melanggar perundang-undangan yang berlaku. Mengikuti ketentuan tentang bangunan di sekitar kawasan sumber air jarak minimal seharusnya 200 m. Dalam perencanaan jarak hotel yaitu 150 m, dimana berpotensi akan merusak sumber air.
     Selain itu, sosialisasi yang dilakukan harus transparan, sebab masyarakat di sekitar sumber air merasa dibohongi. Hal yang sama terdapat keganjilan dalam proses perijinan, dimana IMB keluar terlebih dahulu dari pada UPL dan UKL, kemudian yang tidak kalah penting pelanggaran pemanfaatan ruang untuk keperluan infrastruktur pariwisata. Hotel The Rayja berada di desa, dimana menurut Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Batu 2012-2030, bukan untuk peruntukan membangun hotel.
     Ketika masyarakat sudah dikecewakan, maka kepercayaan akan semakin berkurang dan nyaris habis. Didukung kondisi pertanian di Kota Batu yang sudah mulai tidak bisa diharapkan, kemudian tata pemerintahan yang tidak menyejahterakan rakyat membuat masyarakat tegas dalam mengkritisi, bahkan melakukan penolakan-penolakan kepada kebijakan pemerintah.
     Dalam kondisi seperti ini resolusi konflik atau perdamaian bisa dilakukan dengan terlebih dahulu menghormati hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya air. Bukankah, masyarakat adalah pihak sah sebagai pengelola sumber daya air di sekitar mereka? Kemudian, pada masyarakat lokal terdapat kearifan lokal dimana didalamnya memuat kebijakan lokal, pengetahuan lokal dan kecerdasan lokal.  Bukan saatnya lagi, jika negara selalu memaksakan kehendak dalam pengelolaan sumber daya air itu. Hak-hak masyarakat yang sudah dimiliki secara turun temurun dihormati.
     Resolusi konflik yang bisa dilakukan yakni pemberian kewenangan negara kepada masyarakat untuk pengelolaan masyarakat. Sekalipun, bukan Community Based Resources Management (CBRM), tetapi kewenangan masyarakat lokal dalam memutuskan apa yang terbaik bagi sumber daya alam harus tetap diakomodir dan dihormati. 
     Disinilah negara harus mendengar format penataan sumber air “versi” masyarakat, kemudian, perlunya negara membuat sebuah model komunikasi yang tidak dominatif. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki sumber daya bisa menawarkan model pengelolaan dimana kepentingan antara masyarakat dengan negara bisa terakomodir secara baik. Tanpa mengesampingkan ketentuan-ketentuan perundangan lingkungan hidup yang sudah ditetapkan secara bersama dan mengatur keseimbangan antara kepentingan triple bottom line.

5.         REKOMENDASI KEBIJAKAN
            Sudah saatnya Kota Batu menerapkan aturan yang bukan hanya ramah terhadap lingkungan, tetapi harus berpihak pada lingkungan. Selain kondisi ekologis Kota Batu sebagai wilayah hilir DAS Brantas yang memberikan kehidupan bagi Kota-kota atau Kabupaten lain di Jawa Timur, kondisi agraris Kota Batu harus tetap dipertahankan. Disinilah perlu kerjasama masyarakat dengan pemerintah. Pelanggaran perundang-undangan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada lingkungan dan masyarakat lokal akan selalu menimbulkan penentangan dari  masyarakat.
Berdasar pertimbangan tersebut, beberapa rekomendasi kebijakan bisa diusulkan kepada pemerintah Kota Batu, sebagai berikut:
1.    Dibuat kebijakan terintegrasi yang mengatur kedudukan lingkungan dan sumber daya alam di Kota Batu, seperti keberadaan DAS Brantas, Perlindungan Wilayah Pegunungan dan Perlindungan Sumber Mata Air.
2.    Pembuatan peraturan yang memberikan kewenangan lebih kepada masyatakat untuk terlibat secara luas dalam pengelolaan sumber mata air di sekitar mereka. Selama ini sudah ada organisasi berbasis komunitas yang memanfaatkan itu, tinggal pemerintah melakukan penguatan kapasitas dan pembinaan-pembinaan.
3.    Penegakan Per-Undang-undangan lingkungan di Kota Batu. Untuk hal ini Perda yang mengatur lingkungan harus dilaksanakan dengan tegas dan tanpa pandang bulu.
Jika rekomendasi tersebut benar-benar dilaksanakan, maka konflik pengelolaan sumber daya air di Kota Batu bisa dihindarkan. Selain itu, yang paling penting mampu menjaga keseimbangan antara lingkungan fisik (air, tanah, udara dan cuaca), lingkungan biologis (tumbuh-tumbuhan, binatang) dan lingkungan sosial (kearifan lokal, keselarasan sosial, harmoni sosial dan lain-lain).

C.      PENUTUP
Konflik terkait lahan konservasi sumber air di Kota Batu disebabkan dinamika Kota Batu yang ditandai geliat pembangunan parawisata yang mengusik sumber daya alam di sekitar masyarakat. Dari kondisi pertanian di Kota Batu yang mulai menurun, perilaku pemerintah yang melakukan pembangunan tidak menyejahterakan masyarakat, kekurangan air untuk pertanian dan air minum sampai akhirnya lahirlah gerakan-gerakan penolakan terhadap dibangunnya hotel yang berdekatan sumber mata air umbulan gemulo.
Disinilah konflik membesar sebab tuntutan warga tidak ditanggapi secara baik, hingga lewat FMPMA melakukan gerakan-gerakan penolakan. Konflik bersifat pasang surut banyak ditentukan oleh sikap pemerintah yang kadang mengakomodir keinginan FMPMA, tetapi ketika janji walikota tidak dilaksanakan, maka konflik membesar kembali dan kemudian meledak. Saat ini, konflik untuk sementara berakhir ketika Walikota bersedia menerima tuntutan FMPMA yakni  menetapkan  lahan di sekitar sumber air sebagai lahan konservasi.


Daftar Pustaka
Dwi Putro Widodo & Farid Tolomundu, 2006, Menolak Takluk! Newmont vs Hati Nurani, Mataram: Titik Koma, Lembaga Olah Hidup
Djamin, Djanius, 2007, Pengawasan dan Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup, Suatu Analisis Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Endaryanta, Edwin. 2007. Politik Air di Indonesia: Penjarahan si Gedhang oleh Korporasi Aqua Danone. Yogyakarta: Laboratorium Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM
Haynes, Jeff, 2000, Demokrasi & Masyarakat Sipil di Dunia ke-3, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Prasetia, Heru & Bosman Batubara.2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil, DESANTARA, LAFADL Initiatives dan ISEE: Jogjakarta
Susilo, Rachmad K Dwi, 2008, 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi Para Peletak Sosiologi Modern, Yogyakarta: Ar Ruzz Media
Susilo, Rachmad K Dwi, 2008, Sosiologi Lingkungan, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta
Susilo, Rachmad K Dwi, 2012, Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam; Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir, Yogyakarta : Ar Ruzz Media
Susilo, Rachmad K Dwi, 2013, Wong Gunung Modon Embong: Gerakan Masyarakat Lokal untuk Konservasi Sumber Air, tidak diterbitkan
Thomas F. Homer-Dixon, 1999, Environment, Scarcity, Violence, Princeton University Press: New Jersey

Harian
Radar Malang, 8 Februari 2013, Misi Utama Berdayakan Berdasarkan Warga Sekitar; The Rayja Resort Legal dan Tidak Merusak Lingkungan. Tulisan kedua, The Rayja Bukan Hotel dan tulisan ketiga, Izin Lengkap dan Legal
Radar Batu, 11 April 2013, Tiga Desa Masih Krisis Air Bersih,
Sindo, 5 Mei 2012, “Wali Kota Hentikan The Rayja
 
 
 BIODATA PENULIS


Rachmad K Dwi Susilo, MA. Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 10 Oktober 1974. Riwayat Pendidikan, S-1 Jurusan Sosiologi FISIP UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret), Surakarta, (1994-1999) dan S-2 Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta (2008-2010). Pada saat kuliah S-2 meniatkan diri untuk mengembangkan kajian Sosiologi Pembangunan Lingkungan (Sosiologi Ecodelopment). Saat ini sebagai Ketua Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang dan Penangung Jawab Konsentrasi Sosiologi Lingkungan.
Buku-Buku yang telah dipublikasikan yaitu Integrasi Ilmu Sosial, Memadukan Ilmu Sosial Tiga Peradaban (2005), Sosiologi Kependudukan, Pemikiran Teori dan Analisa Sosiologis Di Balik Fenomena Kependudukan (2006),  Memahami Kecerdasan Orang-Orang Sukses : Refleksi Sosiologis Orang-Orang Ternama dalam Mensiasati Hidup (2007), 20 Tokoh Sosiologi Modern (2008), Sosiologi Lingkungan (2008), Jangan Goblok Melakoni Hidup (2010), Co-management Air Minum untuk Kesejahteraan Masyarakat (2011) dan Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam : Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir (2012)..
Untuk menguatkan kompetensi Sosiologi Lingkungan, beberapa karya ilmiah telah dihasilkan seperti: Hasil-hasil penelitian yakni Perspektif Ekologis Para Kyai (Studi Eksploratif tentang Perspektif Ekologis para Tokoh-Tokoh Agama di Kota Malang), Pola-Pola Gerakan Lingkungan untuk Menyelamatkan Hutan (Studi Eksploratif tentang Pola-Pola Gerakan Lingkungan di Kota Batu) dan Model Demokratisasi Pengelolaan Air Minum Desa berbasis Resolutif & Transformatif untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Sementara itu, artikel-artikel ilmiah yang ditulis, seperti: Masyarakat Beresiko (The Risk Society), Paham Antroposentrisme dan Krisis Lingkungan Kita, Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 19  Januari 2005, Masyarakat Pesisir dalam Ancaman Global Warming (Jurnal Transisi, 2010), Co-Management sebagai Strategi Pengelolaan Alternatif Pembangunan Peka  Konflik (Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 5 Agustus 2010), Demokratisasi dan Ruang Publik dalam Pengelolaan Lingkungan (Kontributor  dalam buku Demokrasi, Civil Society dan Globalisasi).
Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, yakni menginisiasi beberapa kegiatan, yaitu  seperti Roadshow Sosiologi Peduli Lingkungan SMU se-Malang Raya, Pendampingan administratif & kelembagaan HIPPAM Desa Bumiaji,Kota Batu, Inisiator Peace on Green : Penanaman 100 Pohon di Sumber Precet antara mahasiswa FISIP UMM dengan Kelompok Tani di Sumber Precet, Batu, Pendampingan Program Sampah Berbasis Komunitas di Desa Pandanrejo, Kota Batu. Kemudian, bersama In-Trans Institute memfasilitasi kegiatan Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Dinoyo untuk menghentikan Pembangunan Mall yang dilakukan Pemkot Malang. Hari ini sedang mendampingi Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air (FMPMA) untuk menolak Pembangunan Hotel di Kawasan Konservasi di Kota Batu.
Kemampuan dan ketrampilan Sosiologi diperkuat dengan karya-karya data base,seperti: Survei Sosiologi Politik dan Pembangunan di Kota Batu (2006),  Survei Potensi Sosiologis Pemerintahan dan Pembangunan Kota  Malang (2006) dan Profil HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) se- Kota Batu.

[1] Iklan di Radar Malang, 8 Februari 2013, ada tiga tulisan yang mendukung berdirinya Hotel, yakni Misi Utama Berdayakan Berdasarkan Warga Sekitar; The Rayja Resort Legal dan Tidak Merusak Lingkungan. Tulisan kedua, The Rayja Bukan Hotel dan tulisan ketiga, Izin Lengkap dan Legal.
[2] Kelompok aksi lingkungan yakni tujuan menggerakan penduduk guna mempertahankan lingkungan setempat atas kepentingan luar yang lebih besar, berbasis wilayah pedesaan, perempuan merupakan inti keanggotaan, pelestarian bisa fokus sempit bisa luas, akan berhasil jika mampu menggunakan saluran demokrasi dan hukum, ada sekutu di luar negeri, kegagalan lebih besar dari pada keberhasilan (Lihat Haynes, Jeff, 2000,  Demokrasi & Masyarakat Sipil di Dunia ke-3, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[3] HIPPAM merupakan singkatan dari Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum, dimana bergerak dalam pengelolaan air bersih di level desa. Pengelolaan air ini oleh komunitas. Di Kota Batu, sistem pengelolaan air bersih dibagi dalam 3 organisasi, yakni PDAM, HIPPAM dan Swadaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar