Minggu, 23 Maret 2014

Walhi: Malang Sudah Krisis Air



Minggu, 23 Maret 2014 15:49 WIB
SURYA Online, MALANG – Forum Masyarakat Peduli Mata Air menggelar aksi bisu untuk mengingatkan pentingnya menjaga sumber mata air bagi manusia.  Aksi yang diikuti oleh 20 pemuda ini berlangsung di Jalan Trunojoyo, depan Stasiun Kota Malang, Minggu (23/03/2014) siang.
Dalam aksi tersebut, para pemuda ini melakukan aksi diam sembari memegang berbagai poster yang mengkritik eksploitasi sumber-sumber mata air oleh pembangunan. Mereka juga mengkritisi Pemerintah Kota Batu yang seakan tutup mata  dengan  polemik sumber mata air Gemulo.
Bunyi dari poster itu antara lain, Selamatkan sumber mata air kami, Cermin Pemkot Batu Yang Diam Dalam Penyelesaian Sumber Umbul Gemulo Kota Batu, Air untuk kehidupan, dan lainnya.
Tidak hanya itu, para pemuda ini juga menyebarkan pamflet provokatif pada para pengguna jalan yang menyebutkan 17 dari 111 sumber mata air di Kota Batu sudah tak berfungsi.
“Kami ingin menyampaikan pesan agar sumber mata air yang masih berfungsi sekarang supaya dilindungi, sebab keberadaan sumber mata air itu sangat penting bagi kita,” kata Kordinator aksi, Aris Faudin (26) pada SURYA, Minggu.
Pria yang akrab disapa Kentung ini menjelaskan, aksi mereka ini juga dalam rangka hari air sedunia yang jatuh pada Sabtu (22/03/2014) lalu.
Selain itu, aksi ini juga memberi dukungan moril pada warga sekitar sumber mata air Gemulo Kota Batu yang kini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Malang, untuk melindungi keberadaan sumber mata air tersebut.
“Kami berharap pemerintah tidak menutup mata dengan adanya kasus ini, apalagi dalam kurun waktu lima tahun terakhir banyak sumber mata air yang mengalami penyusutan debitnya,” kata Kentung.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim, Rere Christanto menambahkan jumlah dan debit sumber mata air di Kota Batu mengalami penyusutan selama sepuluh tahun terakhir.
“Kita ini sudah krisis air karena banyak sumber mata air yang mengalami penurunan debit,” kata Rere, Minggu siang.
Dari pengamatannya, dari jumlah total 111 sumber mata air yang tercatat hanya lima titik saja yang masih normal. Sementara sisanya, mengalami penyusutan debit atau bisa dibilang kritis.
Begitu juga dengan kondisi 873 titik mata air di Kabupaten Malang yang menurut catatan Walhi, ada sepertiga dari jumlah keseluruhan sumber mata air yang mengalami penurunan debit.
“Padahal sumber-sumber mata air tidak hanya menghidupi warga Kota Batu dan Kabupaten Malang saja, warga Kota Malang juga membutuhkannya,” kata Rere.
Rere menjelaskan PDAM Kota Malang sampai saat ini masih mengimpor air dari tujuh sumber mata air di Kota Batu, dan Kabupaten Malang. Tujuh sumber mata air itu adalah Sumber Mata Air Wendit, Karangan, Binangun, Banyuning, Supit, Urang, Dieng dan Candi Badut. Sumber-sumber ini digunakan untuk mengaliri 98.000 pelanggannya.
“Jadi masalah ini juga mencakup seluruh warga Malang Raya,” kata Rere.
Karena itu Rere mengajak masyarakat dan Pemerintah se Malang Raya untuk peduli dengan kondisi tersebut, termasuk menyediakan ruang terbuka hijau yang cukup, serta menolak pembangunan pada wilayah lindung, tempat sumber mata air itu berada.

Kamis, 20 Maret 2014

Kalau Hotel Hendak Dibangun di Atas Sumber Air Warga yang menolak dilaporkan ke polisi. Saling gugat ke pengadilan.


Jum’at, 14 Maret 2014 


Hukum Online.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kedatangan sejumlah warga asal Batu Malang, Jawa Timur, Kamis (13/3) kemarin. Warga menyampaikan pengaduan tentang kisruh pembangunan sebuah hotel di kota berhawa dingin itu. Warga tak terima pembangunan hotel akan menutupi mata air Umbul Gemulo, karena menjadi sumber air warga selama ini.

Haji Rudi, salah seorang anggota Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA), menjelaskan sumber mata air akan terhenti dan tak bisa dinikmati warga jika pembangunan hotel dan resort dilanjutkan. Karena itu, ia meminta Komnas melakukan upaya agar pembangunan dihentikan.

Rudi boleh berharap, tapi kasus ini belum menunjukkan babak akhir. Apalagi berkaitan dengan gugatan yang masuk ke pengadilan, dan pelaporan ke polisi. Warga yang protes juga sudah mengadu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Ombudsman Republik Indonesia. Pengaduan ke Komnas HAM semakin meneguhkan keinginan warga agar ada tindakan nyata kepada pengambilan kebijakan.

"Kami harap Komnas HAM memberikan teguran kepada Walikota Batu agar
menjalankan rekomendasi Ombudsman, KLH dan Komnas HAM," kata Rudi di kantor Komnas HAM, Jakarta.

Anggota FMPMA dari desa Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu, Malang, Arief Nugroho, mengatakan sumber air itu sangat penting bagi warga untuk berbagai keperluan. "Kami berharap Komnas HAM membantu perjuangan warga yang sudah berjuang tiga tahun. Dan dapat membantu kami mempertahankan sumber air Umbul Gemulo," harap Arief.

Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Munhur Satyahaprabu, menjelaskan Haji Rudi telah dilaporkan pidana oleh pemilik hotel. Dia dituduh mencuri lima batu kecil dan pengrusakan karena memindahkan lima kantong semen sejauh lima meter. Rudi juga dituduh melakukan perbuatan melawan hukum karena bertindak sebagai koordinator warga yang mempertahankan sumber air Umbul Gemulo berkirim surat ke berbagai lembaga negara seperti KLH dan Komnas HAM. Saat ini prosesnya sampai pada pemanggilan beberapa warga sebagai saksi oleh Polres Batu atas laporan pemilik hotel.

Ironisnya, Polres Batu menolak laporan warga terhadap pemilik hotel
yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Kepolisian berdalih bukti yang diajukan warga
dianggap tidak kuat. Selain itu secara perdata Munhur mengatakan Rudi
digugat Rp30 milyar oleh pemilik hotel. Namun warga sudah melakukan
gugatan balik kepada pemilik hotel dan menuntut Rp308 milyar.

Mengacu kondisi itu Munhur menilai warga yang memperjuangkan sumber
air Umbul Gemulo rentan terhadap tuntutan hukum dan berpotensi menjadi
korban peradilan serta pelaporan sesat. Oleh karenanya Komnas HAM
diminta untuk melakukan perlindungan hukum terhadap warga. Misalnya,
Komnas HAM harus menyampaikan pendapatnya (amiccus curiae) secara
aktif di PN Malang tentang pembangunan hotel itu dan dampaknya
terhadap lingkungan.

"Sangat bagus kalau ada pendapat Komnas HAM sebagai sahabat pengadilan
menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk memperjuangkan lingkungan
hidup," ujar pria yang melakukan pendampingan terhadap warga yang
mempertahankan sumber mata air Umbul Gemulo itu.

Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila, berjanji akan segera melayangkan surat kepada Kapolres Batu, Kapolda Jawa Timur dan Kapolri. Komnas HAM berpendapat warga yang memperjuangkan lingkungan hidup, seperti
sumber mata air, tidak boleh dikriminalisasi. Tak ketinggalan Laila akan mendesak kepolisian untuk menerima laporan warga atas dugaan pencemaran lingkungan hidup sebagai kasus pidana. Menurutnya kepolisian tidak boleh menolak laporan warga, apalagi alasannya tidak cukup bukti. Baginya, menilai kuat atau tidaknya bukti bukan ranah kepolisian tapi majelis hakim di pengadilan.

Untuk menyampaikan pendapat (amicus curiae) di pengadilan terkait kasus pidana dan perdata yang menjerat warga yang mempertahankan sumber mata air Umbul Gemulo, Laila mengatakan hal itu akan dilakukan. Namun, kuasa hukum warga harus memastikan majelis hakim di pengadilan menyetujui amicus curiae.

Sebab, tidak semua hakim di pengadilan bisa menerima  amiccus curiae.
Ketidakseragaman dalam menerapkan amicus curiae di pengadilan menurut
Laila disebabkan oleh ketiadaan peraturan Mahkamah Agung (MA).
Khususnya yang mengatur tentang standar penerapan amicus curiae di
pengadilan.

Meskipun hakim menolak amicus curiae, Komnas HAM tetap melayangkan pendapatnya itu secara resmi ke pengadilan yang bersangkutan. "Soal amicus curiae Komnas HAM tidak keberatan karena itu amanat UU dan Komnas HAM
berkewajiban untuk menjalankannya," tegasnya.

Menambahkan Laila, komisioner Komnas HAM yang terjun ke lapangan mengurusi kasus sumber mata air Umbul Gemulo, Imdadun Rahmat, menyatakan prihatin atas persoalan yang dihadapi warga. Sebab sudah bertahun-tahun warga berupaya menuntaskan masalah itu tapi sampai sekarang belum membuahkan hasil seperti harapan.

Dari mediasi yang pernah dilakukan Komnas HAM tahun lalu dan menghadirkan para pihak seperti Pemkot Batu, pemilik hotel dan warga, Imdadun mengatakan ada hasil berupa kesepakatan. Diantaranya pemilik hotel menghentikan pembangunan dan warga tidak melakukan aksi yang mengarah pada kekerasan.

Namun kesepakatan itu tidak berjalan lancar karena beberapa waktu berselang, saat Imdadun memantau lokasi terjadinya peristiwa, pemilik melanjutkan pembangunan hotel. Ditambah lagi sikap Pemkot Batu yang dianggap tidak serius menuntaskan masalah itu dan terkesan cuci tangan. Padahal, persoalan sesungguhnya terletak pada IMB yang diterbitkan Pemkot Batu kepada pemilik hotel. Dengan mengantongi IMB, pemilik merasa berhak membangun hotel di atas sumber mata air Umbul Gemulo.

Menilai hasil mediasi itu tidak seperti harapan, Imdadun berjanji akan menempuh upaya yang lebih keras untuk menyelesaikan masalah tersebut. Yaitu akan melakukan pemanggilan terhadap Pemkot Batu, Malang ke Komnas HAM. "Kalau tidak datang kami minta pengadilan melakukan pemanggilan paksa," pungkasnya.

 

WARGA UMBUL GEMULO PERJUANGKAN SUMBER MATA AIR HINGGA KE JAKARTA



PERS RELEASE
FORUM MASYARAKAT PEDULI MATA AIR (FMPMA)
WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)
Sejak selasa (11/03/2014), 15 warga dari desa Bulukerto dan Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo, Kecamatan Batu yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) mendatangi kota Jakarta untuk menemui beberapa pihak terkait demi memperjuangkan kelestarian sumber mata airnya yang tengah terancam akibat pendirian hotel didekat sana. Menurut rencananya, dalam aksinya kali ini, mereka akan mendatangi DPP PDIP terkait ketidakpedulian walikota Batu, Edi Rumpoko yang menjadi walikota melalui partai tersebut atas nasib sumber mata air Umbul Gemulo. Selain itu, warga juga akan mendatangi Komnas HAM untuk menagih rekomendasi Komnas HAM atas kasus Umbul Gemulo yang telah lama dilaporkan warga kepada mereka. Kemudian warga juga akan melaporkan kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman terkait tidak dilaksakannya rekomendasi yang sudah diturunkan oleh kedua lembaga tersebut atas konflik sumber mata air Umbul Gemulo.  Aksi ini merupakan kelanjutan karena setelah sampai batas akhir pelaksanaan rekomendasi dari instansi-instansi negara tersebut, pihak Pemerintah Kota Batu tidak melaksanakan satupun tindakan yang diamanatkan dalam rekomendasi tersebut.  
H. Rudi, Perwakilan FMPMA dari desa Bulukerto menyatakan bahwa keinginan warga menemui Ketua Umum PDI-P, Megawati karena Edi Rumpoko yang menjadi Walikota Batu dari partai tersebut dianggap tidak peka terhadap persoalan rakyat. Sebagai kader partai yang selama ini mengedepankan kader-kadernya yang menjadi pemimpin daerah lain seperti Jokowi dan Tririsma Harini di Jakarta dan Surabaya yang dianggap berhasil melakukan pendekatan terhadap masyarakat dan peduli terhadap lingkungan hidup, DPP PDI-P harus menegur kadernya yang membiarkan wilayah dan rakyatnya mengalami ancaman krisis ekologis
“Selama ini PDI-P mencitrakan dirinya sebagai partainya wong cilik, dan peduli terhadap kelestarian lingkungan. Karena itu, mereka harus tahu keberadaan kadernya di Batu yang bukannya membantu warga yang peduli terhadap lingkungannya, tapi malah membiarkan pembangunan hotel yang akan merusak sumber mata air yang selama ini digunakan 9 ribu jiwa untuk kehidupan mereka. Kader-kader seperti ini kalau didiamkan oleh Megawati, maka akan merusak citra partainya sendiri” terang H. Rudi.
Lebih lanjut, pria yang tengah menghadapi gugatan perdata pihak hotel The Rayja senilai 30 Milyar karena dianggap menghalang-halangi pembangunan hotel tersebut menegaskan bahwa aksi yang dilakukan oleh warga yang tergabung dalam FMPMA adalah aksi mempertahankan keselamatan lingkungan hidupnya, dan karenanya tindakan pembiaran yang dilakukan oleh Pemkot Batu dan arogansi Pihak The Rayja yang mengitimidasi warga dengan bentuk gugatan perdata harus dilawan jika masyarakat tidak ingin kehilangan sumber mata air Umbul Gemulo.
“Kami tidak akan membiarkan lingkungan kami dihancurkan dengan dalih pembangunan dan investasi. Kalau sumber Umbul Gemulo rusak karena pembangunan The Rayja, maka kami sebagai warga masyarakat yang pertama akan merasakan akibatnya. Karena itu kami mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam hal ini. Pemerintah Kota Batu ini dibentuk untuk melindungi dan mensejahterakan warganya bukan untuk melindungi kepentingan pemodal yang nyatanya malah merusak dan menghancurkan kelestarian lingkungan”  tutur H. Rudi.
Setelah mendatangi DPP PDI-P, warga juga berencana mendatangi Komnas HAM. Warga dari desa Sidomulyo, Zaenal Arifin menerangkan bahwa warga kedatangan warga ke Komnas HAM adalah untuk menagih janji Komnas HAM yang akan menurunkan rekomendasi mereka terkait kasus sumber mata air Umbul Gemulo. Untuk diketahui, bahwa Komnas HAM telah menurunkan tim untuk melakukan kajian terhadap kasus Umbul Gemulo sejak April 2012, namun hingga sekarang rekomendasi terkait kasus ini belum juga diturunkan. Komnas HAM juga telah melakukan mediasi antara warga dan pihak hotel The Rayja serta Pemerintah Kota Batu pada 12 Februari 2013, yang mana salah satu poin pertemuan yang menyatakan bahwa hotel The Rayja hanya boleh melakukan pendirian pagar, hasil tersebut pada akhirnya juga dilanggar, karena nyatanya hotel The Rayja terus melakukan pembangunan hingga sekarang.
“Komnas HAM ini kan salah satu lembaga yang pertama kali mendatangi warga terkait kasus Umbul Gemulo, namun hingga sekarang belum juga memberikan rekomendasinya, sementara lembaga lain seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman sudah mengeluarkan rekomendasinya. Kami ingin mempertanyakan lagi kepada Komnas HAM, mengapa mereka belum juga mengeluarkan kebijakan ataupun rekomendasi tersebut” tanya Zaenal.
Selain itu, warga juga akan mendatangi Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman yang sebelumnya telah mengeluarkan rekomendasi terkait pendirian hotel The Rayja di Kota Batu.  menyatakan bahwa tindakan Pemkot Batu yang tidak mengindahkan rekomendasi KLH dan Ombudsman dalam kapasitasnya sebagai lembaga resmi negara adalah tindakan pembangkangan aparatur daerah, karenanya warga bermaksud mengingatkan kembali bahwa Walikota Batu sebagai pengelola pemerintahan daerah seharusnya taat hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk diketahui, Pada 28 Agustus 2013, Kementrian Lingkungan Hidup mengeluarkan rekomendasi terkait kasus sumber mata air Umbul Gemulo, dimana rekomendasi KLH tersebut memerintahkan penghentian pembangunan Hotel The Rayja sebelum dipenuhinya dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)  karena pembangunan The Rayja dianggap mengancam keselamatan sumber mata air Umbul Gemulo yang selama ini telah menjadi sumber air bersih warga. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2013 Ombudsman mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan bahwa Kepala Kantor Perijinan Terpadu Kota Batu harus diberi sangsi atas tindakannya memberi ijin pembangunan Rumah Peristirahatan dan Resort The Rayja. Kedua Rekomendasi tersebut hingga sekarang tidak dijalankan oleh Pemerintah Kota Batu.
Jumadi, perwakilan warga dari desa Bumiaji mengatakan bahwa Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman harus mengambil tindakan tegas terhadap pembangkangan yang dilakukan Pemerintah Kota Batu dan Hotel The Rayja terhadap isi rekomendasi tersebut.
“Kalau Walikota tidak mentaati rekomendasi KLH dan Ombudsman, ini sama saja mereka sedang mendirikan negara dalam negara. Mereka jelas-jelas melakukan pembangkangan terhadap institusi negara yang sah. Surat KLH dan Ombudsman sudah menunjukkan begitu banyak aturan lingkungan hidup dan tata ruang yang dilanggar dalam pembangunan The Rayja dan meminta pembangunannya dihentikan , Mengapa Walikota masih membiarkan mereka melakukan pembangunan? KLH dan Ombudsman harus bertindak, pembangkangan Pemkot Batu dan The Rayja harus segera dihentikan” tegas Jumadi.
Kegelisahan warga di sekitar sumber mata air umbul Gemulo akan ancaman kerusakan lingkungan di wilayahnya bukan sesuatu yang tidak berdasar. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menemukan bahwa kerusakan lingkungan di wilayah Malang Raya telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Konfigurasi titikmata air dan kebutuhan mata air di Malang Raya menunjukkan kecenderungan kritis. Kabupaten Malang misalnya,  memiliki 873 sumber air dengan debit airnya bervariatif antara 1 liter perdetik – 4 ribu liter perdetik. Tahun 2008 tercatat sepertiga dari sumber air yang ada mengalami penurunan debit air.
Sementara itu, untuk keberadaan sumber mata air di kota Batu, dari sebelumnya tercatat ada 111 titik kini telah mengalami kemerosotan. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat ini tinggal 28 titik. Sedangkan di Kecamatan Batu, dari 32 sumber air, kini tinggal 15 titik. Sementara itu sumber air di Kecamatan Junrejo, dari 22 titik sumber mata air, kini tersisa 15 titik.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim, Rere Christanto menyebut bahwa data-data tersebut menunjukkan kegagalan Pemerintah Kota Batu menjaga keseimbangan ekosistem wilayah kota Batu. “Tindakan ini tidak bisa dibiarkan, sementara usaha pemulihan lingkungan tidak pernah dipikirkan, Pemerintah Kota Batu malah memfasilitasi penghancuran lingkungan secara lebih luas. Kalau Pemkot Batu terus tutup mata terhadap fakta kerusakan yang sudah nampak jelas ini, maka ini adalah indikasi yang nyata bahwa pemerintahan ini tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan” tegas Rere.
Sementara itu, Manajer Hukum dan Kebijakan Eksekutif Nasional WALHI, Muhnur Satyahaprabu mengingatkan bahwa pembangunan dan investasi yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan akan mempercepat bencana ekologis seperti yang sekarang tengah mengancam banyak wilayah di Indonesia
“Pemerintah Kota Batu harus belajar dari banyaknya bencana ekologis yang menimpa wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kalau Pemkot Batu membiarkan ketidaktaatan terhadap tata ruang, pengalihfungsian wilayah-wilayah serapan, serta penghancuran sumber mata air dan kerusakan keseluruhan ekosistem terus berlarut-larut, maka sesungguhnya Pemkot Batu tengah menggiring warganya menuju bencana yang lebih besar” terang Muhnur yang turut mendampingi warga dalam aksi ini.
Lebih lanjut Muhnur menyatakan bahwa pemaksaan pembangunan Rumah Peristirahatan dan Resort The Rayja yang mengancam keberlanjutan terhadap hak rakyat atas air adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusi warga dan hak asasi manusia. “Pemerintah harus bertindak tegas! Hentikan pembangunan yang jelas-jelas mengancam keselamatan rakyat. Jangan lagi menjadikan masyarakat sebagai tumbal investasi” tegas Muhnur.