Kamis, 20 Maret 2014

WARGA UMBUL GEMULO PERJUANGKAN SUMBER MATA AIR HINGGA KE JAKARTA



PERS RELEASE
FORUM MASYARAKAT PEDULI MATA AIR (FMPMA)
WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)
Sejak selasa (11/03/2014), 15 warga dari desa Bulukerto dan Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo, Kecamatan Batu yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) mendatangi kota Jakarta untuk menemui beberapa pihak terkait demi memperjuangkan kelestarian sumber mata airnya yang tengah terancam akibat pendirian hotel didekat sana. Menurut rencananya, dalam aksinya kali ini, mereka akan mendatangi DPP PDIP terkait ketidakpedulian walikota Batu, Edi Rumpoko yang menjadi walikota melalui partai tersebut atas nasib sumber mata air Umbul Gemulo. Selain itu, warga juga akan mendatangi Komnas HAM untuk menagih rekomendasi Komnas HAM atas kasus Umbul Gemulo yang telah lama dilaporkan warga kepada mereka. Kemudian warga juga akan melaporkan kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman terkait tidak dilaksakannya rekomendasi yang sudah diturunkan oleh kedua lembaga tersebut atas konflik sumber mata air Umbul Gemulo.  Aksi ini merupakan kelanjutan karena setelah sampai batas akhir pelaksanaan rekomendasi dari instansi-instansi negara tersebut, pihak Pemerintah Kota Batu tidak melaksanakan satupun tindakan yang diamanatkan dalam rekomendasi tersebut.  
H. Rudi, Perwakilan FMPMA dari desa Bulukerto menyatakan bahwa keinginan warga menemui Ketua Umum PDI-P, Megawati karena Edi Rumpoko yang menjadi Walikota Batu dari partai tersebut dianggap tidak peka terhadap persoalan rakyat. Sebagai kader partai yang selama ini mengedepankan kader-kadernya yang menjadi pemimpin daerah lain seperti Jokowi dan Tririsma Harini di Jakarta dan Surabaya yang dianggap berhasil melakukan pendekatan terhadap masyarakat dan peduli terhadap lingkungan hidup, DPP PDI-P harus menegur kadernya yang membiarkan wilayah dan rakyatnya mengalami ancaman krisis ekologis
“Selama ini PDI-P mencitrakan dirinya sebagai partainya wong cilik, dan peduli terhadap kelestarian lingkungan. Karena itu, mereka harus tahu keberadaan kadernya di Batu yang bukannya membantu warga yang peduli terhadap lingkungannya, tapi malah membiarkan pembangunan hotel yang akan merusak sumber mata air yang selama ini digunakan 9 ribu jiwa untuk kehidupan mereka. Kader-kader seperti ini kalau didiamkan oleh Megawati, maka akan merusak citra partainya sendiri” terang H. Rudi.
Lebih lanjut, pria yang tengah menghadapi gugatan perdata pihak hotel The Rayja senilai 30 Milyar karena dianggap menghalang-halangi pembangunan hotel tersebut menegaskan bahwa aksi yang dilakukan oleh warga yang tergabung dalam FMPMA adalah aksi mempertahankan keselamatan lingkungan hidupnya, dan karenanya tindakan pembiaran yang dilakukan oleh Pemkot Batu dan arogansi Pihak The Rayja yang mengitimidasi warga dengan bentuk gugatan perdata harus dilawan jika masyarakat tidak ingin kehilangan sumber mata air Umbul Gemulo.
“Kami tidak akan membiarkan lingkungan kami dihancurkan dengan dalih pembangunan dan investasi. Kalau sumber Umbul Gemulo rusak karena pembangunan The Rayja, maka kami sebagai warga masyarakat yang pertama akan merasakan akibatnya. Karena itu kami mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam hal ini. Pemerintah Kota Batu ini dibentuk untuk melindungi dan mensejahterakan warganya bukan untuk melindungi kepentingan pemodal yang nyatanya malah merusak dan menghancurkan kelestarian lingkungan”  tutur H. Rudi.
Setelah mendatangi DPP PDI-P, warga juga berencana mendatangi Komnas HAM. Warga dari desa Sidomulyo, Zaenal Arifin menerangkan bahwa warga kedatangan warga ke Komnas HAM adalah untuk menagih janji Komnas HAM yang akan menurunkan rekomendasi mereka terkait kasus sumber mata air Umbul Gemulo. Untuk diketahui, bahwa Komnas HAM telah menurunkan tim untuk melakukan kajian terhadap kasus Umbul Gemulo sejak April 2012, namun hingga sekarang rekomendasi terkait kasus ini belum juga diturunkan. Komnas HAM juga telah melakukan mediasi antara warga dan pihak hotel The Rayja serta Pemerintah Kota Batu pada 12 Februari 2013, yang mana salah satu poin pertemuan yang menyatakan bahwa hotel The Rayja hanya boleh melakukan pendirian pagar, hasil tersebut pada akhirnya juga dilanggar, karena nyatanya hotel The Rayja terus melakukan pembangunan hingga sekarang.
“Komnas HAM ini kan salah satu lembaga yang pertama kali mendatangi warga terkait kasus Umbul Gemulo, namun hingga sekarang belum juga memberikan rekomendasinya, sementara lembaga lain seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman sudah mengeluarkan rekomendasinya. Kami ingin mempertanyakan lagi kepada Komnas HAM, mengapa mereka belum juga mengeluarkan kebijakan ataupun rekomendasi tersebut” tanya Zaenal.
Selain itu, warga juga akan mendatangi Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman yang sebelumnya telah mengeluarkan rekomendasi terkait pendirian hotel The Rayja di Kota Batu.  menyatakan bahwa tindakan Pemkot Batu yang tidak mengindahkan rekomendasi KLH dan Ombudsman dalam kapasitasnya sebagai lembaga resmi negara adalah tindakan pembangkangan aparatur daerah, karenanya warga bermaksud mengingatkan kembali bahwa Walikota Batu sebagai pengelola pemerintahan daerah seharusnya taat hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk diketahui, Pada 28 Agustus 2013, Kementrian Lingkungan Hidup mengeluarkan rekomendasi terkait kasus sumber mata air Umbul Gemulo, dimana rekomendasi KLH tersebut memerintahkan penghentian pembangunan Hotel The Rayja sebelum dipenuhinya dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)  karena pembangunan The Rayja dianggap mengancam keselamatan sumber mata air Umbul Gemulo yang selama ini telah menjadi sumber air bersih warga. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2013 Ombudsman mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan bahwa Kepala Kantor Perijinan Terpadu Kota Batu harus diberi sangsi atas tindakannya memberi ijin pembangunan Rumah Peristirahatan dan Resort The Rayja. Kedua Rekomendasi tersebut hingga sekarang tidak dijalankan oleh Pemerintah Kota Batu.
Jumadi, perwakilan warga dari desa Bumiaji mengatakan bahwa Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman harus mengambil tindakan tegas terhadap pembangkangan yang dilakukan Pemerintah Kota Batu dan Hotel The Rayja terhadap isi rekomendasi tersebut.
“Kalau Walikota tidak mentaati rekomendasi KLH dan Ombudsman, ini sama saja mereka sedang mendirikan negara dalam negara. Mereka jelas-jelas melakukan pembangkangan terhadap institusi negara yang sah. Surat KLH dan Ombudsman sudah menunjukkan begitu banyak aturan lingkungan hidup dan tata ruang yang dilanggar dalam pembangunan The Rayja dan meminta pembangunannya dihentikan , Mengapa Walikota masih membiarkan mereka melakukan pembangunan? KLH dan Ombudsman harus bertindak, pembangkangan Pemkot Batu dan The Rayja harus segera dihentikan” tegas Jumadi.
Kegelisahan warga di sekitar sumber mata air umbul Gemulo akan ancaman kerusakan lingkungan di wilayahnya bukan sesuatu yang tidak berdasar. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menemukan bahwa kerusakan lingkungan di wilayah Malang Raya telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Konfigurasi titikmata air dan kebutuhan mata air di Malang Raya menunjukkan kecenderungan kritis. Kabupaten Malang misalnya,  memiliki 873 sumber air dengan debit airnya bervariatif antara 1 liter perdetik – 4 ribu liter perdetik. Tahun 2008 tercatat sepertiga dari sumber air yang ada mengalami penurunan debit air.
Sementara itu, untuk keberadaan sumber mata air di kota Batu, dari sebelumnya tercatat ada 111 titik kini telah mengalami kemerosotan. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat ini tinggal 28 titik. Sedangkan di Kecamatan Batu, dari 32 sumber air, kini tinggal 15 titik. Sementara itu sumber air di Kecamatan Junrejo, dari 22 titik sumber mata air, kini tersisa 15 titik.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim, Rere Christanto menyebut bahwa data-data tersebut menunjukkan kegagalan Pemerintah Kota Batu menjaga keseimbangan ekosistem wilayah kota Batu. “Tindakan ini tidak bisa dibiarkan, sementara usaha pemulihan lingkungan tidak pernah dipikirkan, Pemerintah Kota Batu malah memfasilitasi penghancuran lingkungan secara lebih luas. Kalau Pemkot Batu terus tutup mata terhadap fakta kerusakan yang sudah nampak jelas ini, maka ini adalah indikasi yang nyata bahwa pemerintahan ini tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan” tegas Rere.
Sementara itu, Manajer Hukum dan Kebijakan Eksekutif Nasional WALHI, Muhnur Satyahaprabu mengingatkan bahwa pembangunan dan investasi yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan akan mempercepat bencana ekologis seperti yang sekarang tengah mengancam banyak wilayah di Indonesia
“Pemerintah Kota Batu harus belajar dari banyaknya bencana ekologis yang menimpa wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kalau Pemkot Batu membiarkan ketidaktaatan terhadap tata ruang, pengalihfungsian wilayah-wilayah serapan, serta penghancuran sumber mata air dan kerusakan keseluruhan ekosistem terus berlarut-larut, maka sesungguhnya Pemkot Batu tengah menggiring warganya menuju bencana yang lebih besar” terang Muhnur yang turut mendampingi warga dalam aksi ini.
Lebih lanjut Muhnur menyatakan bahwa pemaksaan pembangunan Rumah Peristirahatan dan Resort The Rayja yang mengancam keberlanjutan terhadap hak rakyat atas air adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusi warga dan hak asasi manusia. “Pemerintah harus bertindak tegas! Hentikan pembangunan yang jelas-jelas mengancam keselamatan rakyat. Jangan lagi menjadikan masyarakat sebagai tumbal investasi” tegas Muhnur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar