PERS RELEASE
FORUM MASYARAKAT PEDULI MATA AIR (FMPMA)
WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)
FORUM MASYARAKAT PEDULI MATA AIR (FMPMA)
WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)
Sejak selasa (11/03/2014), 15 warga
dari desa Bulukerto dan Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo,
Kecamatan Batu yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA)
mendatangi kota Jakarta untuk menemui beberapa pihak terkait demi
memperjuangkan kelestarian sumber mata airnya yang tengah terancam akibat
pendirian hotel didekat sana. Menurut rencananya, dalam aksinya kali ini,
mereka akan mendatangi DPP PDIP terkait ketidakpedulian walikota Batu, Edi Rumpoko
yang menjadi walikota melalui partai tersebut atas nasib sumber mata air Umbul
Gemulo. Selain itu, warga juga akan mendatangi Komnas HAM untuk menagih
rekomendasi Komnas HAM atas kasus Umbul Gemulo yang telah lama dilaporkan warga
kepada mereka. Kemudian warga juga akan melaporkan kepada Kementrian Lingkungan
Hidup dan Ombudsman terkait tidak dilaksakannya rekomendasi yang sudah
diturunkan oleh kedua lembaga tersebut atas konflik sumber mata air Umbul
Gemulo. Aksi ini merupakan kelanjutan karena setelah sampai batas akhir
pelaksanaan rekomendasi dari instansi-instansi negara tersebut, pihak
Pemerintah Kota Batu tidak melaksanakan satupun tindakan yang diamanatkan dalam
rekomendasi tersebut.
H. Rudi, Perwakilan FMPMA dari desa Bulukerto
menyatakan bahwa keinginan warga menemui Ketua Umum PDI-P, Megawati karena Edi
Rumpoko yang menjadi Walikota Batu dari partai tersebut dianggap tidak peka
terhadap persoalan rakyat. Sebagai kader partai yang selama ini mengedepankan
kader-kadernya yang menjadi pemimpin daerah lain seperti Jokowi dan Tririsma
Harini di Jakarta dan Surabaya yang dianggap berhasil melakukan pendekatan
terhadap masyarakat dan peduli terhadap lingkungan hidup, DPP PDI-P harus
menegur kadernya yang membiarkan wilayah dan rakyatnya mengalami ancaman krisis
ekologis
“Selama ini PDI-P mencitrakan dirinya sebagai
partainya wong cilik, dan peduli terhadap kelestarian lingkungan. Karena itu,
mereka harus tahu keberadaan kadernya di Batu yang bukannya membantu warga yang
peduli terhadap lingkungannya, tapi malah membiarkan pembangunan hotel yang
akan merusak sumber mata air yang selama ini digunakan 9 ribu jiwa untuk
kehidupan mereka. Kader-kader seperti ini kalau didiamkan oleh Megawati, maka
akan merusak citra partainya sendiri” terang H. Rudi.
Lebih lanjut, pria yang tengah
menghadapi gugatan perdata pihak hotel The Rayja senilai 30 Milyar karena
dianggap menghalang-halangi pembangunan hotel tersebut menegaskan bahwa aksi
yang dilakukan oleh warga yang tergabung dalam FMPMA adalah aksi mempertahankan
keselamatan lingkungan hidupnya, dan karenanya tindakan pembiaran yang
dilakukan oleh Pemkot Batu dan arogansi Pihak The Rayja yang mengitimidasi
warga dengan bentuk gugatan perdata harus dilawan jika masyarakat tidak ingin
kehilangan sumber mata air Umbul Gemulo.
“Kami tidak akan membiarkan lingkungan kami
dihancurkan dengan dalih pembangunan dan investasi. Kalau sumber Umbul Gemulo
rusak karena pembangunan The Rayja, maka kami sebagai warga masyarakat yang
pertama akan merasakan akibatnya. Karena itu kami mempertanyakan ketegasan
pemerintah dalam hal ini. Pemerintah Kota Batu ini dibentuk untuk melindungi
dan mensejahterakan warganya bukan untuk melindungi kepentingan pemodal yang nyatanya
malah merusak dan menghancurkan kelestarian lingkungan” tutur H. Rudi.
Setelah mendatangi DPP PDI-P, warga juga berencana
mendatangi Komnas HAM. Warga dari desa Sidomulyo, Zaenal Arifin menerangkan
bahwa warga kedatangan warga ke Komnas HAM adalah untuk menagih janji Komnas
HAM yang akan menurunkan rekomendasi mereka terkait kasus sumber mata air Umbul
Gemulo. Untuk diketahui, bahwa Komnas HAM telah menurunkan tim untuk melakukan
kajian terhadap kasus Umbul Gemulo sejak April 2012, namun hingga sekarang
rekomendasi terkait kasus ini belum juga diturunkan. Komnas HAM juga telah
melakukan mediasi antara warga dan pihak hotel The Rayja serta Pemerintah Kota
Batu pada 12 Februari 2013, yang mana salah satu poin pertemuan yang menyatakan
bahwa hotel The Rayja hanya boleh melakukan pendirian pagar, hasil tersebut
pada akhirnya juga dilanggar, karena nyatanya hotel The Rayja terus melakukan
pembangunan hingga sekarang.
“Komnas HAM ini kan salah satu lembaga yang pertama
kali mendatangi warga terkait kasus Umbul Gemulo, namun hingga sekarang belum
juga memberikan rekomendasinya, sementara lembaga lain seperti Kementrian
Lingkungan Hidup dan Ombudsman sudah mengeluarkan rekomendasinya. Kami ingin
mempertanyakan lagi kepada Komnas HAM, mengapa mereka belum juga mengeluarkan
kebijakan ataupun rekomendasi tersebut” tanya Zaenal.
Selain itu, warga juga akan mendatangi Kementrian
Lingkungan Hidup dan Ombudsman yang sebelumnya telah mengeluarkan rekomendasi
terkait pendirian hotel The Rayja di Kota Batu. menyatakan bahwa tindakan
Pemkot Batu yang tidak mengindahkan rekomendasi KLH dan Ombudsman dalam
kapasitasnya sebagai lembaga resmi negara adalah tindakan pembangkangan
aparatur daerah, karenanya warga bermaksud mengingatkan kembali bahwa Walikota
Batu sebagai pengelola pemerintahan daerah seharusnya taat hukum dan
perundang-undangan yang berlaku.
Untuk diketahui, Pada 28 Agustus 2013, Kementrian
Lingkungan Hidup mengeluarkan rekomendasi terkait kasus sumber mata air Umbul
Gemulo, dimana rekomendasi KLH tersebut memerintahkan penghentian pembangunan
Hotel The Rayja sebelum dipenuhinya dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) karena pembangunan The Rayja dianggap mengancam keselamatan
sumber mata air Umbul Gemulo yang selama ini telah menjadi sumber air bersih
warga. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2013 Ombudsman mengeluarkan rekomendasi
yang menyatakan bahwa Kepala Kantor Perijinan Terpadu Kota Batu harus diberi
sangsi atas tindakannya memberi ijin pembangunan Rumah Peristirahatan dan
Resort The Rayja. Kedua Rekomendasi tersebut hingga sekarang tidak dijalankan
oleh Pemerintah Kota Batu.
Jumadi, perwakilan warga dari desa Bumiaji mengatakan
bahwa Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman harus mengambil tindakan tegas
terhadap pembangkangan yang dilakukan Pemerintah Kota Batu dan Hotel The Rayja
terhadap isi rekomendasi tersebut.
“Kalau Walikota tidak mentaati rekomendasi KLH dan
Ombudsman, ini sama saja mereka sedang mendirikan negara dalam negara. Mereka
jelas-jelas melakukan pembangkangan terhadap institusi negara yang sah. Surat
KLH dan Ombudsman sudah menunjukkan begitu banyak aturan lingkungan hidup dan
tata ruang yang dilanggar dalam pembangunan The Rayja dan meminta
pembangunannya dihentikan , Mengapa Walikota masih membiarkan mereka melakukan
pembangunan? KLH dan Ombudsman harus bertindak, pembangkangan Pemkot Batu dan
The Rayja harus segera dihentikan” tegas Jumadi.
Kegelisahan warga di sekitar sumber mata air umbul
Gemulo akan ancaman kerusakan lingkungan di wilayahnya bukan sesuatu yang tidak
berdasar. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menemukan bahwa
kerusakan lingkungan di wilayah Malang Raya telah sampai pada titik yang
mengkhawatirkan. Konfigurasi titikmata air dan kebutuhan mata air di Malang
Raya menunjukkan kecenderungan kritis. Kabupaten Malang misalnya,
memiliki 873 sumber air dengan debit airnya bervariatif antara 1 liter perdetik
– 4 ribu liter perdetik. Tahun 2008 tercatat sepertiga dari sumber air yang ada
mengalami penurunan debit air.
Sementara itu, untuk keberadaan sumber mata air di
kota Batu, dari sebelumnya tercatat ada 111 titik kini telah mengalami
kemerosotan. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat
ini tinggal 28 titik. Sedangkan di Kecamatan Batu, dari 32 sumber air, kini
tinggal 15 titik. Sementara itu sumber air di Kecamatan Junrejo, dari 22 titik
sumber mata air, kini tersisa 15 titik.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim, Rere
Christanto menyebut bahwa data-data tersebut menunjukkan kegagalan Pemerintah
Kota Batu menjaga keseimbangan ekosistem wilayah kota Batu. “Tindakan ini tidak
bisa dibiarkan, sementara usaha pemulihan lingkungan tidak pernah dipikirkan,
Pemerintah Kota Batu malah memfasilitasi penghancuran lingkungan secara lebih
luas. Kalau Pemkot Batu terus tutup mata terhadap fakta kerusakan yang sudah
nampak jelas ini, maka ini adalah indikasi yang nyata bahwa pemerintahan ini
tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan” tegas Rere.
Sementara itu, Manajer Hukum dan Kebijakan Eksekutif
Nasional WALHI, Muhnur Satyahaprabu mengingatkan bahwa pembangunan dan
investasi yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan akan
mempercepat bencana ekologis seperti yang sekarang tengah mengancam banyak
wilayah di Indonesia
“Pemerintah Kota Batu harus belajar dari banyaknya
bencana ekologis yang menimpa wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kalau Pemkot
Batu membiarkan ketidaktaatan terhadap tata ruang, pengalihfungsian
wilayah-wilayah serapan, serta penghancuran sumber mata air dan kerusakan
keseluruhan ekosistem terus berlarut-larut, maka sesungguhnya Pemkot Batu
tengah menggiring warganya menuju bencana yang lebih besar” terang Muhnur yang
turut mendampingi warga dalam aksi ini.
Lebih lanjut Muhnur menyatakan bahwa pemaksaan
pembangunan Rumah Peristirahatan dan Resort The Rayja yang mengancam
keberlanjutan terhadap hak rakyat atas air adalah bentuk pelanggaran terhadap
hak konstitusi warga dan hak asasi manusia. “Pemerintah harus bertindak tegas!
Hentikan pembangunan yang jelas-jelas mengancam keselamatan rakyat. Jangan lagi
menjadikan masyarakat sebagai tumbal investasi” tegas Muhnur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar