Air menjadi kebutuhan utama manusia. Saat ini,
hampir semua sumber air di wilayah Indonesia mengalami krisis. Bahkan, sekarang
ini tidak ada pulau kecil yang tidak dirusak dan tidak ada pulau terbesar untuk
dirusak.
“Sumber mata air dirusak secara sistematis, mulai
dari pulau paling besar di Kalimantan hingga pulau paling kecil di Sulawesi.
Sekarang air menjadi barang jualan. Sebenarnya air ini menjadi infrastruktur
ekologis supaya kehidupan tetap berlangsung,” Hendro Sangkoyo dari Sekolah
Ekonomika Demokratik Jakarta.
Hendro menyampaikan itu dalam Sarasehan
Pelestarian Lingkungan, "Mari Kita Lestarikan Sumber Mata Air dari Ancaman
Kelestarian Alam" yang digelar Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) di
Pendopo Dusun Cangar Desa Bulukerto, Jumat (7/11/2014).
Ia menambahkan, meski sudah mengalami krisis,
belum ada wacana memproteksi sumbar air dari pulau demi pulau, telah terjadi
kompetisi semakin lama semakin sengit tentang siapa yang berhak menggunakan
air.
“Pengurus publik (Pemerintah) harus mau membaca
lebih cerdas. Krisis ini disebabkan karena kendornya pemeriksaan oleh pengurus
publik. Ini perlu pengurus cerdas yang mampu menegakkan keadilan. Kalau
pengurus publiknya cerdas, tidak perlu ada kriminalisasi, dan banyak elemen
seperti ini,” terangnya.
Sarasehan tersebut juga dihadiri pegiat
lingkungan dari Bali Utara, Komang Armada. Ia menceritakan, di Bali Utara ada
komunitas Catur Desa yang menjaga sumber air dengan regulasi lama.
Menurutnya, musuh masyarakat Bali sebenarnya
pariwisata. Empat desa itu adalah Desa Munduk, Gobleng, Desing, dan Ume Jero.
Keempatnya berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng.
“Tapi kami memproteksi sekali, misal penggunaan
area (bangunan) hanya 30 persen. Kami punya sumber air debitnya besar yang
diproteksi dengan menanam pohon, subak, distribusinya dilakukan dengan baik.
Semua masih terjaga, ada regulasi dan tradisi yang kuat,” paparnya.
Investor berusaha masuk untuk menguasai lahan
dengan aturan mainnya sendiri, namun dengan regulasi yang ada, misal warga
negara asing tidak boleh memiliki lahan melebihi batas, atau kamar hotel
jumlahnya sudah ditentukan oleh regulasi.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batu,
Budi Santoso setuju dengan adanya regulasi melindungi lahan pertanian atau
sekitar sumber air dan hal itu nantinya bisa diadopsi di Batu.
“Sewaktu saya menjadi kepala Bappeda, saya sudah
membuat regulasi, bahwa hutan di Kota Batu harus menjadi hutan lindung, supaya
tidak dirusak. Dan untuk pariwisata, perlu perhitungan kapasitas ketersediaan
air dengan wisatawan yang datang,” katanya.
Sementara itu, Sejarawan dari Universitas Negeri
Malang, Dwi Cahyono mengutarakan, Kota Batu memiliki prasasti-prasasti yang
berhubungan dengan sumber air. Ia mencontohkan, sumber air di Candi Songgoriti,
sekarang partirtannya sudah hilang karena air dialirkan ke hotel.
Partirtan lainnya adalah Desa Beji, Dusun Jeding.
Di Jeding partirtannya hampir hilang. Desa Sumberbrantas menjadi petunjuk
adanya sumber air Brantas. Brantas bukan hanya penting bagi Batu, tapi juga
daerah yang ada di sekitarnya.
“Prasasti lainnya adalah nama Dusun Toyomerto di
Desa Pesanggrahan yang berada di bawah lereng Gunung Panderman. Begitu juga
dengan partirtan di Dusun Banyuning. Itu menunjukkan pada kita, pada masa lalu
sudah ada penyebaran nama yang menunjukkan di sana ada sumber air,” jelasnya.
Surya online Batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar