PERSOALAN
PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL PADA PENGELOLAAN
SUMBER
DAYA AIR MINUM BERBASIS ORGANISASI LOKAL
Oleh: Rachmad K
Dwi Susilo
ABSTRACT
Today, the water crisis has
become a prevalent issue in both rural and urban areas. Humans have been the cause of destruction of water sources, because they are the
main user of water resources. So
far, humans consume more than conserve. As a result, developing a state-based reources management (SBRM), community-based
resources management (CBRM) and co-management. In
fact, water resources management system
that promotes exploitation has failed to balance the economic, social and ecological interest.
In this context, social capital needs
to be developed. Many benefits can
be obtained if the social capital developed in the
local organization of water resource
managers, such as the utilization
of water resources, the establishment and development of local
organizations, respect for local
wisdom, safety valve face inequality water supply dan safety valve for water scarcity in the community. Meanwhile, various problems
that arise in developing social capital, namely: not optimal empowering
social capital for community development
and the destruction of social capital as a result of an outside force which intervening the community.
More than factors that cause it, such
as: the dominance of paternalistic
culture, the dominant role of government
and the lack of proper empowerment model.
I.
PENDAHULUAN
Hampir
merata terjadi semua belahan dunia, krisis pasokan air minum telah mengancam
masyarakat, baik pada masyarakat kota maupun masyarakat desa. Khusus masyarakat
desa ironis memang, krisis air justru
terjadi di lokasi dimana letaknya berdekatan dengan sumber air. Faktor alam dan
manusia yang menjadi penyebab krisis
lingkungan itu. Daya dukung lingkungan dirusak karena pemanfaatan air tidak
bertanggung jawab. Daya dukung lingkungan yaitu kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antarkeduanya (UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup). Ketika pemanfaatan dan perusakan mengganggu daya dukung lingkungan
tersebut maka yang terjadi ketidakseimbangan ekosistem.
Sementara
itu, manusia berperan sangat penting, sebab ia pengguna utama dari sumber daya air
ini. Baik untuk keperluan hidup sehari-hari seperti air minum, mandi, mencuci,
memasak, membersihkan rumah sampai untuk kepentingan bisnis atau kepentingan
“menguangkan” sumberdaya air itu, seperti: memelihara ikan, mengairi kebun, tempat-tempat
rekreasi, hotel dan kegiatan bisnis yang lain. Dengan demikian, kebutuhan manusia
atas air sesungguhnya berlipat-lipat. Persoalan akan muncul seiring populasi manusia
yang kian meningkat dan sulit dikendalikan. Butuh air untuk memenuhi kebutuhan manusia
yang baru lahir, maka demi memenuhi kebutuhan pribadi dan kepentingan bisnis
tersebut eksploitasi dan perusakan-perusakan sumber air terjadi.
Tindakan
manusia lebih banyak mengkonsumsi dari pada mencegah dan memulihkan atau dalam
istilah yang populer selama ini disebut mengkonservasi. Sekalipun sudah
diingatkan melalui terjadinya bencana alam seperti amblesan tanah, penurunan
muka air tanah, keringnya sungai dan waduk, tetapi “nafsu” merusak manusia tetap
tidak bisa dikendalikan.
Negara
dan pelaku bisnis swasta sebagai aktor-aktor pengelola sumber daya air
menerapkan bentuk pengelolaan berbasis negara (state based resources management), sementara itu masyarakat lokal
memilih, antara: pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas (community based resources management)
dan co-management. Sistem pengelolaan
berbasis negara mendasarkan pada otoritas negara dan pengelolaan sumber daya
ini dengan melibatkan semua perangkat birokrasi. Negara bisa bekerja sama
dengan perusahaan swasta atau pebinis sumber daya alam untuk mengolah sumber
daya alam. Sedangkan, pada pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas maupun
co-management menuntut keterlibatan
komunitas lokal.
Jika
pada pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas, air betul-betul murni dikelola oleh, dari dan untuk komunitas,
sedangkan pada co-management air tidak hanya diperuntukan komunitas, tetapi
mengundang keterlibatan banyak pemangku kepentingan (stakeholders), apakah negara maupun pelaku bisnis sumber daya alam.
Pada co-management dirumuskan
pengelolaan bersama atau joint management.
Hal
yang patut diperhatikan bahwa semua sistem yang mempraktekkan eksploitasi sering
gagal menyeimbangkan prinsip-prinsip keseimbangan antara kepentingan ekonomi
(bisnis), kepentingan sosial dengan kepentingan lingkungan. Pada titik inilah
perlu digali potensi-potensi di dalam masyarakat agar sumber daya air ke depan bisa
diselamatkan. Hemat penulis, salah satu yang bisa dilakukan yakni pengembangan modal
sosial (social capital).
Secara lebih khusus, modal sosial menunjuk pada lembaga-lembaga,
hubungan-hubungan dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas
interaksi sosial antarorang (Grootaert & Bartelaer dalam Ali Kasim Abu
& Mansor, Ahmad Ezanee, 2009).
Persoalan
hari ini, ketika aktor- aktor agresif dalam mengambil keuntungan sumber air, menyebabkan
keberadaan modal sosial semakin merosot. Modal sosial yang telah tertata baik kemudian
mengalami defisit. Ia tidak berkembang untuk mendukung pembangunan masyarakat,
tetapi rusak oleh beroperasinya perusahaan-perusahaan dan praktek pembangunan
yang tidak ramah lingkungan. Kepercayaan dan resiprositas yang berkembang di
masyarakat, juga menjadi rusak setelah masuknya para pebisnis atau pelaksana program
pembangunan.
Padahal, jika modal sosial bisa dikelola baik sesungguhnya akan memunculkan
karakter-karakter seperti: kepatuhan pada sistem norma (norms), tata
nilai (values), sikap (attitudes), keyakinan (beliefs),
budaya bernegara (civic culture), saling percaya (social trust),
solidaritas dalam bekerja sama (solidarity cooperation), peran dan
aturan main (roles dan rule), jaringan kerja (networks), hubungan
interpersonal (interpersonal relationship), tata cara dan keteladanan (procedures
and precedents), organisasi sosial (social organization),
keterkaitan horizontal dan vertikal (horizontal and vertikal linkages)
(Zubaedi, 2007: 195).
Tulisan
ini akan menjelaskan tentang persoalan pengembangan modal sosial pada
pengelolaan sumber daya air. Untuk mempermudah penjelasan penulis mengangkat organisasi
lokal berbasis komunitas. Struktur tulisan, meliputi: modal sosial sebagai sebuah konsep, bagaimana peran
dan persoalan modal sosial pada organisasi lokal pengelola sumber daya air itu.
II.
KONSEP
MODAL SOSIAL
Konsep modal sosial pertama kali dinyatakan Hanifan
(1916) dengan menekankan pada faktor
substansi dalam masyarakat, yang antara lain berupa : niat baik (good will),
rasa simpati, perasaan persahabatan dan hubungan sosial yang membentuk unit
sosial (Ancok, Jamaludin, 2003: 13). Sementara
itu, untuk mudah memahami modal sosial dibandingkan dengan modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital), seperti ditampilkan pada
tabel sebagai berikut :
Tabel 1
Perbedaan antar Jenis Modal dalam Masyarakat
No.
|
Ciri-Ciri
|
Jenis-Jenis
Modal
|
Modal Fisik
|
Modal Manusia
|
Modal Sosial
|
1.
|
Penyebab terbentuknya
|
Dibentuk dengan membuat
perubahan-perubahan dalam material karenanya menjadi alat yang memfasilitasi
produksi
|
Dibentuk dengan merubah manusia
karenanya memberikan ketrampilan-ketrampilan dan kemampuan-kemampuan untuk
bertindak dengan cara yang baru
|
Dibentuk ketika
hubungan-hubungan antarorang berubah dalam cara-cara yang memfasilitasi
tindakan
|
2.
|
Sifat
|
Benar-benar
nyata, terlekat dalam bentuk material yang teramati
|
Kurang nyata,
terlekat dalam ketrampilan dan pengetahuan yang diperoleh individu.
|
Sangat kurang
nyata, karena terlekat dalam hubungan (relation) antarindividu.
|
3.
|
Contoh
|
Tanah, bangunan, peralatan-peralatan,
mesin-mesin dan perlengkapan yang menghasilkan lain.
|
Ketrampilan dan pengetahuan
yang disimpan
|
Sistem kepercayaan timbal
balik, potensi-potensi untuk informasi, norma-norma dan sanksi yang efektif,
hubungan-hubungan otoritas, organisasi sosial yang sesuai (organisasi
sukarela) dan organisasi yang memiliki tujuan/maksud.
|
Sumber
: Coleman, James Samuel, 1994: 304-321
Generasi awal yang mengembangkan konsep modal
sosial, yakni: Pierre Bourdieu, Robert D
Putnam dan Francis Fukuyama. Bourdieu menyatakan bahwa modal sosial adalah
modal relasi-relasi sosial yang akan menyediakan kalau perlu “dukungan-dukungan
yang berguna”. Kemudian ia memperbaiki konsep tersebut dengan menyatakan
modal sosial sebagai jumlah sumber daya aktual dan virtual yang berkembang pada
individu atau sekelompok individu karena kemampuan untuk memiliki suatu jaringan
yang dapat bertahan lama dalam hubungan-hubungan yang lebih kurang telah
diinstitusikan berdasarkan pengetahuan dan pengenalan timbal balik (Bourdieu, 1977: 503 dalam Field 2005: 21).
Sementara itu, Robert D Putnam menunjuk modal sosial pada
bagian-bagian dari organisasi sosial, seperti: kepercayaan, norma dan jaringan
yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat melalui fasilitasi
tindakan-tindakan terkoordinasi. Sedangkan, Fukuyama menunjuk modal sosial pada
kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam masyarakat atau
bagian-bagian tertentu darinya. Dengan pengertian lain, Fukuyama memberikan
batasan modal sosial yaitu sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang
dimiliki bersama di antara anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya
kerja sama (Lawang, 2005:213).
Modal sosial terdiri atas dua
unsur, yakni pertama jalinan sosial yang memungkinkan masing-masing anggota
dapat berhubungan langsung dengan dan dalam kelompok. Kedua, jumlah dan mutu
dari sumber daya anggota kelompok tersebut ( Leksono, 2009: 38). Sebagai hasil dari modal
sosial yakni akses pada sumber daya sosial, sumber daya ekonomi dan sumber daya
kebudayaan yang didapat lewat hubungan-hubungan sosial.Sementara itu, James S.Coleman menyatakan bahwa modal sosial
sebagai sumber daya struktural sosial dan aset modal untuk individu. Modal
sosial merupakan sebuah variasi atas entitas-entitas yang berbeda yang memiliki
dua karakteristik umum, yakni: semua
aspek dari struktur sosial dan ia memfasilitasi tindakan-tindakan individu
tertentu yang berada dalam struktur sosial (Coleman, James
S, 1994: 32).
Konsep modal sosial berkembang dalam semua kajian ilmu
sosial. Baik itu kajian pendidikan, politik, hukum, industri, pedesaan,
perkotaan dan lain-lain, termasuk dalam hal ini kajian lingkungan. Pada konteks
dunia pertanian, misalnya, Kilpatrick, Sue (2007) menyatakan bahwa fungsi-fungsi
modal sosial dalam kelompok tani yakni sebagai dasar-dasar untuk :
a)
Membangun hubungan kelompok
b)
Membangun kepercayaan diri (self
confidence),
c)
Mengembangkan ketrampilan interpersonal
d)
Membangun keingintahuan satu dengan lain
e)
Mengembangkan nilai-nilai &
kepercayaan yang terbagi.
f)
Melihat pihak lain sebagai sumber
dukungan dan nasehat yang terpercaya
g)
Membangun komitmen pada kelompok.
Studi Nyoman Utari, V, Isang Gonarsyah, Ernan
Rustiadi, Bambang Juanda dalam Subak’
Social Capital : Could They Enhancing The Existence menemukan bahwa
kepercayaan (trust) memiliki hubungan positif dengan model pengambilan
keputusan yang melibatkan semua anggota. Modal sosial yang lain yakni penguatan norma-norma organisasi,
kepemimpinan dan hubungan dengan organisasi lain yang berbeda tujuan. Baik itu
organisasi yang berada di wilayah sama
maupun tidak.
Modal sosial dibagi dalam 2 jenis, yaitu modal sosial
struktural dan modal sosial kognitif. Modal sosial struktural meliputi
komposisi dan praktik dari institusi level lokal baik formal maupun informal
yang melayani sebagai instrumen pengembangan masyarakat. Modal sosial ini
menekankan pada jaringan (network), pertalian (linkage) dan
praktik dalam dan antarkomunitas (Grant, Emma, 2001: 3). Peran modal sosial
struktural memfasilitasi pada pembagian informasi, tindakan kolektif dan
pengambilan keputusan.
Sementara itu, modal sosial kognitif menunjuk pada keyakinan,
sikap, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, keyakinan, solidaritas
dan resiprositas. Kesemuanya terbagi-bagi, karena itu ia subjektif dan
konsep-konsep yang tidak dapat diraba. Elemen-elemen kognitif mempengaruhi
tindakan kolektif yang saling menguntungkan (Grootaert, Christiaan &
Thierry van Bastelaer, 2001: 5, Grant, Emma, 2001: 3).
Sementara itu, pengembangan modal sosial yang dibarengkan
dengan praktek demokrasi akan mendatangkan banyak keuntungan, seperti:
memperbaiki terget-target yang menguntungkan, mengurangi pengeluaran (biaya)
proyek, meningkatkan keberlanjutan, memperkuat masyarakat sipil lewat
penguatan-penguatan organisasi dan modal sosial akan membawa keberlanjutan
program (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003 : 44). Modal sosial menjembatani ruang
antarindividu, komitmen yang mendorong
kerja sama, kesiapan untuk memperoleh pengetahuan dan bakat dan perilaku
organisasional yang keheren (Cohen and Prusak, 2001).
Putnam menjelaskan tentang dua bentuk dari modal sosial yakni yang mengikat (bonding) dan yang
menjembatani (bridging) (Field, 2005: 46). Untuk modal sosial yang
mengikat cenderung memperkuat identitas eksklusif, menggerakan solidaritas,
mengutamakan homogenitas, mempertinggi loyalitas dan memperkuat
identitas-identitas spesifik. Grootaert & Bastelaer menyamakan istilah mengikat
dengan mengintegrasikan, yakni hubungan yang mengambil tempat dalam kelompok,
memfasilitasi interaksi dan tindakan kolektif (Grootaert & Bastelaer, 2001:
16).
Sementara itu, modal sosial yang menjembatani bersifat inklusif,
sebab akan melintasi batas-batas orang yang dibeda-bedakan dan menghubungkan
aset-aset eksternal untuk difusi informasi. Modal sosial ini akan mengakses
kelompok lain dengan lebih banyak kekuasaan dan sumber daya, termasuk
didalamnya memperoleh bentuk-bentuk kapital yang lain, seperti modal manusia
dan modal fisik (Leonard, Madelaine, 2004: 930). Dengan kalimat lain bahwa
modal sosial ini akan memperkuat hubungan antara organisasi satu dengan organisasi
lain.
Dalam perkembangannya, Grootaert, 2003 & Aldridge, 2002,
menambahkan satu bentuk modal sosial, yakni linking social capital.
Modal sosial ini disebut juga sebagai keterkaitan vertikal yakni ikatan dengan
orang yang memiliki otoritas/status sosial yang lebih tinggi, seperti: ikatan
dengan anggota parlemen, polisi, kepala daerah dan lain-lain (Prasetimartati,
Budiati dkk, 2008).
Pelibatan modal sosial diyakini memiliki dampak pada hasil
pembangunan, seperti : pertumbuhan, keadilan dan mengurangi kemiskinan.
Asosiasi dan lembaga-lembaga diyakini menyediakan kerangka informal untuk
mengelola pertukaran informasi, kegiatan yang terkoordinasi dan pengambilan
keputusan secara kolektif (Grootaert, 1998: 3). Kadar modal sosial yang baik akan mempengaruhi
pengembangan masyarakat, seperti dinyatakan dalam tabel berikut.
Tabel 2.
Perbandingan Kadar Modal Sosial
No.
|
Kadar Modal Sosial
|
Rendah (minimalized)
|
Tinggi (maximized)
|
1.
|
Self-interest
|
Komitmen pada
kesejahteraan bersama
|
2.
|
Self-anggrandizement
|
Altruisme
|
3.
|
Selfishness
|
Self-sacrifice
|
4.
|
Autonomy
|
Merger of individual interest
|
5.
|
Zero-Sum-Game
|
Positive sum-games
|
6.
|
Interdependen yang
berfokus pada kepentingan diri
|
Positively interdependent
|
Sumber : Dasgupra
dan Seregeldin (1999) dalam Zubaedi, 2007: 194
Modal sosial adalah penguatan diri ketika resiprositas
meningkatkan keterhubungan antarorang, mengarahkan pada kepercayaan yang lebih
besar, kepercayaan dan kapasitas untuk mendapatkan paham-paham baru (Pretty
Julles & Hugh Ward, 2001:9). Modal sosial tidak hanya berfungsi mengelola
relasi internal di dalam komunitas yang bersangkutan, tetapi juga memastikan
bahwa komunitas tersebut juga handal dalam menjalin relasi dengan fihak
eksternal (Purwo Santoso, 2003: 52). Karena itu, dalam pengembangan masyarakat
diperlukan interaksi antara dua tipe modal sosial yang berbeda, yakni modal
sosial struktural dan modal sosial kognitif.
Bain dan Hicks (1998), Khrisna dan Shrader menyatakan bahwa modal
sosial struktural meliputi komposisi dan praktik dari institusi level lokal
baik formal maupun informal yang melayani sebagai instrumen pengembangan
masyarakat. Modal sosial struktural memfasilitasi pada pembagian informasi,
tindakan kolektif dan pengambilan keputusan lewat peran-peran yang jelas,
jaringan sosial dan struktur sosial lain yang dilengkapi dengan aturan-aturan,
prosedur dan contoh-contoh.Modal sosial ini dibangun dengan organisasi
horizontal dan jaringan yang memiliki proses pengambilan keputusan secara
kolektif dan nyata, pemimpin yang bertanggung jawab, praktek-praktik kolektif dan tanggung jawab timbal balik (mutual
responsibility). Jadi, kapital
sosial ini menekankan pada jaringan (network), pertalian (linkage)
dan praktik dalam dan antarkomunitas (Grant, Emma, 2001: 3).
Sedangkan, modal sosial kognitif menunjuk
pada keyakinan, sikap, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, perilaku,
keyakinan, solidaritas dan resiprositas. Kesemuanya terbagi-bagi, karena itu ia
subjektif dan konsep-konsep yang tidak dapat diraba. Elemen-elemen kognitif
mempengaruhi tindakan kolektif yang saling menguntungkan (Grootaert, Christiaan & Thierry van
Bastelaer, 2001: 5, Grant, Emma, 2001: 3). Ada empat pendekatan untuk menjelaskan modal sosial itu, yakni:
a.
Pandangan
komunitarian, menyamakan modal sosial dengan organisasi lokal, seperti klub,
asosiasi dan kelompok kewarganegaraan. Kelompok ini memandang bahwa jumlah dan
kepadatan kelompok sebagai modal sosial dan memiliki pengaruh positif pada
kesejahteraan komunitas. Perspektif komunitarian mengasumskikan bahwa komunitas
adalah homogen yang secara otomatis akan memberi keuntungan bagi semua anggota.
b.
Pandangan jaringan
Menekankan pentingnya asosiasi
vertikal dan asosiasi horisontal antarorang dan hubungan-hubungannya
didalamnya. Ikatan dalam komunitas yang kuat memberikan perasaan identitas dan
tujuan bersama, tetapi pada ikatan
antarkelompok yang lemah, kelompok horisontal akan menjadi sebuah dasar untuk
mengejar kepentingan yang sektarian dan sempit. Dalam bahasa lain menjelaskan
pentingnya modal sosial yang mengikat (bonding
social capital) dan modal sosial yang menghubungkan (bridging social capital).
c.
Pandangan
kelembagaan
Melihat bahwa vitalitas
jaringan komunitas dan masyarakat sipil adalah benar-benar sebagai hasil dari
lingkungan intitusional, hukum dan politik. Kapasitas yang kuat modal sosial
bertindak bergantung pada kelembagaan formal dimana ia berada. Perwujudan
negara dan firma dengan sendirinya bergantung pada koherensi internal mereka,
kredibilitas dan kompetensi serta bergantung pada pertanggungjawaban eksternal pada
masyarakat sipil.
d.
Pandangan sinergi
Pandangan ini bermaksud
menghubungkan pekerjaan mendorong yang muncul dari pandangan kelembagaan dan
pandangan jaringan. Ia mengusulkan agar antara pemerintah dan tindakan warga
saling melengkapi atau dengan kata lain komplementer (complementary) dan
saling melekat (embeddednes). Komplementaris menunjuk pada hubungan
saling mendukung timbal balik antara perilaku swasta maupun negara dalam
memberi kontrol kerangka legal yang melindungi hak-hak asosiasi, sedangkan
saling melekat menunjuk pada sifat dan perluasan ikatan menghubungkan warga
negara/masyarakat sipil dengan pemerintah.
III.
MODAL
SOSIAL DALAM ORGANISASI PENGELOLA SUMBER DAYA AIR
Dalam pengelolaan sumber daya air minum, keterlibatan organisasi lokal tidak
sekedar menggambarkan kepentingan, kegiatan dan tindakan hanya per individu, tetapi
semua tujuan individu mampu disatukan dan diartikulasikan bersama-sama. Dalam konteks
pembangunan pertanian, Uphoff menyatakan organisasi lokal yang banyak terlibat
sebagai membership organizations (Uphoff,
1986 : 125).
Membership
organizations tidak sama dengan koperasi,
pemerintah lokal, organisasi pelayanan atau bisnis swasta. Tugas paling penting dari membership organizations adalah melayani
kebutuhan anggota, baik berupa barang maupun jasa, agar anggota bisa memenuhi
kebutuhan mereka dengan lebih baik. Bervariasinya fungsi dari membership organizations sangat
ditentukan kondisi lingkungan. Kalau lahan pada daerah tertentu subur dengan
persediaan air dalam jumlah banyak, maka
organisasi lokal berkembang dalam lebih dari satu fungsi. Ketrampilan tambahan,
seperti kemampuan melobi pengambil kebijakan sangat mendukung keberadaan
organisasi lokal tersebut. Pada konteks pengelolaan sumber daya air,
organisasi-organisasi lokal yang banyak terlibat dimasukan sebagai asosiasi
pembangunan lokal (local development associations)
dan asosiasi kepentingan (interest
association).
Secara tipologi organisasi lokal terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu :
organisasi lokal yang benar-benar dibentuk oleh masyarakat dan organisasi lokal
yang diinisiasi negara. Kedua-duanya hidup dan berada di tengah-tengah
masyarakat. Peran organisasi lokal yang dibentuk masyarakat, telah bekerja secara
turun temurun dan sudah perannya teruji bertahun-tahun.
Uphoff menyatakan bahwa kelebihan organisasi lokal mampu merubah dan
beradaptasi dalam kondisi apapun. Mengambil kasus di Kota Batu, organisasi
lokal pengelola sumberdaya air yakni HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air
Minum) dan HIPPA (Himpunan Petani Pemakai Air).
Jika peran HIPPAM khusus mengelola air untuk keperluan rumah tangga,
sedangkan HIPPA mengelola air yang untuk sawah, kebun atau tegalan. Di beberapa
daerah tertentu di luar Malang Raya untuk HIPPA ada yang menamakan P3A (Perhimpunan Petani Pemakai Air). Di Kota Batu
jumlah HIPPAM 10%, dan kurang lebihnya berjumlah 20 (Hanafi, Imam, 2005: 44,
dan Susilo, Rachmad K Dwi, 2011:41) dan bervariasi jika melihat jumlahnya per
desa. Adapun
bentuk-bentuk modal sosial pada kegiatan-kegiatan organisasi lokal tersebut,
yaitu:
a.
Kegiatan
Pemanfaatan Sumber Air
Kesepakatan
pengambilan air minum dari sumber air yang biasanya berada di desa lain, tidak
dibuat dengan aturan formal, tetapi cukup melalui pembicaraan- pembicaraan informal.
Kesepakatan bisa dibuat oleh orang per orang, bisa pula antarpemerintah desa. Pembuatannya
hanya didasarkan atas sifat saling kepercayaan. Oleh karena itu, isi kesepakatan tidak diatur secara detil dan tidak mengikat formal. Tidak ada
tarif dasar atau standar yang harus dibayar oleh pemakai sumber air. Bahkan, di
Kota Batu masih ada kepercayaan bahwa tidak boleh memperjualbelikan sumber air,
sekalipun sumber air tersebut berada di lahan milik pribadi. Di sinisesungguhnya,
modal sosial berperan pada kegiatan pemanfaatan sumber air seperti kemudahan mendapat ijin penggunaan sumber air
dan bisa memanfaatkan untuk pasokan air, tidak lepas dari kuatnya kepercayaan
yang dibangun antaraktor.
Informalitas
juga tampak pada bentuk-bentuk kompensasi pengambilan air yang tidak mengikat
formal.Seperti, misalnya Desa A mengambil air dari sumber air yang berada di
Desa B, maka tidak ada kewajiban Desa A yang diatur oleh Desa B. Namun
demikian, bukan berarti tidak ada ikatan. Hubungan sosial tetap mengikuti norma-norma
dominan, misalnya : Desa A akan selalu
memberikan bantuan ketika Desa B menyelenggarakan hajatan desa. Ukuran atau
besar bantuan tidak tetap, tetapi mendasarkan situasi dan kondisi.
Hukum-hukum
informal ini bisa ditemukan di rata-rata kebanyakan HIPPAM di Kota Batu. Hampir
semua HIPPAM memanfaatkan air dari sumber air yang berada di desa lain. Jarang
yang memanfaatkan air dari sumber yang berada di desa sendiri atau
kalau pun ada yang memanfaatkan sumber tersebut hanya untuk menambah pasokan
air utama. Misalnya, Desa Bumiaji mengambil air sumber air yang terdapat di
Desa Bulukerto. Dua Dusun di Desa
Pandanrejo mengambil air dari sumber air yang ada di Desa Punten. 1 Dusun di
Desa Pandanrejo mengambil air dari Desa Bumiaji dan Sumber air di Desa
Pandanrejo diambil oleh HIPPAM Desa Torongrejo.
Hubungan
antardua desa terjadi sebab sebagai syarat letak sumber air yang diambil harus
berada pada tempat yang tinggi sehingga mau tidak mau ambil dari desa lain.
Ketepatan untuk menjalin relasi menjadi bagian penting yang tidak bisa
dikesampingkan. Masyarakat yang ekslusif dari keberadaan masyarakat lain tidak
memungkinkan untuk menjalin kerja sama secara baik.
b.
Pembentukan & Pengembangan Organisasi
Lokal
Model-model
organisasi bervariasi tiap dusun mengikuti pengetahuan yang dipahami pengurus. Bentuk
dan pengembangan organisasi ini diputuskan
lewat rembug warga. Ada kesamaan
pandangan pengurus yang menunjukkan homogenitas pemikiran di dalam organisasi
lokal itu. Dalam kenyataannya, pengaturan organisasi-organisasi lokal secara
sentralistik dalam wadah pemerintah desa sulit dilakukan, sebab dalam konsepsi pengelola
organisasi yang dimaksud persamaan adalah disatukan pemanfaatan air dari sumber
air yang sama (Susilo, Rachmad K Dwi, 2011).
Ketika
mendesain, mendirikan, mengoperasionalkan organisasi lokal disyaratkan
kerja-kerja kolektif, seperti pemasangan pipa untuk mengalirkan air dari sumber
air ke rumah-rumah. Pekerjaan ini tidak mungkin dilakukan perseorangan, jadi,
pasti dibutuhkan kerja-kerja kolektif. Pada masyarakat dimana modal sosial
masih kuat, tanpa diperintah semua anggota masyarakat bergotong-royong atau melakukan
kerja bhakti. Kolektivitas menjadi ciri khas pada banyak kegiatan seperti
mencari sumber air, memasang pipa, menanam pipa sampai memasang meteran di
semua rumah pelanggan. Demikian pula ketika mengoperasionalkan organisasi,
kegiatan seperti membersihkan air dari tandon air dan memelihara tandon
dilakukan dengan gotong-royong pula.
Sementara
itu, untuk membeli infrastruktur seperti pipa dan bahan-bahan bangunan mengumpulkan
uang bersama-sama. Bahkan, ada yang meminjam kepada pribadi tanpa jaminan, cukup
mendasarkan kepercayaan penjual bahan bangunan kepada pengurus organisasi. Kepercayaan
semacam ini juga teruji dalam mengumpulkan dana retribusi untuk pemeliharaan
pipa dan pelayanan air kepada konsumen. Pengurus yang bertanggung jawab yang
akan selalu dipercaya terus sebagai pengurus. Pergantian pengurus tidak
dirumuskan melalui aturan formal secara ketat, cukup kesepakatan informal.
Kolektivitas
dalam mengembangkan organisasi lokal sesungguhnya dilandasi sistem pengetahuan
lokal para pengelola organisasi yang dipahami rata-rata sama. Semua anggota
berawal dari keadaan yang sama sehingga dituntut berdiskusi pada saat
memutuskan banyak persoalan. Pengetahuan (knowledge)
ini merupakan hasil diskusi kolektif dimana
sangat mungkin trial-error
(coba-coba).
Pola
sama digunakan pada saat menunjuk pengurus.Pertimbangan-pertimbangan yang sering
digunakan tidak mendasarkan kepada kecakapan atau keahlian, melainkan ditunjuk
karena ketrampilan sosial dengan kriteria : pinter
(pandai), bener (moralitas baik)
dan kober (ringan langkah dan meluangkan
waktu untuk orang lain). Penunjukan pengurus, tetap dilakukan lewat rembug warga.
Dengan
demikian, aturan-aturan yang berlaku dalam menggerakkan organisasi lokal akan
mengikat semua, sebab baik penghargaan-penghargaan maupun sanksi-sanksi diputuskan secara bersama-sama. Semakin berkembang
modal sosial akan semakin mudah diberlakukan sanksi-sanksi yang disepakati itu.
Aturan-aturan ini akan menjadi pembelajaran bagi anggota.
Modal
sosial yang penting lainnya, yaitu jaringan sosial. Maju tidaknya organisasi lokal
didukung oleh kemampuan pengurus membangun jaringan sosial. Jaringan sosial
tidak harus dengan organisasi-organisasi besar atau organisasi dalam cakupan
luas, tetapi cukup mengandalkan organisasi-organisasi pendukung yang hidup dan
berkembang di sekitar mereka. Seperti organisasi pada level pedesaan sampai
lokal/pemerintah kota.
Pada
kenyataannya, organisasi lokal yang dikelola dengan membangun jaringan bersama banyak
organisasi akan berjalan efektif dari pada yang dikelola satu organisasi saja. Keberadaan
bersama dengan organisasi-organisasi lain akan memungkinkan terjadinya
pembagian (sharing), baik pembagian
keuntungan, pembagian resiko dan pembagian kewenangan. Disinilah, keberadaan jaringan sosial akan
menambah efektif keberadaan organisasi. Kedepannya akan mendukung keberlanjutan
organisasi (Susilo,Rachmad K Dwi, 2011).
Jaringan
sosial tidak harus mempertemukan dengan organisasi-organisasi informal, tetapi dengan pihak manapun yang
mampu memfasilitasi pencapaian sumberdaya, seperti jaringan sosial dengan
elit-elit politik atau elit ekonomi yang mampu menyumbangkan sumber daya mereka
untuk kegiatan organisasi lokal.
c.
Penghormatan atas Kearifan Lokal
Di
dalam organisasi lokal, penghormatan pada norma-norma dalam kearifan lokal
lebih mendapat tempat dari pada organisasi bentukan pemerintah yang didorong
oleh kepentingan birokrasi. Institusi-institusi lokal yang telah ada turun
menurun sering digunakan untuk penyampaian informasi kegiatan-kegiatan. Forum-forum
baru yang dibentuk pada kenyataannya sering tidak efektif, jadi tidak perlu
dibuat forum baru, cukup memanfaatkan institusi-institusi lokal, seperti: yasinan, tahlilan dan diba’an.
Kegiatan-kegiatan
penghijauan dan slametan sumber air yang
dilakukan secara rutin dilakukan dengan melihat kearifan lokal yang meyakini
hubungan antara dunia profan dan dunia mistis/tidak kelihatan.Slametan dilakukan secara masal dengan melibatkan
semua anggota organisasi lokal. Kegiatan
ini juga didukung solidaritas sosial dikalangan masyarakat.
d.
Katup Penyelamat (Safety Valve) Menghadapi
Ketidakmerataan Pasokan Air
Dalam HIPPA, jika tidak ditangani dengan
baik, pembagian air menjadi persoalan rentan konflik. Peran pengelola sangat
penting untuk membimbing pada sebuah kesepakatan dimana semua anggota akan
mendapat air secara merata. Proses pembuatan kesepakatan yang melibatkan
kolektivitas dan penegakan aturan yang baik akan memperkuat modal sosial.
Sementara itu, pada HIPPAM sudah menjadi
hukum alam, untuk daerah yang letaknya di dataran lebih rendah dipastikan
mendapat limpahan air yang lebih banyak. Warga yang tinggal di dataran bawah
bisa menikmati banyak air, sering membuat penduduk yang tinggal daerah tinggi
cemburu. Modal sosial berperan ketika ada kesepakatan untuk menikmati air
secara bergiliran. Kondisi ini akan lain ketika dalam masyarakat modal sosial
mengalami defisit, maka egoisme masing-masing warga, rentan memicu masalah yang
lebih luas.
Hampir kebanyakan dalam pengelolaan sumber
daya air, daerah yang berada di dataran paling tinggi dinomorduakan untuk dapat pasokan air sebab
untuk menjangkau daerah ini dibutuhkan
pipa yang lebih panjang sehingga memakan banyak biaya. Selain itu, untuk mengangkat
air ke daerah yang lebih tinggi akan lebih sulit dari pada di daerah lebih
rendah atau sejajar dengan sumber air. Didasarkan pertimbangan teknis dan biaya
ini, panitia biasanya memilih daerah yang mudah “dijangkau”. Oleh karena itu, kebanyakan
yang didahulukan daerah-daerah yang dekat dengan sumber air atau dekat tandon
air dan daerah yang paling bawah. Keadaan seperti ini akan memicu ketegangan
sosial antarwarga, bahkan bisa mengancam trust
dikalangan mereka. Persoalan kelangkaan akan memicu pada ketidakmerataan
penerimaan air baik di internal desa maupun diinternal dusun.
Kondisi ini memicu munculnya kecemburuan,
persaingan bahkan konflik sosial. Sekelompok orang atau bangsa akan berebut dan
bahkan berkelahi atau berperang untuk mempertahankan dan mengamankan akses dan
kontrol atas sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau
survival. Semakin langka sumber daya, semakin dahsyat perebutannya (Baiquni
& Rijanta, ). Konflik yang tidak bisa dikendalikan bahkan akan melebar ke
konflik-konflik yang lain. Konflik sumber daya alam akan mengarah pada konflik
yang tidak berhubungan dengan lingkungan. Konflik tidak akan muncul atau bisa
dikelola dengan baik jika modal sosial produktif bisa dikelola dengan baik pula.
e.
Katup Penyelamat (Safety Valve) Kelangkaan yang Dihadapi Komunitas
Dalam penyaluran
air, kelangkaan (scarcity) sudah
mulai dirasakan sebagai persoalan komunitas. Jumlah penduduk yang selalu
meningkat dan kebutuhan air yang meningkat pula menyebabkan air sebagai barang
langka yang diperebutkan banyak pihak. Pada saat mulai direalisasikan program
air bersih, pasti semua dusun menginginkan wilayahnya paling dahulu yang
mendapat pasokan air. Konsekuensi yang tidak bisa dielakkan ada satu dusun awal
mendapat pasokan air, sementara itu dusun lain mendapat giliran berikutnya,
bahkan ada beberapa kasus yang berakhir pada dusun yang tidak mendapat pasokan
air sama sekali.
Keinginan
dari masing-masing dusun tersebut sering menjadi sebab kemunculan ketegangan
antarwarga dusun. Jika modal sosial tidak baik pada masyarakat, maka yang besar
kemungkinan akan terjadi adalah konflik sosial. Pengelolaan sumber daya air
akhirnya memunculkan ketidakpercayaan (distrust)
di antara warga masyarakat.
Gambaran
modal sosial di atas yang membenarkan tesis Kahkonen, Satu (1999) bahwa modal
sosial merupakan satu aspek yang menyebabkan pengelolaan air berbasis komunitas
berjalan efektif. Selain itu, modal sosial bisa membantu membangun hubungan
antara komunitas dengan pemerintah.
IV.
PERSOALAN
PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL
Persoalan-persoalan modal sosial yang muncul
terkait pengelolaan sumber daya air, yakni: belum optimalnya memberdayakan modal sosial untuk pengembangan komunitas
dan rusaknya modal sosial karena intervensi kekuatan luar komunitas.Adapun faktor-faktor
yang menyebabkan itu, seperti:
a. Dominasi
Budaya Paternalistik
Kepemimpinan lokal yang terlalu dominan
sering menyebabkan modal sosial tidak bekerja efektif disebabkan mental anggota tidak terbebas untuk berkreasi.
Budaya paternalistik yang menganggap senior lebih tahu dan tidak boleh
dikritik. Pola ketergantungan tinggi terletak pada satu orang saja. Ketergantungan dengan
satu pemimpin membuat keputusan kolektif tidak bisa dibuat. Hal yang
mengkuatirkan jika aturan pada organisasi lokal tidak berjalan karena
dominannya kepemimpinan ini, maka akan merusak modal sosial yang ada. Budaya
paternalistik ada kalanya mampu mengikat anggota, tetapi dampak negatif yang
muncul kuatnya modal sosial mengikat (bonding
social capital) ini membuat kreativitas tidak berkembang karena tersumbatnya
trasfer ide-ide baru. Kreativitas yunior
tidak bisa diakomodasi dengan baik.
b. Dominasi Peran
Pemerintah
Kita bisa membandingkan organisasi komunitas
dengan perusahaan air yang dikelola negara. Kasus beroperasinya PDAM
(Perusahaan Daerah Air Minum) di tengah masyarakat hanya membuat masyarakat
sekedar konsumen yang tidak berkembang kreativitas mereka dalam menyumbangkan
segala potensi yang dimiliki untuk pengembangan masyarakat (community development).
Hal yang sama beroperasinya perusahaan swasta
yang bergerak dalam bisnis sumber daya air sering membuat modal sosial di
masyarakat tidak berkembang secara baik. Eksploitasi sumberdaya air yang
berlebihan dan sering tidak sesuai perjanjian sangat merugikan masyarakat,
sering masyarakat melawan atas kondisi kelangkaan seperti ini (Endaryanta,
Erwin, 2007).
Kelemahan sistem pengelolaan oleh negara
yakni tidak banyak memberikan keuntungan bagi pengembangan modal sosial. Relasi
ekonomi-bisnis yang dibentuk lebih pada hubungan konsumen-produsen dari pada
memberikan keleluasaan penuh untuk masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatan
oleh dan untuk anggota. Program-program yang digulirkan pemerintah sering tidak
memelihara modal sosial komunitas disebabkan dominannya pendekatan
administratif dan birokratik. Partisipasi yang didasari kesukarelaan, misalnya,
tergerus sehingga memunculkan manipulasi partisipasi, partisipasi
pasif,partisipasi melalui konsultasi dan partisipasi untuk insentif (Awang, San
Afri, 2003)
c. Model
Pemberdayaan yang Kurang Tepat
Selama reformasi ini banyak model
pemberdayaan yang digulirkan ke masyarakat. Hampir semua program pemberdayaan
memberikan dana stimuli untuk kegiatan-kegiatan awal. Stimuli ini diberikan di
antara skema kegiatan pemberdayaan yang lain. Pada kenyataannya, dana lebih
menggiurkan dari pada konsepsi pemberdayaan yang abstrak dan lebih ditujukan
pada esensi perubahan. Hal ini yang merubah mental masyarakat yang selalu mementingkan
uang pada setiap kegiatan. Kesukarelaan dan altruisme tidak ”laku” karena digantikan
partisipasi dengan insentif.
Sekalipun akhir-akhir ini paket pemberdayaan
yang digulirkan melalui pendekatan bottom
up tetapi masih terlihat dominasi birokratik dan teknokratik dimana kurang
memperhatikan pemeliharaan modal sosial.
Terlebih, kelengkapan-kelengkapan birokrasi dari atas yang menyaratkan dibentuknya
lembaga-lembaga baru sebagai syarat
turunnya anggaran membuat institusi-institusi sosial semakin tidak bisa berkembang
dengan baik.
V.
PENUTUP
Pengembangan
modal sosial sangat penting di dalam organisasi lokal pengelola sumber daya air,
sebab ia memfasilitasi pada banyak kegiatan, sehingga pelayanan kepada anggota bisa
berjalan secara efektif. Pada prakteknya, modal sosial yang paling banyak
berperan yakni kepercayaan (trust),
keputusan-keputusan kolektif dan jaringan sosial (social networking). Modal sosial tersebut memfasilitasi dari banyak
kegiatan seperti: kegiatan pemanfaatan sumber air, kegiatan-kegiatan ritual dan
menghadapi ketidakmerataan dan kelangkaan pada komunitas.
Hal
yang menjadi persoalan, selama ini modal sosial belum berkembang dengan baik atau
sering mengalami kemerosotan disebabkan 3 hal, yakni dominannya budaya
paternalistik, peran pemerintah yang terlalu dominan dan kurang tepatnya model
pemberdayaan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Awang, San Afri.
2003. Politik Hutan Kemasyarakatan, Jogjakarta: Kreasi Wacana
Coleman, James S. 1994. The
Foundation of Social Theory, Harvard University Press
Endaryanta, Erwin. 2007. Politik Air di Indonesia : Penjarahan si Gedhang oleh Korporasi Aqua
Danone, Jogjakarta: Laboratorium Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM
Field, John. 2005. Modal Sosial, Medan : Penerbit Bina
Media Perintis:
Fukuyama.2002. The Great Disruption;
Hakekat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial, Yogyakarta: Penerbit Qalam
Hanafi, Imam. 2005.Model Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Privatisasi Air Bersih,
Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB, tidak diterbitkan
Lawang, Robert MZ.2004. Kapital Sosial: Perspektif Sosiologik,
Suatu Pengantar, Jakarta: FISIP UI Press
Leksono, Robert MZ. 2009. Runtuhnya Modal
Sosial, Pasar Tradisional, Malang : Penerbit-Percetakan CV Citra Malang
Suparjan dan Hempri Suyatno. 2003. Pengembangan
Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan, Jogjakarta : Aditya Media
Susilo, Rachmad K Dwi. 2009. Sosiologi Lingkungan, Rajawali Press, PT Grafindo Persada, Jakarta
Susilo, Rachmad K Dwi. 2011. Co-management Air Minum untuk Kesejahteraan Masyarakat: Kasus di Sebuah
Desa Di Jawa Timur, Jogjakarta: Samudera Biru
Uphoff, Norman,
1986, Local Institution
Development: An Analytical Source Book with Cases, New Delhi: Kumarian
Press
Zubaedi. 2007. Wacana Pembangunan
Alternatif: Ragam Perspektif Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat, Jogjakarta:
Ar Ruzz Media
Jurnal
Grant, Emma.2001. Social Capital and Community Strategies:
Neighbourhood Development in Guetamala City, dalam Development and Change
Volume 32 (2001), 975-997,Institute of Social Studies, 2001
Grootaert, Christiaan. 1998. Social Capital: The Missing Link,
Social Capital InitiativeWorking Paper No.3, The World Bank, Social Development
Family,Environmentally and Socially Sustainable Development Network April 1998
Grootaert, Christiaan & Thierry Van Bastelaer. 2001. Understanding
And Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from
The Social Capital Initiative, Social Capital InitiativeWorking Paper No.
24
Kahkonen, Satu. 2009. Does
Social Capital Matter in Water and Sanitation Delivery? A Review Literature,
Social Capital Initiative, Working Paper No.9, The World Bank, Social
Development Family, Environmentally and Socially Sustainable Development
Network
Kilpatrick, Sue. 2007. Building Social Capital in Group:
Facilitating Skill Development for Natural Resources Management, RURAL
SOCIETY Volume 17, Number 3, December 2007
Pretty, Jules & Hugh Ward. 2001. Social Capital and
Environment, World Development (Feb 2001), Volume 29 (No.2), 209-227, bisa
diakses www.essex.ac.uk/bs/staff/pretty/soc cap env-WD
paper.PDF
Santoso, Purwo. 2003. Pengelolaan Modal Sosial dalam Rangka
Pengembangan Otonomi Desa: Suatu Tantangan, Dinamika Pedesaan dan
Kawasan,Vol.3/03/2003
Internet
Pidato Guru Besar
Ancok,
Djamaludin. 2003. Modal Sosial dan
Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta
UU RI
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
BIODATA PENULIS
Rachmad K Dwi Susilo, MA. Lahir di
Magelang, 10 Oktober 1974. Riwayat Pendidikan, S-1 Jurusan Sosiologi FISIP UNS,
Surakarta, (1994-1999) dan S-2 Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM Jogjakarta
(2008-2010). Pada saat kuliah S-2 meniatkan diri utnuk mengembangkan kajian
Sosiologi Pembangunan Lingkungan (Sosiologi
Ecodelopment). Saat ini sebagai Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas
Muhammadiyah Malang.
Buku-Buku yang telah dipublikasikan
yaitu Integrasi Ilmu Sosial, Memadukan Ilmu Sosial Tiga Peradaban (2005), Sosiologi Kependudukan, Pemikiran Teori dan Analisa Sosiologis Di Balik Fenomena Kependudukan
(2006), Memahami Kecerdasan Orang-Orang Sukses:
Refleksi Sosiologis Orang-Orang Ternama dalam Mensiasati Hidup (2007), 20 Tokoh
Sosiologi Modern (2008), Jangan Goblok Melakoni Hidup (2010), Co-management Air Minum untuk
Kesejahteraan Masyarakat (2011) dan Sosiologi Lingkungan & Sumber Daya Alam
: Perspetif Teori dan Isu (2012).
Untuk menguatkan kompetensi Sosiologi
Lingkungan, beberapa karya ilmiah telah dihasilkan seperti: Hasil-hasil
penelitian yakni Perspektif Ekologis Para Kyai (Studi
Eksploratif tentang Perspektif Ekologis para Tokoh-Tokoh Agama di Kota Malang),
Pola-Pola Gerakan Lingkungan untuk Menyelamatkan Hutan (Studi Eksploratif
tentang Pola-Pola Gerakan Lingkungan di Kota Batu),
Sementara itu,
artikel-artikel ilmiah yang ditulis, seperti: Masyarakat Beresiko (The Risk
Society), Paham Antroposentrisme Dan Krisis Lingkungan Kita, Orasi
Ilmiah pada Yudicium FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 19 Januari 2005, Masyarakat Pesisir dalam Ancaman Global Warming (Jurnal Transisi, 2010), Co-Management sebagai Strategi Pengelolaan Alternatif Pembangunan
Peka Konflik (Orasi Ilmiah pada Yudicium FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang, 5 Agustus 2010), Demokratisasi dan Ruang
Publik dalam Pengelolaan Lingkungan (Kontributor dalam buku Demokrasi, Civil Society dan Globalisasi).
Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat, yakni menginisiasi beberapa
kegiatan, yaitu seperti Roadshow
Sosiologi Peduli Lingkungan SMU se-Malang Raya, Pendampingan administratif
& kelembagaan HIPPAM Desa Bumiaji,Kota Batu, Inisiator Peace on Green : Penanaman 100 Pohon di Sumber Precet antara
mahasiswa FISIP UMM dengan Kelompok Tani di Sumber Precet, Batu. Kemudian,
bersama In-Trans Institute melakukan
advokasi untuk menghentikan Pembangunan Mall di Kota Malang dan bersama Forum
Masyarakat Peduli Sumber Mata Air (FMPMA) melakukan advokasi untuk menghentikan
pembangunan hotel di kawasan konservasi di Kota Batu.
Kemampuan dan ketrampilan Sosiologi
diperkuat dengan karya-karya data base,seperti:
Survey Sosiologi Politik dan Pembangunan di Kota Batu (2006) dan Survei Potensi Sosiologis Pemerintahan dan Pembangunan Kota Malang (2006). Sementara itu, pengembangan
dunia kepenulisan ketika menjadi pembicara dalam bedah-bedah buku, Workshop Penulisan
“Rebut Perubahan dengan Menulis” (2011) dan Pelatihan Penulisan Penerbitan Buku
Ajar (2010)