TEMPO.CO, Batu -
Puluhan mata air di kawasan hulu Sungai Brantas mati. Sebagian lainnya
terus mengalami pengecilan debit. Dalam kurun dua tahun terakhir,
sebelas mata air mengering. Adapun debit 46 mata air yang masih ada
makin menyusut, dari semula 10 menjadi 5 meter kubik per detik.
Masyarakat melakukan reboisasi dan berbagai usaha lain untuk menjaga
kelestarian mata air itu.
"Kelompok masyarakat dan aktivis
lingkungan turut menjaga sumber air," kata warga Bulukerto, Bumiaji,
Kota Batu, Aries Faudzin, Jumat, 7 November 2014. Salah satu caranya
ialah menggalakkan gerakan penghijauan dan menerapkan kearifan lokal
dalam menjaga air, seperti menggelar selamatan sumber air, pagelaran
budaya, kesenian tradisional, dan diskusi dengan pakar lingkungan.
(Baca: Sengketa Mata Air, Warga Menginap di Polres Batu)
Pada
2007, ada 170 mata air di hulu Sungai Brantas. Namun, hanya dalam rentang
waktu setahun kemudian, jumlahnya turun menjadi 111. Pada 2009, tersisa
46. Dari total sumber air di Kota Batu, 30 persen berada di Kecamatan
Bumiaji. Namun belakangan debit mata air itu terus menyusut, termasuk
sumber air Sungai Brantas, yang mengaliri 14 kota dan kabupaten di Jawa
Timur. (Baca juga: Hulu Sungai Brantas Tercemar Limbah Rumah Tangga)
Salah
satu mata air yang masih terjaga adalah Umbul Gemulo di Desa Bulukerto,
Kecamatan Bumiaji, yang memiliki debit 179 liter per detik. Umbul
Gemulo tak hanya menjadi tumpuan hidup bagi enam ribu warga setempat,
tapi juga memasok enam desa lain yang dialiri air dari Perusahaan Daerah
Air Minum Kota Batu.
Kawasan Kota Batu menjadi salah satu kunci
pelestarian sumber air karena berada di lereng Gunung Arjuna dan
Anjasmoro. Data Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur 2010 mencatat Jawa
Timur mempunyai 4.389 mata air yang tersebar di 30 kabupaten. Dari
jumlah tersebut, 109 di antaranya berada di Batu. Namun, debit mata air
di sana terus menyusut dari tahun ke tahun.
Sabtu, 08 November 2014
Jumat, 07 November 2014
Penguasaan Sumber Air Semakin Memprihatinkan
Air menjadi kebutuhan utama manusia. Saat ini,
hampir semua sumber air di wilayah Indonesia mengalami krisis. Bahkan, sekarang
ini tidak ada pulau kecil yang tidak dirusak dan tidak ada pulau terbesar untuk
dirusak.
“Sumber mata air dirusak secara sistematis, mulai
dari pulau paling besar di Kalimantan hingga pulau paling kecil di Sulawesi.
Sekarang air menjadi barang jualan. Sebenarnya air ini menjadi infrastruktur
ekologis supaya kehidupan tetap berlangsung,” Hendro Sangkoyo dari Sekolah
Ekonomika Demokratik Jakarta.
Hendro menyampaikan itu dalam Sarasehan
Pelestarian Lingkungan, "Mari Kita Lestarikan Sumber Mata Air dari Ancaman
Kelestarian Alam" yang digelar Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) di
Pendopo Dusun Cangar Desa Bulukerto, Jumat (7/11/2014).
Ia menambahkan, meski sudah mengalami krisis,
belum ada wacana memproteksi sumbar air dari pulau demi pulau, telah terjadi
kompetisi semakin lama semakin sengit tentang siapa yang berhak menggunakan
air.
“Pengurus publik (Pemerintah) harus mau membaca
lebih cerdas. Krisis ini disebabkan karena kendornya pemeriksaan oleh pengurus
publik. Ini perlu pengurus cerdas yang mampu menegakkan keadilan. Kalau
pengurus publiknya cerdas, tidak perlu ada kriminalisasi, dan banyak elemen
seperti ini,” terangnya.
Sarasehan tersebut juga dihadiri pegiat
lingkungan dari Bali Utara, Komang Armada. Ia menceritakan, di Bali Utara ada
komunitas Catur Desa yang menjaga sumber air dengan regulasi lama.
Menurutnya, musuh masyarakat Bali sebenarnya
pariwisata. Empat desa itu adalah Desa Munduk, Gobleng, Desing, dan Ume Jero.
Keempatnya berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng.
“Tapi kami memproteksi sekali, misal penggunaan
area (bangunan) hanya 30 persen. Kami punya sumber air debitnya besar yang
diproteksi dengan menanam pohon, subak, distribusinya dilakukan dengan baik.
Semua masih terjaga, ada regulasi dan tradisi yang kuat,” paparnya.
Investor berusaha masuk untuk menguasai lahan
dengan aturan mainnya sendiri, namun dengan regulasi yang ada, misal warga
negara asing tidak boleh memiliki lahan melebihi batas, atau kamar hotel
jumlahnya sudah ditentukan oleh regulasi.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batu,
Budi Santoso setuju dengan adanya regulasi melindungi lahan pertanian atau
sekitar sumber air dan hal itu nantinya bisa diadopsi di Batu.
“Sewaktu saya menjadi kepala Bappeda, saya sudah
membuat regulasi, bahwa hutan di Kota Batu harus menjadi hutan lindung, supaya
tidak dirusak. Dan untuk pariwisata, perlu perhitungan kapasitas ketersediaan
air dengan wisatawan yang datang,” katanya.
Sementara itu, Sejarawan dari Universitas Negeri
Malang, Dwi Cahyono mengutarakan, Kota Batu memiliki prasasti-prasasti yang
berhubungan dengan sumber air. Ia mencontohkan, sumber air di Candi Songgoriti,
sekarang partirtannya sudah hilang karena air dialirkan ke hotel.
Partirtan lainnya adalah Desa Beji, Dusun Jeding.
Di Jeding partirtannya hampir hilang. Desa Sumberbrantas menjadi petunjuk
adanya sumber air Brantas. Brantas bukan hanya penting bagi Batu, tapi juga
daerah yang ada di sekitarnya.
“Prasasti lainnya adalah nama Dusun Toyomerto di
Desa Pesanggrahan yang berada di bawah lereng Gunung Panderman. Begitu juga
dengan partirtan di Dusun Banyuning. Itu menunjukkan pada kita, pada masa lalu
sudah ada penyebaran nama yang menunjukkan di sana ada sumber air,” jelasnya.
Surya online Batu.
Langganan:
Postingan (Atom)