Sabtu, 08 November 2014

Puluhan Mata Air di Hulu Sungai Brantas Mati

TEMPO.CO, Batu - Puluhan mata air di kawasan hulu Sungai Brantas mati. Sebagian lainnya terus mengalami pengecilan debit. Dalam kurun dua tahun terakhir, sebelas mata air mengering. Adapun debit 46 mata air yang masih ada makin menyusut, dari semula 10 menjadi 5 meter kubik per detik. Masyarakat melakukan reboisasi dan berbagai usaha lain untuk menjaga kelestarian mata air itu.

"Kelompok masyarakat dan aktivis lingkungan turut menjaga sumber air," kata warga Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu, Aries Faudzin, Jumat, 7 November 2014. Salah satu caranya ialah menggalakkan gerakan penghijauan dan menerapkan kearifan lokal dalam menjaga air, seperti menggelar selamatan sumber air, pagelaran budaya, kesenian tradisional, dan diskusi dengan pakar lingkungan. (Baca: Sengketa Mata Air, Warga Menginap di Polres Batu)
Pada 2007, ada 170 mata air di hulu Sungai Brantas. Namun, hanya dalam rentang waktu setahun kemudian, jumlahnya turun menjadi 111. Pada 2009, tersisa 46. Dari total sumber air di Kota Batu, 30 persen berada di Kecamatan Bumiaji. Namun belakangan debit mata air itu terus menyusut, termasuk sumber air Sungai Brantas, yang mengaliri 14 kota dan kabupaten di Jawa Timur. (Baca juga: Hulu Sungai Brantas Tercemar Limbah Rumah Tangga)
Salah satu mata air yang masih terjaga adalah Umbul Gemulo di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, yang memiliki debit 179 liter per detik. Umbul Gemulo tak hanya menjadi tumpuan hidup bagi enam ribu warga setempat, tapi juga memasok enam desa lain yang dialiri air dari Perusahaan Daerah Air Minum Kota Batu.

Kawasan Kota Batu menjadi salah satu kunci pelestarian sumber air karena berada di lereng Gunung Arjuna dan Anjasmoro. Data Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur 2010 mencatat Jawa Timur mempunyai 4.389 mata air yang tersebar di 30 kabupaten. Dari jumlah tersebut, 109 di antaranya berada di Batu. Namun, debit mata air di sana terus menyusut dari tahun ke tahun.

Jumat, 07 November 2014

Penguasaan Sumber Air Semakin Memprihatinkan



Air menjadi kebutuhan utama manusia. Saat ini, hampir semua sumber air di wilayah Indonesia mengalami krisis. Bahkan, sekarang ini tidak ada pulau kecil yang tidak dirusak dan tidak ada pulau terbesar untuk dirusak.
“Sumber mata air dirusak secara sistematis, mulai dari pulau paling besar di Kalimantan hingga pulau paling kecil di Sulawesi. Sekarang air menjadi barang jualan. Sebenarnya air ini menjadi infrastruktur ekologis supaya kehidupan tetap berlangsung,” Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratik Jakarta.
Hendro menyampaikan itu dalam Sarasehan Pelestarian Lingkungan, "Mari Kita Lestarikan Sumber Mata Air dari Ancaman Kelestarian Alam" yang digelar Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) di Pendopo Dusun Cangar Desa Bulukerto, Jumat (7/11/2014).
Ia menambahkan, meski sudah mengalami krisis, belum ada wacana memproteksi sumbar air dari pulau demi pulau, telah terjadi kompetisi semakin lama semakin sengit tentang siapa yang berhak menggunakan air.
“Pengurus publik (Pemerintah) harus mau membaca lebih cerdas. Krisis ini disebabkan karena kendornya pemeriksaan oleh pengurus publik. Ini perlu pengurus cerdas yang mampu menegakkan keadilan. Kalau pengurus publiknya cerdas, tidak perlu ada kriminalisasi, dan banyak elemen seperti ini,” terangnya.
Sarasehan tersebut juga dihadiri pegiat lingkungan dari Bali Utara, Komang Armada. Ia menceritakan, di Bali Utara ada komunitas Catur Desa yang menjaga sumber air dengan regulasi lama.
Menurutnya, musuh masyarakat Bali sebenarnya pariwisata. Empat desa itu adalah Desa Munduk, Gobleng, Desing, dan Ume Jero. Keempatnya berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng.
“Tapi kami memproteksi sekali, misal penggunaan area (bangunan) hanya 30 persen. Kami punya sumber air debitnya besar yang diproteksi dengan menanam pohon, subak, distribusinya dilakukan dengan baik. Semua masih terjaga, ada regulasi dan tradisi yang kuat,” paparnya.
Investor berusaha masuk untuk menguasai lahan dengan aturan mainnya sendiri, namun dengan regulasi yang ada, misal warga negara asing tidak boleh memiliki lahan melebihi batas, atau kamar hotel jumlahnya sudah ditentukan oleh regulasi.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batu, Budi Santoso setuju dengan adanya regulasi melindungi lahan pertanian atau sekitar sumber air dan hal itu nantinya bisa diadopsi di Batu.
“Sewaktu saya menjadi kepala Bappeda, saya sudah membuat regulasi, bahwa hutan di Kota Batu harus menjadi hutan lindung, supaya tidak dirusak. Dan untuk pariwisata, perlu perhitungan kapasitas ketersediaan air dengan wisatawan yang datang,” katanya.
Sementara itu, Sejarawan dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengutarakan, Kota Batu memiliki prasasti-prasasti yang berhubungan dengan sumber air. Ia mencontohkan, sumber air di Candi Songgoriti, sekarang partirtannya sudah hilang karena air dialirkan ke hotel.
Partirtan lainnya adalah Desa Beji, Dusun Jeding. Di Jeding partirtannya hampir hilang. Desa Sumberbrantas menjadi petunjuk adanya sumber air Brantas. Brantas bukan hanya penting bagi Batu, tapi juga daerah yang ada di sekitarnya.
“Prasasti lainnya adalah nama Dusun Toyomerto di Desa Pesanggrahan yang berada di bawah lereng Gunung Panderman. Begitu juga dengan partirtan di Dusun Banyuning. Itu menunjukkan pada kita, pada masa lalu sudah ada penyebaran nama yang menunjukkan di sana ada sumber air,” jelasnya. Surya online Batu.