Sabtu, 25 Mei 2013

Kota Batu membutuhkan Satriyo Piningit Penyelamatan Lingkungan



PENYELAMATAN LINGKUNGAN: MENIMBANG ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL (OMS) SEBAGAI SATRIYO PININGIT? Oleh: Rachmad K. Dwi Susilo, MA
oleh Rachmad K Dwi Susilo (Catatan) pada 26 Mei 2013 pukul 8:45
PEMBANGUNAN pariwisata diKota Batu berjalan tanpa dikawal oleh pemikiran kritis dan berjalan tanpakontrol masyarakat. Seiring munculnya tempat-tempat wisata baru dan wisatawan yang berbondong-bondong di kota ini, beberapa kasus terkait lingkungan terjadi,sebagai berikut. Bersama dengan masyarakat sekitar Museum Satwa, OMS Fokal Mesra menentang pemanfaatan air bawah tanah (ABT) yang dikuatirkan mematikansumber air yang dimanfaatkan warga. Selain itu, ditemukan perijinan sebelumsosialisasi berdirinya Museum Satwa (Koran Rakyat Cyber, 28 Oktober 2009).Kemudian, konflik pengelolaan air, yaitu masyarakat menuntut kemandirian dalammengelola sumber daya air di sekitar mereka, Masyarakat Desa Pandanrejo yangkeluar sebagai anggota PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dengan mendirikanorganisasi berbasis komunitas (Susilo, Rachmad K Dwi, 2010). Sementara itu,Komunitas Merah Putih melakukan kritik simbolik kepada Pemerintah Kota, DPRDdan pengusaha di Kota Batu dengan memberikan 70 bibit pohon agar ditanam (Mediaonline, Bhirawa, 18 Januari 2010).
 
Kemudian, yang masih menjadi persoalan lingkungan sampai hari ini, penolakan masyarakat Dusun Cangar, DesaBulukerto  dan Desa Bumiaji yang tergabung dalam FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air) terkait pembangunan  hotel yang berada dekat Sumbermata Air Umbulan Gemulo. Persoalan resiko yangmengancam keberadaan sumber air dan proses perijinan yang tidak mengikutsertakan masyarakat pemakai sumber air yang menjadi isu menggelinding sampai sekarang.

Pembangunan pariwisata ketika berubah menjadi ideologis sesungguhnya akan melahirkan setidaknya dua resiko, yakni resiko lingkungan dan resiko sosial. Resiko lingkungan yakni daya dukung lingkungan yang terancam rusak dan perubahan tata lingkungan yang tidak memihak kepada keberlanjutan (sustainability). Sementara itu, secara sosial muncul kegelisahan masyarakat karena lingkungan dansumber daya alam di sekitar mereka dieksploitasi besar-besaran. Lahirnya pro-kontra masyarakat juga rentan melahirkan konflik-konflik sosial antar dusun dan  antar desa. Terkait dengan kondisi sosial politis lain, yakni kepemilikan industri pariwisata. Bisa dikatakan bahwa kondisi pariwisata di Kota Batu, merupakan pariwisata yang belum berbasis masyarakat, tetapi monopoli orang-orang tertentu. Kondisi semacam ini nantinya yang melahirkan gerakan-gerakan perlawanan.
Pembangunan dipraktekkan untuk menghasilkan pendapatan semaksimal mungkin. Tindakan ini seperti imperalis yangmengeruk keuntungan tanpa menyisakan untuk harmoni dan kelestarian dengan alam.Seandainya dilakukan konservasi lingkungan tidak lebih dari shallow ecology, dimana menempatkan lingkungan sebagai instrumen untuk mencari tujuan lain. Disinilah, lingkungan bukan untuk lingkungan atau bukan untuk kemaslahatan rakyat, melainkan untuk pembangunan (ecodevelopmentalisme).  Hal ini tidak lepas dari visi walikota Batu yang membangun tempat-tempat  wisata yang baru. Sampai hari ini tidak ada refleksi yang dilakukan baik masyarakat maupun pemerintah. Perubahan-perubahan lahan dan lingkungan,  seakan-akan  menunjukkan kita, ketidakjelaskan  “blue print”  masa depan.

Disinilah sesungguhnya dibutuhkan kekuatan penyeimbang dari praktek-praktek pembangunan yang dilakukan negara atau dalam bahasa judul di atas sebagai Satriyo Piningit, yaitu pemimpin yang menunggu untuk hadir atau berkiprah dan ketika sudah keluar atau berkiprah membuat perubahan-perubahan penting di masyarakat.  Kelompok ini sanggup mengkritisi kekuasaan negara  ini. Hemat penulis, OMS bisa melakukan itu, mengingat posisi OMS yang berada di luar struktur negara. Bahkan, ia tidak membutuhkan “stempel” negara untuk menjalankan bisnis-bisnis tertentu. Selain itu, sebagai organisasi memiliki kelebihan-kelebihan, seperti dinyatakan  Jayadi, Lutfi J & HestiPuspitosari (2010),  mampu mempraktikkan prinsip-prinsip penting dalam demokrasi lokal, yakni partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Kekuatan masyarakat lokal yang sebenarnya minoritas kreatif bisa diperkuat dalam civil society (masyarakat sipil).  Civil society sebagai segala bentuk kehidupan yang terbuka, berprinsip sukarela dan mandiri (Hadiwinata, BobSugeng, 2005) .  
Bukti-bukti menunjukkan, beberapa catatan OMS terlibat dalam gerakan lingkungan di Indonesia, seperti Victor Silaen (2008) menjelaskan perjuangan masyarakat Batak Toba Samosir yang menolak berdirinya PT Inti Indorayon Utama di Kepulauan itu. Sementara itu, Sobirin (2011) menjelaskan tentang gerakan masyarakat dalam melakukan penolakan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Pati,  gerakantersebut sanggup menggagalkan pembangunan pabrik semen dimana sebelumnya sudah disetujui oleh Gubernur Jawa Tengah.

Konteks Kota Batu
Dalam konteks pembicaraan OMS, di Kota Batu banyak berdiri organisasi berbasis masyarakat (communitybased organization) dimana seharusnya mampu hadir  menjadi representasi masyarakat sipil yang tidak tinggal diam jika terdapat praktek yang menggganggu keseimbangan ekologis di sekitar mereka. Organisasi itu, seperti: HIPPAM. HIPPA, Kelompok tani, Karang Taruna, LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dan lain-lain. Sementara itu, menurut Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur Tahun 2011, disebutkan juga terdapat 12  NGO di Kota Batu.

Pertanyaan kritis kita berikan,  mengapa sejauh ini mereka belum mampu menjalankan kerja-kerja penguatan masyarakat sipil. Belum lahir,  kekuatan masyarakat sipil  yang tangguh untuk kerja-kerja menyelamatkan lingkungan itu. Dimana NGO benar-benar mampu lahir sebagai motor gerakan lingkungan (environmental movement) dengan kelebihan, seperti: informal,struktur organisasi fleksibel dan dukungan kekuatan komunitas.
Para penggiat NGO lokal  belum mampu melepaskan diri dari  kondisi dilematis sistemik yang bisa penulis petakan dalam masalah  utama sebagai berikut, yakni:
A.    Kondisi Internal OMS
1.     Moralitas OMS.
Disinilah, para penggiat NGO menghadapi mentalitas yang belum sepenuhnya satu titik. Multiple orientasi yang tergambar, apakah membangun masyarakat sipil, sebagai pekerjaan demi mendapat penghasilan atau kepentingan mendapat kekuasaan? Bekerja di OMS  sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan-kepentingan tersembunyi itu.  Sebagai akibat dari banyaknya orientasi ini tidak heran jika NGO mudah “ditekuk” dengan janji “proyek” dan pekerjaan.
2.     Lemahnya Ketahanan Ekonomi OMS
Sisi yang tidak menguntungkan dari NGO, di antara lapangan pekerjaan lain,  sebab harus menghidupi sendiri. Sementara itu, pendapatan NGO tidak rutin, serabutan dan bergantung penuh dari pekerjaan-pekerjaan para pendonor. Kondisi ini yang jelas membuat NGO tidak bisa berlanjut (sustainable).  Semangat idealisme tinggi harus berhadapankondisi materiil tanggung jawab pemenuhan kebutuhan ekonomi penghasilan.
3.     Ideologi Perjuangan yang Belum Jelas.
Akibatnya apakah berfikir instrument atau befikir tujuan tidak jelas. Ketidakjelasan ideologi membuat OMS tidak menjadi bagian penting ketika pemerintah melakukan perusakan lingkungan. Pekerja OMS yang harus merangkap pekerjaan-pekerjaan lain. Tidak jarang pekerjaan tersebut kontradiktif.

B.     Kondisi Eksternal OMS
1.     Lemahnya Integrasi OMS.
Baik antar OMS berbasis lokal maupun OMS berbasis nasional, kesemuanya tidak terhubung atau tidak terintegrasi secara baik. Dari pengalaman lapangan, antar tokoh OMS saling memiliki kecurigaan atas manuver OMS lain. Ada yang mengatakan OMS lain itu, “oportunis”  menjual moral bahkan ada yang mengatakan tidak berbuat apa-apa untuk lingkungan tetapi mendapat penghargaan (award).  Relasi OMS dengan pendonor (termasuk didalamnya pengusaha maupun pemerintah) menjadi isu-isu rawan yang dibicarakan.
2.     Agresivitas Pemerintah dalam “membajak” kerja-kerja OMS
Sebagai kelembagaan sebenarnya dinas pemerintah yangmengurusi OMS itu tidak mengatur ketat dari program-Program OMS. Sekalipun, adayang mengatakan bahwa OMS yang tidak terdaftar di Kesbang sebagai OMS illegal.Tetapi, dari strategi walikota di Batu, strategi menekan OMS ada perlu dilakukan. Hasilnya, anggota-anggota OMS bisa diajak bekerja sama dengan pemerintah.
3.     Kegagalan Membangun Demokrasi yang baik
Reformasi dan demokrasi yang menyisakan beragam persoalan ini tenyata juga membawa sesuatu yang tidak menguntungkan bagi keberadaan OMS. Pernyataan, kritik dan cita-cita yang tinggi (ndaki-ndaki) dan tidak diimbangi dengan langkah-langkah nyata membuat masyarakat apatis. Common sense masyarakat  tidak simpatik dengan NGO, sebab langkah riil akan dipertanyakan melalui standar-standar moralitas dimana siapapun akan sulit mencapainya. Disinilah, banyak pihak akhirnya alergi dengan keberadaanNGO tersebut.

C.      Implikasi KeDepan
Kondisi pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan akan merusak kota, ia tidak lagi menciptakan Kota berkelanjutan, bahkan sebaliknya diambang kehancuran.  Eko Budiharjo menyatakan  bahwa Kota Berkelanjutan dicirikan dengan Panca E, yakni Ekology, Economy, Equity, Engagement dan Energy. Sayangnya untuk mencapai kondisi seperti itu, bukan pekerjaan gampang.
Sayangnya, kepentingan ekonomi akan mengalahkan E yang lain-lain dalam jebakan structural dimana NGO tidak berhasil lepas dari itu. Menuntut konsistensi dan kesabaran-kesabaran yang menguras tenaga. Sayangnya, belum ada kelompok reformis yang kuat dan  mampu membawa ke angin perubahan itu. Sekalipun akhir-akhir ini FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air) sedang semangat memperjuangkan penolakan atas Pembangunan Hotel The Rayja yang mengancam keberadaan sumber mata air, tetapi sepanjang kondisi structural OMS tidak bisa diselesaikan secara baik, akhirnya nanti akan berakhir sama. Disinilah bisa dipastikan bahwa kondisi tidak akan semakin baik.

Rachmad K Dwi Susilo, MA. Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 10 Oktober 1974. Riwayat Pendidikan, S-1Jurusan Sosiologi FISIP UNS, Surakarta, (1994-1999)  dan S-2 Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta (2008-2010).  Pada saat kuliah S-2 meniatkan diri untuk mengembangkan  kajian Sosiologi Pembangunan Lingkungan (Sosiologi Ecodelopment). Saat ini sebagai Ketua Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang dan Penangung Jawab Konsentrasi Sosiologi Lingkungan.
Buku-Buku yang telah dipublikasikan yaitu Integrasi Ilmu Sosial, Memadukan Ilmu Sosial Tiga Peradaban (2005), Sosiologi Kependudukan, Pemikiran Teori dan Analisa Sosiologis Di Balik Fenomena Kependudukan (2006),  Memahami Kecerdasan Orang-Orang Sukses : Refleksi Sosiologis Orang-Orang Ternama dalam Mensiasati Hidup (2007),  20 Tokoh Sosiologi Modern (2008), Sosiologi Lingkungan (2008), Jangan Goblok Melakoni Hidup (2010), Co-management Air Minum untuk Kesejahteraan Masyarakat (2011) dan Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam : Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir (2012)..
Untuk menguatkan kompetensi Sosiologi Lingkungan, beberapa karya ilmiah telah dihasilkan seperti : Hasil-hasil penelitian yakni Perspektif  Ekologis Para Kyai (Studi Eksploratif tentang Perspektif  Ekologis para Tokoh-Tokoh Agama diKota Malang), Pola-Pola Gerakan Lingkungan untuk  Menyelamatkan Hutan (Studi Eksploratif  tentang Pola-Pola Gerakan Lingkungan di Kota Batu) dan Model Demokratisasi Pengelolaan Air Minum Desa berbasis Resolutif & Transformatif untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Sementara itu, artikel-artikel ilmiah yang ditulis, seperti :  Masyarakat Beresiko (The Risk Society), Paham Antroposentrisme dan Krisis Lingkungan Kita, Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 19  Januari 2005,  Masyarakat Pesisir dalam Ancaman Global Warming (Jurnal Transisi, 2010), Co-Managementsebagai Strategi Pengelolaan Alternatif Pembangunan Peka  Konflik (Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 5 Agustus 2010),  Demokratisasi dan Ruang Publik dalam Pengelolaan Lingkungan (Kontributor dalam buku Demokrasi, Civil Society dan Globalisasi) dan Mempresentasikan Artikel berjudul “ Analisa dan Strategi Penanganan Konflik Lahan Konservasi di Sumber Umbulan Gemulo Kota Batu” dalam Konfrensi I Asosiasi Pengelola Program Studi Sosiologi (APSSI) diUniversitas Sriwijaya, Palembang (2013).
Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, yakni menginisiasi beberapa kegiatan, yaitu  seperti Roadshow Sosiologi Peduli Lingkungan SMU se-Malang Raya, Pendampingan administratif & kelembagaan HIPPAM Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji Kota Batu, Inisiator Peace on Green : Penanaman 100 Pohon di Sumber Precet antara mahasiswa FISIP UMM dengan Kelompok Tani di Sumber Precet, Batu, Pendampingan Program Sampah Berbasis Komunitas di Desa Pandanrejo, Kota Batu. Kemudian, bersama In-Trans Institute memfasilitasi kegiatan Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Dinoyo untuk menghentikan Pembangunan Mall yang dilakukan Pemkot Malang.
Kemampuan dan ketrampilan Sosiologi diperkuat dengan karya-karya data base, seperti:Survei Sosiologi Politik dan Pembangunan di Kota Batu (2006),  Survei Potensi Sosiologis Pemerintahan dan Pembangunan  Kota  Malang (2006) dan Profil HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) se- Kota Batu.  Sedangkan, pengembangan dunia kepenulisan dibuktikan dengan menjadi pembicara pada acara-acara bedah buku,  Workshop Penulisan  “Rebut Perubahan dengan Menulis” (2010),  Pelatihan Penulisan untuk Penerbitan Buku Ajar (2011) dan Workshop Penulisan Buku ilmiah Populer.


Selasa, 21 Mei 2013

Lawan warga Umbulan Gemulo, Hotel The Rayja menang.



The Rayja Ambil Air dari Sumber Ngesong
Senin, 20 Mei 2013 20:57 WIB  Editor: Parmin | Reporter : Iksan Fauzi  
SURYA Online, BATU  -  Pemerintah Kota (Pemkot) Batu menegaskan, warga yang hidup sekitar sumber air Umbul Gemulo tidak perlu resah terhadap pembangunan The Rayja Hotel di Jl Raya Punten. Pasalnya, pihak The Rayja sudah mengantongi izin pembangunan resmi, dan berjanji tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap sumber Gemulo seperti yang dikhawatirkan warga selama ini.

Penegasan itu diungkapkan Kepala Bagian Humas Pemkot Batu, Ismail A Gani kepada wartawan usai klarifikasi kepada pemilik The Rayja, Willy Suhartanto, di ruangnya, Senin (20/5/2013). Ismail mengungkapkan itu setelah membaca di media massa terkait kehadiran Komnas HAM yang meninjau lokasi pembangunan The Rayja pekan lalu.

“Saya minta penjelasan kepada Pak Willy sebagai pemilik atas persoalan pembangunan The Rayja dan sumber air Gemulo,” ujar Ismail.

Menurut Ismail, pihak The Rayja telah mengantongi izin Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) yang dikeluarkan Kantor Lingkungan Hidup (KLH) pada Maret 2012. Serta Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Agustus 2012 lalu.

Ia menambahkan, berdasarkan pernyataan Willy, The Rayja tetap dibangun empat lantai dan tidak mengambil air dari sumber Gemulo, melainkan akan mengambil air melalu Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (Hippam) dari sumber air Ngesong.

Sementara itu, ketika pemilik The Rayja, Willy Suhartanto menolak memberikan keterangan kepada wartawan mengenai konfliknya dengan warga. Willy yang keluar dari ruang Kabag Humas langsung menuju mobilnya. “Tidak…tidak…tidak usah saya,” ujarnya.  

Minggu, 12 Mei 2013

Persoalan Pengembangan Modal Sosial pada Pengelolaan HIPPAM Berbasis organisasi Lokal



PERSOALAN PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL PADA PENGELOLAAN
SUMBER DAYA AIR MINUM BERBASIS ORGANISASI LOKAL
Oleh: Rachmad K Dwi Susilo



ABSTRACT

Today, the water crisis has become a prevalent issue in both rural and urban areas. Humans have been the cause of destruction of water sources, because they are the main user of water resources. So far, humans consume more than conserve.  As a result, developing a state-based reources management (SBRM), community-based resources management (CBRM) and co-management. In fact, water resources management system that promotes exploitation has failed to balance the economic, social and ecological interest.
In this context, social capital needs to be developed. Many benefits can be obtained if the social capital developed in the local organization of water resource managers, such as the utilization of water resources, the establishment and development of local organizations, respect for local wisdom, safety valve face inequality water supply dan safety valve for water scarcity in the community. Meanwhile, various problems that arise in developing social capital, namely: not optimal empowering social capital for community development and the destruction of social capital as a result of an outside force which intervening the community. More than factors that cause it, such as: the dominance of paternalistic culture, the dominant role of government and the lack of proper empowerment model.


       I.            PENDAHULUAN
Hampir merata terjadi semua belahan dunia, krisis pasokan air minum telah mengancam masyarakat, baik pada masyarakat kota maupun masyarakat desa. Khusus masyarakat desa ironis memang, krisis air  justru terjadi di lokasi dimana letaknya berdekatan dengan sumber air. Faktor alam dan manusia yang menjadi  penyebab krisis lingkungan itu. Daya dukung lingkungan dirusak karena pemanfaatan air tidak bertanggung jawab. Daya dukung lingkungan yaitu kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya (UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Ketika pemanfaatan dan perusakan mengganggu daya dukung lingkungan tersebut maka yang terjadi ketidakseimbangan ekosistem.
Sementara itu, manusia berperan sangat penting, sebab ia pengguna utama dari sumber daya air ini. Baik untuk keperluan hidup sehari-hari seperti air minum, mandi, mencuci, memasak, membersihkan rumah sampai untuk kepentingan bisnis atau kepentingan “menguangkan” sumberdaya air itu, seperti: memelihara ikan, mengairi kebun, tempat-tempat rekreasi, hotel dan kegiatan bisnis yang lain. Dengan demikian, kebutuhan manusia atas air sesungguhnya berlipat-lipat. Persoalan akan muncul seiring populasi manusia yang kian meningkat dan sulit dikendalikan. Butuh air untuk memenuhi kebutuhan manusia yang baru lahir, maka demi memenuhi kebutuhan pribadi dan kepentingan bisnis tersebut eksploitasi dan perusakan-perusakan sumber air terjadi.
Tindakan manusia lebih banyak mengkonsumsi dari pada mencegah dan memulihkan atau dalam istilah yang populer selama ini disebut mengkonservasi. Sekalipun sudah diingatkan melalui terjadinya bencana alam seperti amblesan tanah, penurunan muka air tanah, keringnya sungai dan waduk, tetapi “nafsu” merusak manusia tetap tidak bisa dikendalikan.
Negara dan pelaku bisnis swasta sebagai aktor-aktor pengelola sumber daya air menerapkan bentuk pengelolaan berbasis negara (state based resources management), sementara itu masyarakat lokal memilih, antara: pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas (community based resources management) dan co-management. Sistem pengelolaan berbasis negara mendasarkan pada otoritas negara dan pengelolaan sumber daya ini dengan melibatkan semua perangkat birokrasi. Negara bisa bekerja sama dengan perusahaan swasta atau pebinis sumber daya alam untuk mengolah sumber daya alam. Sedangkan, pada pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas maupun co-management menuntut keterlibatan komunitas lokal.
Jika pada pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas, air betul-betul  murni dikelola oleh, dari dan untuk komunitas, sedangkan pada co-management air tidak hanya diperuntukan komunitas, tetapi mengundang keterlibatan banyak pemangku kepentingan (stakeholders), apakah negara maupun pelaku bisnis sumber daya alam. Pada co-management dirumuskan pengelolaan bersama atau joint management.
Hal yang patut diperhatikan bahwa semua sistem yang mempraktekkan eksploitasi sering gagal menyeimbangkan prinsip-prinsip keseimbangan antara kepentingan ekonomi (bisnis), kepentingan sosial dengan kepentingan lingkungan. Pada titik inilah perlu digali potensi-potensi di dalam masyarakat agar sumber daya air ke depan bisa diselamatkan. Hemat penulis, salah satu yang bisa dilakukan yakni pengembangan modal sosial (social capital).
Secara lebih khusus, modal sosial menunjuk pada lembaga-lembaga, hubungan-hubungan dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial antarorang (Grootaert & Bartelaer dalam Ali Kasim Abu & Mansor, Ahmad Ezanee, 2009).
Persoalan hari ini, ketika aktor- aktor agresif dalam mengambil keuntungan sumber air, menyebabkan keberadaan modal sosial semakin merosot. Modal sosial yang telah tertata baik kemudian mengalami defisit. Ia tidak berkembang untuk mendukung pembangunan masyarakat, tetapi rusak oleh beroperasinya perusahaan-perusahaan dan praktek pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Kepercayaan dan resiprositas yang berkembang di masyarakat, juga menjadi rusak setelah masuknya para pebisnis atau pelaksana program pembangunan.
Padahal, jika modal sosial bisa dikelola baik sesungguhnya  akan  memunculkan karakter-karakter seperti: kepatuhan pada sistem norma (norms), tata nilai (values), sikap (attitudes), keyakinan (beliefs), budaya bernegara (civic culture), saling percaya (social trust), solidaritas dalam bekerja sama (solidarity cooperation), peran dan aturan main (roles dan rule), jaringan kerja (networks), hubungan interpersonal (interpersonal relationship), tata cara dan keteladanan (procedures and precedents), organisasi sosial (social organization), keterkaitan horizontal dan vertikal (horizontal and vertikal linkages) (Zubaedi, 2007: 195).
Tulisan ini akan menjelaskan tentang persoalan pengembangan modal sosial pada pengelolaan sumber daya air. Untuk mempermudah penjelasan penulis mengangkat organisasi lokal berbasis komunitas. Struktur tulisan, meliputi:  modal sosial sebagai sebuah konsep, bagaimana peran dan persoalan modal sosial pada organisasi lokal pengelola sumber daya air itu.

    II.            KONSEP MODAL SOSIAL
Konsep modal sosial pertama kali dinyatakan Hanifan (1916) dengan  menekankan pada faktor substansi dalam masyarakat, yang antara lain berupa : niat baik (good will), rasa simpati, perasaan persahabatan dan hubungan sosial yang membentuk unit sosial (Ancok, Jamaludin, 2003: 13). Sementara itu, untuk mudah memahami modal sosial dibandingkan dengan modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital), seperti ditampilkan pada tabel sebagai berikut :





Tabel 1
Perbedaan antar Jenis Modal dalam Masyarakat

No.
Ciri-Ciri
Jenis-Jenis Modal
Modal Fisik
Modal Manusia
Modal Sosial
1.
Penyebab terbentuknya
Dibentuk dengan membuat perubahan-perubahan dalam material karenanya menjadi alat yang memfasilitasi produksi
Dibentuk dengan merubah manusia karenanya memberikan ketrampilan-ketrampilan dan kemampuan-kemampuan untuk bertindak dengan cara yang baru
Dibentuk ketika hubungan-hubungan antarorang berubah dalam cara-cara yang memfasilitasi tindakan
2.
Sifat
Benar-benar nyata, terlekat dalam bentuk material yang teramati
Kurang nyata, terlekat dalam ketrampilan dan pengetahuan yang diperoleh individu.
Sangat kurang nyata, karena terlekat dalam hubungan (relation) antarindividu.
3.
Contoh
Tanah, bangunan, peralatan-peralatan, mesin-mesin dan perlengkapan yang menghasilkan lain.
Ketrampilan dan pengetahuan yang disimpan
Sistem kepercayaan timbal balik, potensi-potensi untuk informasi, norma-norma dan sanksi yang efektif, hubungan-hubungan otoritas, organisasi sosial yang sesuai (organisasi sukarela) dan organisasi yang memiliki tujuan/maksud.
Sumber : Coleman, James Samuel, 1994: 304-321

Generasi awal yang mengembangkan konsep modal sosial,  yakni: Pierre Bourdieu, Robert D Putnam dan Francis Fukuyama. Bourdieu menyatakan bahwa modal sosial adalah modal relasi-relasi sosial yang akan menyediakan kalau perlu “dukungan-dukungan yang berguna”. Kemudian ia memperbaiki konsep tersebut dengan menyatakan modal sosial sebagai jumlah sumber daya aktual dan virtual yang berkembang pada individu atau sekelompok individu karena kemampuan untuk memiliki suatu jaringan yang dapat bertahan lama dalam hubungan-hubungan yang lebih kurang telah diinstitusikan berdasarkan pengetahuan dan pengenalan timbal balik (Bourdieu, 1977: 503 dalam Field 2005: 21).
Sementara itu, Robert D Putnam menunjuk modal sosial pada bagian-bagian dari organisasi sosial, seperti: kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat melalui fasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi. Sedangkan, Fukuyama menunjuk modal sosial pada kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Dengan pengertian lain, Fukuyama memberikan batasan modal sosial yaitu sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama (Lawang, 2005:213).
Modal sosial terdiri atas dua unsur, yakni pertama jalinan sosial yang memungkinkan masing-masing anggota dapat berhubungan langsung dengan dan dalam kelompok. Kedua, jumlah dan mutu dari sumber daya anggota kelompok tersebut ( Leksono, 2009: 38). Sebagai hasil dari modal sosial yakni akses pada sumber daya sosial, sumber daya ekonomi dan sumber daya kebudayaan yang didapat lewat hubungan-hubungan sosial.Sementara itu,  James S.Coleman menyatakan bahwa modal sosial sebagai sumber daya struktural sosial dan aset modal untuk individu. Modal sosial merupakan sebuah variasi atas entitas-entitas yang berbeda yang memiliki dua karakteristik umum, yakni:  semua aspek dari struktur sosial dan ia memfasilitasi tindakan-tindakan individu tertentu yang berada dalam struktur sosial (Coleman, James S, 1994: 32).
Konsep modal sosial berkembang dalam semua kajian ilmu sosial. Baik itu kajian pendidikan, politik, hukum, industri, pedesaan, perkotaan dan lain-lain, termasuk dalam hal ini kajian lingkungan. Pada konteks dunia pertanian, misalnya, Kilpatrick, Sue (2007) menyatakan bahwa fungsi-fungsi modal sosial dalam kelompok tani yakni sebagai dasar-dasar  untuk :
a)         Membangun hubungan kelompok
b)         Membangun kepercayaan diri (self confidence),
c)         Mengembangkan ketrampilan interpersonal
d)        Membangun keingintahuan satu dengan lain
e)         Mengembangkan nilai-nilai & kepercayaan yang terbagi.
f)          Melihat pihak lain sebagai sumber dukungan dan nasehat yang terpercaya
g)         Membangun komitmen pada kelompok.
Studi Nyoman Utari, V, Isang Gonarsyah, Ernan Rustiadi, Bambang Juanda dalam Subak’ Social Capital : Could They Enhancing The Existence menemukan bahwa kepercayaan (trust) memiliki hubungan positif dengan model pengambilan keputusan yang melibatkan semua anggota. Modal sosial yang lain yakni  penguatan norma-norma organisasi, kepemimpinan dan hubungan dengan organisasi lain yang berbeda tujuan. Baik itu organisasi yang berada di wilayah  sama maupun tidak.
Modal sosial dibagi dalam 2 jenis, yaitu modal sosial struktural dan modal sosial kognitif. Modal sosial struktural meliputi komposisi dan praktik dari institusi level lokal baik formal maupun informal yang melayani sebagai instrumen pengembangan masyarakat. Modal sosial ini menekankan pada jaringan (network), pertalian (linkage) dan praktik dalam dan antarkomunitas (Grant, Emma, 2001: 3). Peran modal sosial struktural memfasilitasi pada pembagian informasi, tindakan kolektif dan pengambilan keputusan. 
Sementara itu, modal sosial kognitif menunjuk pada keyakinan, sikap, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, keyakinan, solidaritas dan resiprositas. Kesemuanya terbagi-bagi, karena itu ia subjektif dan konsep-konsep yang tidak dapat diraba. Elemen-elemen kognitif mempengaruhi tindakan kolektif yang saling menguntungkan (Grootaert, Christiaan & Thierry van Bastelaer, 2001: 5, Grant, Emma, 2001: 3).
Sementara itu, pengembangan modal sosial yang dibarengkan dengan praktek demokrasi akan mendatangkan banyak keuntungan, seperti: memperbaiki terget-target yang menguntungkan, mengurangi pengeluaran (biaya) proyek, meningkatkan keberlanjutan, memperkuat masyarakat sipil lewat penguatan-penguatan organisasi dan modal sosial akan membawa keberlanjutan program (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003 : 44).  Modal sosial menjembatani ruang antarindividu, komitmen yang  mendorong kerja sama, kesiapan untuk memperoleh pengetahuan dan bakat dan perilaku organisasional yang keheren (Cohen and Prusak, 2001).
Putnam menjelaskan tentang dua bentuk dari modal sosial yakni yang  mengikat (bonding) dan yang menjembatani (bridging) (Field, 2005: 46). Untuk modal sosial yang mengikat cenderung memperkuat identitas eksklusif, menggerakan solidaritas, mengutamakan homogenitas, mempertinggi loyalitas dan memperkuat identitas-identitas spesifik. Grootaert & Bastelaer menyamakan istilah mengikat dengan mengintegrasikan, yakni hubungan yang mengambil tempat dalam kelompok, memfasilitasi interaksi dan tindakan kolektif (Grootaert & Bastelaer, 2001: 16).
Sementara itu, modal sosial yang menjembatani bersifat inklusif, sebab akan melintasi batas-batas orang yang dibeda-bedakan dan menghubungkan aset-aset eksternal untuk difusi informasi. Modal sosial ini akan mengakses kelompok lain dengan lebih banyak kekuasaan dan sumber daya, termasuk didalamnya memperoleh bentuk-bentuk kapital yang lain, seperti modal manusia dan modal fisik (Leonard, Madelaine, 2004: 930). Dengan kalimat lain bahwa modal sosial ini akan memperkuat hubungan antara organisasi satu dengan organisasi lain.  
Dalam perkembangannya, Grootaert, 2003 & Aldridge, 2002, menambahkan satu bentuk modal sosial, yakni linking social capital. Modal sosial ini disebut juga sebagai keterkaitan vertikal yakni ikatan dengan orang yang memiliki otoritas/status sosial yang lebih tinggi, seperti: ikatan dengan anggota parlemen, polisi, kepala daerah dan lain-lain (Prasetimartati, Budiati dkk, 2008).
Pelibatan modal sosial diyakini memiliki dampak pada hasil pembangunan, seperti : pertumbuhan, keadilan dan mengurangi kemiskinan. Asosiasi dan lembaga-lembaga diyakini menyediakan kerangka informal untuk mengelola pertukaran informasi, kegiatan yang terkoordinasi dan pengambilan keputusan secara kolektif (Grootaert, 1998: 3). Kadar modal sosial yang baik akan mempengaruhi pengembangan masyarakat, seperti dinyatakan dalam tabel berikut.

Tabel 2.
Perbandingan Kadar Modal Sosial
No.
Kadar Modal Sosial
Rendah (minimalized)
Tinggi (maximized)
1.
Self-interest
Komitmen pada kesejahteraan bersama
2.
Self-anggrandizement
Altruisme
3.
Selfishness
Self-sacrifice
4.
Autonomy
Merger of individual interest
5.
Zero-Sum-Game
Positive sum-games
6.
Interdependen yang berfokus pada kepentingan diri
Positively interdependent
             Sumber : Dasgupra dan Seregeldin (1999) dalam Zubaedi, 2007: 194
Modal sosial adalah penguatan diri ketika resiprositas meningkatkan keterhubungan antarorang, mengarahkan pada kepercayaan yang lebih besar, kepercayaan dan kapasitas untuk mendapatkan paham-paham baru (Pretty Julles & Hugh Ward, 2001:9). Modal sosial tidak hanya berfungsi mengelola relasi internal di dalam komunitas yang bersangkutan, tetapi juga memastikan bahwa komunitas tersebut juga handal dalam menjalin relasi dengan fihak eksternal (Purwo Santoso, 2003: 52). Karena itu, dalam pengembangan masyarakat diperlukan interaksi antara dua tipe modal sosial yang berbeda, yakni modal sosial struktural dan modal sosial kognitif.
Bain dan Hicks (1998), Khrisna dan Shrader menyatakan bahwa modal sosial struktural meliputi komposisi dan praktik dari institusi level lokal baik formal maupun informal yang melayani sebagai instrumen pengembangan masyarakat. Modal sosial struktural memfasilitasi pada pembagian informasi, tindakan kolektif dan pengambilan keputusan lewat peran-peran yang jelas, jaringan sosial dan struktur sosial lain yang dilengkapi dengan aturan-aturan, prosedur dan contoh-contoh.Modal sosial ini dibangun dengan organisasi horizontal dan jaringan yang memiliki proses pengambilan keputusan secara kolektif dan nyata, pemimpin yang bertanggung jawab, praktek-praktik   kolektif dan tanggung jawab timbal balik (mutual responsibility). Jadi, kapital sosial ini menekankan pada jaringan (network), pertalian (linkage) dan praktik dalam dan antarkomunitas (Grant, Emma, 2001: 3).
Sedangkan, modal sosial kognitif menunjuk pada keyakinan, sikap, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, keyakinan, solidaritas dan resiprositas. Kesemuanya terbagi-bagi, karena itu ia subjektif dan konsep-konsep yang tidak dapat diraba. Elemen-elemen kognitif mempengaruhi tindakan kolektif yang saling menguntungkan (Grootaert, Christiaan & Thierry van Bastelaer, 2001: 5, Grant, Emma, 2001: 3). Ada empat pendekatan untuk menjelaskan modal sosial itu, yakni:
a.          Pandangan komunitarian, menyamakan modal sosial dengan organisasi lokal, seperti klub, asosiasi dan kelompok kewarganegaraan. Kelompok ini memandang bahwa jumlah dan kepadatan kelompok sebagai modal sosial dan memiliki pengaruh positif pada kesejahteraan komunitas. Perspektif komunitarian mengasumskikan bahwa komunitas adalah homogen yang secara otomatis akan memberi keuntungan bagi semua anggota.
b.         Pandangan jaringan
        Menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan asosiasi horisontal antarorang dan hubungan-hubungannya didalamnya. Ikatan dalam komunitas yang kuat memberikan perasaan identitas dan tujuan bersama, tetapi pada  ikatan antarkelompok yang lemah, kelompok horisontal akan menjadi sebuah dasar untuk mengejar kepentingan yang sektarian dan sempit. Dalam bahasa lain menjelaskan pentingnya modal sosial yang mengikat (bonding social capital) dan modal sosial yang menghubungkan (bridging social capital).
c.          Pandangan kelembagaan
        Melihat bahwa vitalitas jaringan komunitas dan masyarakat sipil adalah benar-benar sebagai hasil dari lingkungan intitusional, hukum dan politik. Kapasitas yang kuat modal sosial bertindak bergantung pada kelembagaan formal dimana ia berada. Perwujudan negara dan firma dengan sendirinya bergantung pada koherensi internal mereka, kredibilitas  dan kompetensi  serta bergantung  pada pertanggungjawaban eksternal pada masyarakat sipil.
d.         Pandangan sinergi
        Pandangan ini bermaksud menghubungkan pekerjaan mendorong yang muncul dari pandangan kelembagaan dan pandangan jaringan. Ia mengusulkan agar antara pemerintah dan tindakan warga saling melengkapi atau dengan kata lain komplementer (complementary) dan saling melekat (embeddednes). Komplementaris menunjuk pada hubungan saling mendukung timbal balik antara perilaku swasta maupun negara dalam memberi kontrol kerangka legal yang melindungi hak-hak asosiasi, sedangkan saling melekat menunjuk pada sifat dan perluasan ikatan menghubungkan warga negara/masyarakat sipil dengan pemerintah. 

III.            MODAL SOSIAL DALAM ORGANISASI PENGELOLA SUMBER DAYA AIR

Dalam pengelolaan sumber daya air minum, keterlibatan organisasi lokal tidak sekedar menggambarkan kepentingan, kegiatan dan tindakan hanya per individu, tetapi semua tujuan individu mampu disatukan dan diartikulasikan bersama-sama. Dalam konteks pembangunan pertanian, Uphoff menyatakan organisasi lokal yang banyak terlibat sebagai membership organizations (Uphoff, 1986 : 125).
Membership organizations tidak sama dengan koperasi, pemerintah lokal, organisasi pelayanan atau  bisnis swasta. Tugas paling penting dari membership organizations adalah melayani kebutuhan anggota, baik berupa barang maupun jasa, agar anggota bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih baik. Bervariasinya fungsi dari membership organizations sangat ditentukan kondisi lingkungan. Kalau lahan pada daerah tertentu subur dengan persediaan air dalam  jumlah banyak, maka organisasi lokal berkembang dalam lebih dari satu fungsi. Ketrampilan tambahan, seperti kemampuan melobi pengambil kebijakan sangat mendukung keberadaan organisasi lokal tersebut. Pada konteks pengelolaan sumber daya air, organisasi-organisasi lokal yang banyak terlibat dimasukan sebagai asosiasi pembangunan lokal (local development associations) dan asosiasi kepentingan (interest association).
Secara tipologi organisasi lokal terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu : organisasi lokal yang benar-benar dibentuk oleh masyarakat dan organisasi lokal yang diinisiasi negara. Kedua-duanya hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat. Peran organisasi lokal yang dibentuk masyarakat, telah bekerja secara turun temurun dan  sudah perannya teruji bertahun-tahun. Uphoff menyatakan bahwa kelebihan organisasi lokal mampu merubah dan beradaptasi dalam kondisi apapun. Mengambil kasus di Kota Batu, organisasi lokal pengelola sumberdaya air yakni HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) dan HIPPA (Himpunan Petani Pemakai Air).
Jika peran HIPPAM khusus mengelola air untuk keperluan rumah tangga, sedangkan HIPPA mengelola air yang untuk sawah, kebun atau tegalan. Di beberapa daerah tertentu di luar Malang Raya untuk HIPPA ada yang menamakan P3A (Perhimpunan Petani Pemakai Air). Di Kota Batu jumlah HIPPAM 10%, dan kurang lebihnya berjumlah 20 (Hanafi, Imam, 2005: 44, dan Susilo, Rachmad K Dwi, 2011:41) dan bervariasi jika melihat jumlahnya per desa. Adapun bentuk-bentuk modal sosial pada kegiatan-kegiatan organisasi lokal tersebut, yaitu:

a.         Kegiatan Pemanfaatan Sumber Air
Kesepakatan pengambilan air minum dari sumber air yang biasanya berada di desa lain, tidak dibuat dengan aturan formal, tetapi cukup melalui pembicaraan- pembicaraan informal. Kesepakatan bisa dibuat oleh orang per orang, bisa pula antarpemerintah desa. Pembuatannya hanya didasarkan atas sifat saling kepercayaan. Oleh karena itu, isi  kesepakatan tidak diatur secara  detil dan tidak mengikat formal. Tidak ada tarif dasar atau standar yang harus dibayar oleh pemakai sumber air. Bahkan, di Kota Batu masih ada kepercayaan bahwa tidak boleh memperjualbelikan sumber air, sekalipun sumber air tersebut berada di lahan milik pribadi. Di sinisesungguhnya, modal sosial berperan pada kegiatan pemanfaatan sumber air seperti  kemudahan mendapat ijin penggunaan sumber air dan bisa memanfaatkan untuk pasokan air, tidak lepas dari kuatnya kepercayaan yang dibangun antaraktor.
Informalitas juga tampak pada bentuk-bentuk kompensasi pengambilan air yang tidak mengikat formal.Seperti, misalnya Desa A mengambil air dari sumber air yang berada di Desa B, maka tidak ada kewajiban Desa A yang diatur oleh Desa B. Namun demikian, bukan berarti tidak ada ikatan. Hubungan sosial tetap mengikuti norma-norma  dominan, misalnya : Desa A akan selalu memberikan bantuan ketika Desa B menyelenggarakan hajatan desa. Ukuran atau besar bantuan tidak tetap, tetapi mendasarkan situasi dan kondisi.
Hukum-hukum informal ini bisa ditemukan di rata-rata kebanyakan HIPPAM di Kota Batu. Hampir semua HIPPAM memanfaatkan air dari sumber air yang berada di desa lain. Jarang yang memanfaatkan air dari sumber yang berada di desa sendiri  atau  kalau pun ada yang memanfaatkan sumber tersebut hanya untuk menambah pasokan air utama. Misalnya, Desa Bumiaji mengambil air sumber air yang terdapat di Desa Bulukerto. Dua  Dusun di Desa Pandanrejo mengambil air dari sumber air yang ada di Desa Punten. 1 Dusun di Desa Pandanrejo mengambil air dari Desa Bumiaji dan Sumber air di Desa Pandanrejo diambil oleh HIPPAM Desa Torongrejo.
Hubungan antardua desa terjadi sebab sebagai syarat letak sumber air yang diambil harus berada pada tempat yang tinggi sehingga mau tidak mau ambil dari desa lain. Ketepatan untuk menjalin relasi menjadi bagian penting yang tidak bisa dikesampingkan. Masyarakat yang ekslusif dari keberadaan masyarakat lain tidak memungkinkan untuk menjalin kerja sama secara baik.

b.         Pembentukan & Pengembangan Organisasi Lokal
Model-model organisasi bervariasi tiap dusun mengikuti pengetahuan yang dipahami pengurus. Bentuk dan pengembangan organisasi  ini diputuskan lewat rembug warga. Ada kesamaan pandangan pengurus yang menunjukkan homogenitas pemikiran di dalam organisasi lokal itu. Dalam kenyataannya, pengaturan organisasi-organisasi lokal secara sentralistik dalam wadah pemerintah desa sulit dilakukan, sebab dalam konsepsi pengelola organisasi yang dimaksud persamaan adalah disatukan pemanfaatan air dari sumber air yang sama (Susilo, Rachmad K Dwi, 2011).
Ketika mendesain, mendirikan, mengoperasionalkan organisasi lokal disyaratkan kerja-kerja kolektif, seperti pemasangan pipa untuk mengalirkan air dari sumber air ke rumah-rumah. Pekerjaan ini tidak mungkin dilakukan perseorangan, jadi, pasti dibutuhkan kerja-kerja kolektif. Pada masyarakat dimana modal sosial masih kuat, tanpa diperintah semua anggota masyarakat bergotong-royong atau melakukan kerja bhakti. Kolektivitas menjadi ciri khas pada banyak kegiatan seperti mencari sumber air, memasang pipa, menanam pipa sampai memasang meteran di semua rumah pelanggan. Demikian pula ketika mengoperasionalkan organisasi, kegiatan seperti membersihkan air dari tandon air dan memelihara tandon dilakukan dengan gotong-royong pula.
Sementara itu, untuk membeli infrastruktur seperti pipa dan bahan-bahan bangunan mengumpulkan uang bersama-sama. Bahkan, ada yang meminjam kepada pribadi tanpa jaminan, cukup mendasarkan kepercayaan penjual bahan bangunan kepada pengurus organisasi. Kepercayaan semacam ini juga teruji dalam mengumpulkan dana retribusi untuk pemeliharaan pipa dan pelayanan air kepada konsumen. Pengurus yang bertanggung jawab yang akan selalu dipercaya terus sebagai pengurus. Pergantian pengurus tidak dirumuskan melalui aturan formal secara ketat, cukup kesepakatan informal.
Kolektivitas dalam mengembangkan organisasi lokal sesungguhnya dilandasi sistem pengetahuan lokal para pengelola organisasi yang dipahami rata-rata sama. Semua anggota berawal dari keadaan yang sama sehingga dituntut berdiskusi pada saat memutuskan banyak persoalan. Pengetahuan (knowledge)  ini merupakan hasil diskusi kolektif dimana sangat mungkin trial-error (coba-coba).
Pola sama digunakan pada saat menunjuk pengurus.Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan tidak mendasarkan kepada kecakapan atau keahlian, melainkan ditunjuk karena ketrampilan sosial dengan kriteria : pinter (pandai), bener (moralitas baik) dan kober (ringan langkah dan meluangkan waktu untuk orang lain). Penunjukan pengurus, tetap dilakukan lewat rembug warga.
Dengan demikian, aturan-aturan yang berlaku dalam menggerakkan organisasi lokal akan mengikat semua, sebab baik penghargaan-penghargaan maupun sanksi-sanksi  diputuskan secara bersama-sama. Semakin berkembang modal sosial akan semakin mudah diberlakukan sanksi-sanksi yang disepakati itu. Aturan-aturan ini akan menjadi pembelajaran bagi anggota.
Modal sosial yang penting lainnya, yaitu jaringan sosial. Maju tidaknya organisasi lokal didukung oleh kemampuan pengurus membangun jaringan sosial. Jaringan sosial tidak harus dengan organisasi-organisasi besar atau organisasi dalam cakupan luas, tetapi cukup mengandalkan organisasi-organisasi pendukung yang hidup dan berkembang di sekitar mereka. Seperti organisasi pada level pedesaan sampai lokal/pemerintah kota.
Pada kenyataannya, organisasi lokal yang dikelola dengan membangun jaringan bersama banyak organisasi akan berjalan efektif dari pada yang dikelola satu organisasi saja. Keberadaan bersama dengan organisasi-organisasi lain akan memungkinkan terjadinya pembagian (sharing), baik pembagian keuntungan, pembagian resiko dan pembagian kewenangan.  Disinilah, keberadaan jaringan sosial akan menambah efektif keberadaan organisasi. Kedepannya akan mendukung keberlanjutan organisasi (Susilo,Rachmad K Dwi, 2011).
Jaringan sosial tidak harus mempertemukan dengan organisasi-organisasi  informal, tetapi dengan pihak manapun yang mampu memfasilitasi pencapaian sumberdaya, seperti jaringan sosial dengan elit-elit politik atau elit ekonomi yang mampu menyumbangkan sumber daya mereka untuk kegiatan organisasi lokal.

c.       Penghormatan atas Kearifan Lokal
Di dalam organisasi lokal, penghormatan pada norma-norma dalam kearifan lokal lebih mendapat tempat dari pada organisasi bentukan pemerintah yang didorong oleh kepentingan birokrasi. Institusi-institusi lokal yang telah ada turun menurun sering digunakan untuk penyampaian informasi kegiatan-kegiatan. Forum-forum baru yang dibentuk pada kenyataannya sering tidak efektif, jadi tidak perlu dibuat forum baru, cukup memanfaatkan institusi-institusi lokal, seperti: yasinan, tahlilan dan diba’an.
Kegiatan-kegiatan penghijauan dan slametan sumber air yang dilakukan secara rutin dilakukan dengan melihat kearifan lokal yang meyakini hubungan antara dunia profan dan dunia mistis/tidak kelihatan.Slametan dilakukan secara masal dengan melibatkan semua anggota organisasi  lokal. Kegiatan ini juga didukung solidaritas sosial dikalangan masyarakat.


d.      Katup Penyelamat (Safety Valve)  Menghadapi Ketidakmerataan Pasokan Air
      Dalam HIPPA, jika tidak ditangani dengan baik, pembagian air menjadi persoalan rentan konflik. Peran pengelola sangat penting untuk membimbing pada sebuah kesepakatan dimana semua anggota akan mendapat air secara merata. Proses pembuatan kesepakatan yang melibatkan kolektivitas dan penegakan aturan yang baik akan memperkuat modal sosial.
      Sementara itu, pada HIPPAM sudah menjadi hukum alam, untuk daerah yang letaknya di dataran lebih rendah dipastikan mendapat limpahan air yang lebih banyak. Warga yang tinggal di dataran bawah bisa menikmati banyak air, sering membuat penduduk yang tinggal daerah tinggi cemburu. Modal sosial berperan ketika ada kesepakatan untuk menikmati air secara bergiliran. Kondisi ini akan lain ketika dalam masyarakat modal sosial mengalami defisit, maka egoisme masing-masing warga, rentan memicu masalah yang lebih luas.
      Hampir kebanyakan dalam pengelolaan sumber daya air, daerah yang berada di dataran paling  tinggi dinomorduakan untuk dapat pasokan air sebab  untuk menjangkau daerah ini dibutuhkan pipa yang lebih panjang sehingga memakan banyak biaya. Selain itu, untuk mengangkat air ke daerah yang lebih tinggi akan lebih sulit dari pada di daerah lebih rendah atau sejajar dengan sumber air. Didasarkan pertimbangan teknis dan biaya ini, panitia biasanya memilih daerah yang mudah “dijangkau”. Oleh karena itu, kebanyakan yang didahulukan daerah-daerah yang dekat dengan sumber air atau dekat tandon air dan daerah yang paling bawah. Keadaan seperti ini akan memicu ketegangan sosial antarwarga, bahkan bisa mengancam trust dikalangan mereka. Persoalan kelangkaan akan memicu pada ketidakmerataan penerimaan air baik di internal desa maupun diinternal  dusun.
      Kondisi ini memicu munculnya kecemburuan, persaingan bahkan konflik sosial. Sekelompok orang atau bangsa akan berebut dan bahkan berkelahi atau berperang untuk mempertahankan dan mengamankan akses dan kontrol atas sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau survival. Semakin langka sumber daya, semakin dahsyat perebutannya (Baiquni & Rijanta, ). Konflik yang tidak bisa dikendalikan bahkan akan melebar ke konflik-konflik yang lain. Konflik sumber daya alam akan mengarah pada konflik yang tidak berhubungan dengan lingkungan. Konflik tidak akan muncul atau bisa dikelola dengan baik jika modal sosial produktif bisa dikelola dengan baik pula. 

e.       Katup Penyelamat (Safety Valve) Kelangkaan yang Dihadapi Komunitas
Dalam penyaluran air, kelangkaan (scarcity) sudah mulai dirasakan sebagai persoalan komunitas. Jumlah penduduk yang selalu meningkat dan kebutuhan air yang meningkat pula menyebabkan air sebagai barang langka yang diperebutkan banyak pihak. Pada saat mulai direalisasikan program air bersih, pasti semua dusun menginginkan wilayahnya paling dahulu yang mendapat pasokan air. Konsekuensi yang tidak bisa dielakkan ada satu dusun awal mendapat pasokan air, sementara itu dusun lain mendapat giliran berikutnya, bahkan ada beberapa kasus yang berakhir pada dusun yang tidak mendapat pasokan air sama sekali.
Keinginan dari masing-masing dusun tersebut sering menjadi sebab kemunculan ketegangan antarwarga dusun. Jika modal sosial tidak baik pada masyarakat, maka yang besar kemungkinan akan terjadi adalah konflik sosial. Pengelolaan sumber daya air akhirnya memunculkan ketidakpercayaan (distrust) di antara warga masyarakat.
Gambaran modal sosial di atas yang membenarkan tesis Kahkonen, Satu (1999) bahwa modal sosial merupakan satu aspek yang menyebabkan pengelolaan air berbasis komunitas berjalan efektif. Selain itu, modal sosial bisa membantu membangun hubungan antara komunitas dengan pemerintah.

 IV.            PERSOALAN PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL
Persoalan-persoalan modal sosial yang muncul terkait pengelolaan sumber daya air, yakni: belum optimalnya memberdayakan modal sosial untuk pengembangan komunitas dan rusaknya modal sosial karena intervensi kekuatan luar komunitas.Adapun faktor-faktor yang menyebabkan itu, seperti:
a.      Dominasi Budaya Paternalistik
      Kepemimpinan lokal yang terlalu dominan sering menyebabkan modal sosial tidak bekerja efektif disebabkan  mental anggota tidak terbebas untuk berkreasi. Budaya paternalistik yang menganggap senior lebih tahu dan tidak boleh dikritik. Pola ketergantungan tinggi terletak  pada satu orang saja. Ketergantungan dengan satu pemimpin membuat keputusan kolektif tidak bisa dibuat. Hal yang mengkuatirkan jika aturan pada organisasi lokal tidak berjalan karena dominannya kepemimpinan ini, maka akan merusak modal sosial yang ada. Budaya paternalistik ada kalanya mampu mengikat anggota, tetapi dampak negatif yang muncul kuatnya modal sosial mengikat (bonding social capital) ini membuat kreativitas tidak berkembang karena tersumbatnya trasfer  ide-ide baru. Kreativitas yunior tidak bisa diakomodasi dengan baik.

b.      Dominasi Peran Pemerintah
Kita bisa membandingkan organisasi komunitas dengan perusahaan air yang dikelola negara. Kasus beroperasinya PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) di tengah masyarakat hanya membuat masyarakat sekedar konsumen yang tidak berkembang kreativitas mereka dalam menyumbangkan segala potensi yang dimiliki untuk pengembangan masyarakat (community development).
Hal yang sama beroperasinya perusahaan swasta yang bergerak dalam bisnis sumber daya air sering membuat modal sosial di masyarakat tidak berkembang secara baik. Eksploitasi sumberdaya air yang berlebihan dan sering tidak sesuai perjanjian sangat merugikan masyarakat, sering masyarakat melawan atas kondisi kelangkaan seperti ini (Endaryanta, Erwin, 2007).
Kelemahan sistem pengelolaan oleh negara yakni tidak banyak memberikan keuntungan bagi pengembangan modal sosial. Relasi ekonomi-bisnis yang dibentuk lebih pada hubungan konsumen-produsen dari pada memberikan keleluasaan penuh untuk masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatan oleh dan untuk anggota. Program-program yang digulirkan pemerintah sering tidak memelihara modal sosial komunitas disebabkan dominannya pendekatan administratif dan birokratik. Partisipasi yang didasari kesukarelaan, misalnya, tergerus sehingga memunculkan manipulasi partisipasi, partisipasi pasif,partisipasi melalui konsultasi dan partisipasi untuk insentif (Awang, San Afri, 2003)

c.       Model Pemberdayaan yang Kurang Tepat
Selama reformasi ini banyak model pemberdayaan yang digulirkan ke masyarakat. Hampir semua program pemberdayaan memberikan dana stimuli untuk kegiatan-kegiatan awal. Stimuli ini diberikan di antara skema kegiatan pemberdayaan yang lain. Pada kenyataannya, dana lebih menggiurkan dari pada konsepsi pemberdayaan yang abstrak dan lebih ditujukan pada esensi perubahan. Hal ini yang merubah mental masyarakat yang selalu mementingkan uang pada setiap kegiatan. Kesukarelaan dan altruisme tidak ”laku” karena digantikan partisipasi dengan insentif.
Sekalipun akhir-akhir ini paket pemberdayaan yang digulirkan melalui pendekatan bottom up tetapi masih terlihat dominasi birokratik dan teknokratik dimana kurang memperhatikan  pemeliharaan modal sosial. Terlebih, kelengkapan-kelengkapan birokrasi dari atas yang menyaratkan dibentuknya lembaga-lembaga  baru sebagai syarat turunnya anggaran membuat institusi-institusi sosial semakin tidak bisa berkembang dengan baik.

                V.            PENUTUP
Pengembangan modal sosial sangat penting di dalam organisasi lokal pengelola sumber daya air, sebab ia memfasilitasi pada banyak kegiatan, sehingga pelayanan kepada anggota bisa berjalan secara efektif. Pada prakteknya, modal sosial yang paling banyak berperan yakni kepercayaan (trust), keputusan-keputusan kolektif dan jaringan sosial (social networking). Modal sosial tersebut memfasilitasi dari banyak kegiatan seperti: kegiatan pemanfaatan sumber air, kegiatan-kegiatan ritual dan menghadapi ketidakmerataan dan kelangkaan pada komunitas.
Hal yang menjadi persoalan, selama ini modal sosial belum berkembang dengan baik atau sering mengalami kemerosotan disebabkan 3 hal, yakni dominannya budaya paternalistik, peran pemerintah yang terlalu dominan dan kurang tepatnya model pemberdayaan di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Awang, San Afri. 2003. Politik Hutan Kemasyarakatan, Jogjakarta:  Kreasi Wacana
Coleman, James S. 1994. The Foundation of Social Theory, Harvard University Press
Endaryanta, Erwin. 2007. Politik Air di Indonesia : Penjarahan si Gedhang oleh Korporasi Aqua Danone, Jogjakarta: Laboratorium Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM
Field, John. 2005.  Modal Sosial, Medan : Penerbit Bina Media Perintis:
Fukuyama.2002. The Great Disruption; Hakekat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial, Yogyakarta: Penerbit Qalam
Hanafi, Imam. 2005.Model Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Privatisasi Air Bersih, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB, tidak diterbitkan
Lawang, Robert MZ.2004. Kapital Sosial: Perspektif Sosiologik, Suatu Pengantar, Jakarta: FISIP UI Press
Leksono, Robert MZ. 2009. Runtuhnya Modal Sosial, Pasar Tradisional, Malang : Penerbit-Percetakan CV Citra Malang
Suparjan dan Hempri Suyatno. 2003. Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan, Jogjakarta : Aditya Media
Susilo, Rachmad K Dwi. 2009. Sosiologi Lingkungan, Rajawali Press, PT Grafindo Persada, Jakarta
Susilo, Rachmad K Dwi. 2011. Co-management Air Minum untuk Kesejahteraan Masyarakat: Kasus di Sebuah Desa Di Jawa Timur, Jogjakarta: Samudera Biru
Uphoff, Norman,  1986, Local Institution Development: An Analytical Source Book with Cases, New Delhi: Kumarian Press 
Zubaedi. 2007. Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Perspektif Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat, Jogjakarta: Ar Ruzz Media

Jurnal
Grant, Emma.2001. Social Capital and Community Strategies: Neighbourhood Development in Guetamala City, dalam Development and Change Volume 32 (2001), 975-997,Institute of Social Studies, 2001
Grootaert, Christiaan. 1998. Social Capital: The Missing Link, Social Capital InitiativeWorking Paper No.3, The World Bank, Social Development Family,Environmentally and Socially Sustainable Development Network April 1998
Grootaert, Christiaan & Thierry Van Bastelaer. 2001. Understanding And Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from The Social Capital Initiative, Social Capital InitiativeWorking Paper No. 24
Kahkonen, Satu. 2009. Does Social Capital Matter in Water and Sanitation Delivery? A Review Literature, Social Capital Initiative, Working Paper No.9, The World Bank, Social Development Family, Environmentally and Socially Sustainable Development Network
Kilpatrick, Sue. 2007. Building Social Capital in Group: Facilitating Skill Development for Natural Resources Management, RURAL SOCIETY Volume 17, Number 3, December 2007
Pretty, Jules & Hugh Ward. 2001. Social Capital and Environment, World Development (Feb 2001), Volume 29 (No.2), 209-227, bisa diakses www.essex.ac.uk/bs/staff/pretty/soc cap env-WD paper.PDF
Santoso, Purwo. 2003. Pengelolaan Modal Sosial dalam Rangka Pengembangan Otonomi Desa: Suatu Tantangan, Dinamika Pedesaan dan Kawasan,Vol.3/03/2003


Internet
Baiquni & Rijanta, Konflik Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya di Era Otonomi Daerah dan Transisi Masyarakat, http://ejournal.unud.ac.id/new/abstrak-47-808-konflik-pengelolaan-lingkungan-dan-sumberdaya-dalam-era-otonomi-dan-transisi-masyarakatpemahaman-teoritis-dan-pemaknaan empiris.html didownload tanggal 28 Juni 2011

Pidato Guru Besar
Ancok, Djamaludin. 2003. Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta

UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup












BIODATA PENULIS
Rachmad K Dwi Susilo, MA. Lahir di Magelang, 10 Oktober 1974. Riwayat Pendidikan, S-1 Jurusan Sosiologi FISIP UNS, Surakarta, (1994-1999) dan S-2 Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM Jogjakarta (2008-2010). Pada saat kuliah S-2 meniatkan diri utnuk mengembangkan kajian Sosiologi Pembangunan Lingkungan (Sosiologi Ecodelopment). Saat ini sebagai Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Buku-Buku yang telah dipublikasikan yaitu Integrasi Ilmu Sosial, Memadukan Ilmu Sosial Tiga Peradaban (2005), Sosiologi Kependudukan, Pemikiran Teori dan Analisa Sosiologis Di Balik Fenomena Kependudukan (2006),  Memahami Kecerdasan Orang-Orang Sukses: Refleksi Sosiologis Orang-Orang Ternama dalam Mensiasati Hidup (2007), 20 Tokoh Sosiologi Modern (2008), Jangan Goblok Melakoni Hidup (2010), Co-management Air Minum untuk Kesejahteraan Masyarakat (2011) dan Sosiologi Lingkungan & Sumber Daya Alam : Perspetif Teori dan Isu (2012).
Untuk menguatkan kompetensi Sosiologi Lingkungan, beberapa karya ilmiah telah dihasilkan seperti: Hasil-hasil penelitian yakni Perspektif Ekologis Para Kyai (Studi Eksploratif tentang Perspektif Ekologis para Tokoh-Tokoh Agama di Kota Malang), Pola-Pola Gerakan Lingkungan untuk Menyelamatkan Hutan (Studi Eksploratif tentang Pola-Pola Gerakan Lingkungan di Kota Batu),
Sementara itu, artikel-artikel ilmiah yang ditulis, seperti: Masyarakat Beresiko (The Risk Society), Paham Antroposentrisme Dan Krisis Lingkungan Kita, Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 19  Januari 2005, Masyarakat Pesisir dalam Ancaman Global Warming (Jurnal Transisi, 2010), Co-Management sebagai Strategi Pengelolaan Alternatif Pembangunan Peka  Konflik (Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 5 Agustus 2010), Demokratisasi dan Ruang Publik dalam Pengelolaan Lingkungan (Kontributor  dalam buku Demokrasi, Civil Society dan Globalisasi).
Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat, yakni menginisiasi beberapa kegiatan, yaitu  seperti Roadshow Sosiologi Peduli Lingkungan SMU se-Malang Raya, Pendampingan administratif & kelembagaan HIPPAM Desa Bumiaji,Kota Batu, Inisiator Peace on Green : Penanaman 100 Pohon di Sumber Precet antara mahasiswa FISIP UMM dengan Kelompok Tani di Sumber Precet, Batu. Kemudian, bersama In-Trans Institute melakukan advokasi untuk menghentikan Pembangunan Mall di Kota Malang dan bersama Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air (FMPMA) melakukan advokasi untuk menghentikan pembangunan hotel di kawasan konservasi di Kota Batu.
Kemampuan dan ketrampilan Sosiologi diperkuat dengan karya-karya data base,seperti: Survey Sosiologi Politik dan Pembangunan di Kota Batu (2006) dan Survei Potensi Sosiologis Pemerintahan dan Pembangunan Kota  Malang (2006). Sementara itu, pengembangan dunia kepenulisan ketika menjadi pembicara dalam bedah-bedah buku,  Workshop Penulisan “Rebut Perubahan dengan Menulis” (2011) dan Pelatihan Penulisan Penerbitan Buku Ajar (2010)